Diary Cangkeman, Bingkai Peradaban
Menulis mungkin sudah jadi nama tengah saya, mungkin juga teman-teman, setiap hari, tiap saat. Untuk urusan kerjaan, sampingan, hobi bahkan sampe gabut pun yang saya lakukan ya nulis, bercerita.
Tanpa kita sendiri sadari, tulisan dan cerita kita itu eksis di mana mana, dalam bentuk artikel kayak gini, takarir di media sosial, media masa, media iklan, laporan tugas, kerjaan, bahkan dalam baris kode algoritma, kita selalu eksis dalam bentuk cerita dan baris-baris paragraf.
Sejak ribuan tahun yang lalu, kita, manusia memang sudah memiliki sifat ingin terlihat eksis. Mulai dengan cara menggambar, memahat, bercerita, sampai pada kemampuan manusia dapat melakukan baca tulis.
Leluhur kita menggambar di gua-gua purba yang jika diejawantahkan dalam linimasa jelas terekam bahwa mereka sedang bercerita. Cerita apa yang sedang mereka alami, apa yang mereka rasakan, bagaimana situasi saat itu, dan banyak lagi. Atau di tampat nan jauh di sana yang gambarnya hanya sebuah tanda telapak tangan saja.
Manusia tidak lepas dari bercerita, apapun kita ceritakan. Kita tidak pungkiri syahdunya menceritakan orang lain, entah itu keburukan atau kesuksesannya, baik melalui obrolan rumpi sampai postingan trivia fakta yang berseliweran di Instagram, sebagian yang lain asyik menceritakan masa lalu yang penuh memori, sayang rasanya jika itu terpendam tanpa ada manusia lain yang tau. Di meja sebelah, beberapa manusia sedang terfokus membicarakan masa depan, inovasi apa yang mesti dilakukan, bagaimana memecahkan masalan ini dan itu serta bersinergi membangun peradaban lewat cerita yang saling bertutur.
Energi besar dari cerita-cerita saya, teman-teman, mereka dan banyak manusia lainnya sengat terasa besar, Cangkeman adalah wadah yang kami ciptakan untuk menyerap energi itu. Awalnya dari letupan-letupan energi dari kami-kami sendiri, kata demi kata yang diketikkan mempunyai hentakan energinya sendiri. Kami pun membuka ruang untuk meng-capture lebih banyak energi itu, dalam bentuk tulisan tentunya. Saya belum sesakti ustadz Guntur Bumi yang konon katanya bisa merasakan dan menyerap energi.
Cerita demi cerita yang masuk kami baca satu persatu, kami pilah dan kami kirim ke editor untuk dirapihkan, meskipun justru membuat tulisan sudah benar jadi ada typo-nya.
Kami bahagia melakukan itu semua, kami melakukan maintenance website dan konten, bahkan membuat website baru untuk panel penulis, supaya request pencairannya tidak lagi via DM IG, yang tau-tau aja ya ges ya :).
Oh ya setelah ngalor ngidul sok-sokan maju mundurin timeline ribuan tahun, intinya sih saya mau minta maaf. Banyak dari tim kami, sedang berada dalam fase "lagi lari-larinya". Kami harus membenahi banyak hal, mengurusi berbagai project, dan pada akhirnya harus menerima tanggung jawab yang lebih besar. Ini hal-hal yang tidak bisa terlewatkan fokusnya, maklumlah ini sudah menyangkut hajat dapur untuk bertahan hidup. Kami, saya khususnya. Akhirnya harus berpindah fokus dahulu ke hal-hal yang lebih fundamental.
Saya tidak akan meninggalkan Cangkeman, mungkin begitupun juga dengan partner saya, si mas-mas Jancuk yang suka ngeles itu. Kami membangun ini dengan passion, ngedit kodingan berhari-hari, iuran untuk endorse artis, cetak merchandise dan ya apalah-apalah, nggak enak rasanya kalo diceritakan jua.
Oke, sebagai penutup.
Terima kasih sudah menemani kami dalam bercerita di Cangkeman, rela menguras ide dan mengirimkan email demi email ke redaksi, kami senang akhirnya punya banyak teman diskusi di grup whatsapp kita, ini bukan akhir kok, beri kami waktu bernapas dulu, di antara udara Jakarta yang tidak sehat ini, uhuk!
Jangan lupa follow IG Cangkeman cuk DI SINI

Posting Komentar