Normalisasi Sosial yang Bikin Uring-uringan

Redrec on Pexels

Penulis:            Sesiria Dwi Mustikasari
Editor:              Thiara

Cangkeman.net - Makhluk sosial adalah sebutan untuk makhluk ciptaan Tuhan yang dikenal dengan nama manusia. Aku, kamu, kalian, dia bahkan mereka dengan segala hiruk-pikuk dunia. Saling membentuk hubungan timbal balik antarmanusia yang disebutnya sebagai interaksi sosial di buku pelajaran siswa. 

Rasa-rasanya begitu menyenangkan melihat kehidupan masyarakat yang akur dan saling membaur. Bertegur sapa, kerja sama, budaya tolong menolong, memperdalam toleransi, hingga bentuk interaksi asosiatif lain—dengan latar belakang mempersatukan pluralisme bangsa Indonesia.

Ah, sayangnya, energi positif tercipta berdampingan dengan bentuk negatif sebagai penyeimbang romansa kehidupan yang mendebarkan. Konflik, kompetisi, kontravensi, rasa tak suka, iri, dengki, dan bentuk disosiatif lain menjadi warna. Hingga memaksa munculnya pranata-pranata sosial yang kian membludak dengan peran pengendali di kehidupan masyarakat yang kian semrawut. 

Berbicara kehidupan sosial tak bisa menghindar dari yang namanya masyarakat. Segala aktivitas individu tak lepas dari pengamatan orang lain di lingkungan sekitar yang dikenal dengan nama tetangga. Seolah mereka menjadi hakim juri yang memutuskan benar dan salah akan segala tingkah polah tiap-tiap manusia. Segala hal dinormalkan tanpa pertimbangan matang dan kadang bertentangan dengan akal sehat pun nalar.

Secara tidak langsung, tindakan normalisasi atas segala perilaku tak benar di masyarakat berdampak buruk terhadap tatanan kehidupan yang semestinya. Contohnya orang tua yang abai dengan perilaku siswa yang menyontek saat ulangan akan menjadi benih perilaku menyimpang; mengomentari jenis pekerjaan dan seputar gaji pun masih menjadi hal biasa di bahasan acara reuni; menormalkan segala pertanyaan basa-basi memuakkan seperti jenjang pendidikan, masalah jodoh, kapan menikah, jumlah tabungan, sampai pencapaian hidup yang seharusnya menjadi privasi.

Normalisasi sosial di masyarakat menjadi jalan pintas Yang salah dalam benteng penengah mencegah terpantiknya pertengkaran. Datang telat di biarkan, mengkritiki fisik seseorang diabaikan, menanyakan hal pribadi yang tak seharusnya menjadi konsumsi publik pun jadi hal wajar.

Manusia kini dituntut untuk tak mudah “baperan” di era tutur kata yang semakin tak bisa difilter. Sedangkan pokok masalah sebenarnya berakar dari sikap manusia yang minim tenggang rasa dengan berlindung di kata “normalisasi sosial” yang salah kaprah dan bikin uring-uringan.


Sesiria Dwi Mustikasari

Suka apa aja asal bikin nyaman.