Ngopi Adalah Candu Termaafkan

Sener Baydar on Pexels

Penulis:        Angga Prasetyo
Editor:          Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Ngopi adalah candu termaafkan. Saya menyukai istilah tersebut yang tak sengaja tercetus ketika menuliskan artikel ini. Memang betul, ngopi sangat mampu membuat ketagihan. Seperti merokok, dan menggunakan gawai untuk urusan yang tak perlu. Berbeda dengan dua perilaku buruk yang sempat disinggung, ngopi, betapa pun pahit dan sesak jeratan yang diberikan, masih dipandang sebagai kegiatan lumrah. Setidaknya bagi masyarakat kita.

Saya baru giat ngopi saat tahun pertama kuliah. Mahasiswa. Diskusi. Dinginnya kota Malang, setidaknya menurut kulit dan tulang Jakarta saya. Bersama lima mahasiswa lain, kami menjalankan kegiatan berdiskusi seminggu sekali. Biasanya tiap akhir pekan dan berlokasi diberbagai tempat ngopi. Dan pada saat itulah saya minum kopi. Saya tidak menyukai apa pun jenis makanan dan minuman yang dominan rasa manis. Jadi, kopi adalah pilihan terbaik buat saya saat pertemuan. Apalagi, adanya kebaikan hati dari para senior mewariskan nama kelompok diskusi mereka: Secangkir Kata. Betul-betul pas. Secangkir kopi dan diskusi, mampu menghangatkan suasana, dan tubuh. Bahkan kehangatannya sampai menyentuh hati saya.

Awalnya hanya seminggu sekali minum kopi. Sudah cukup merasa senang dan puas menjalani hidup, sambil memutar ingatan akan kegiatan yang kami lakukan tiap akhir pekan. Terdengar berlebihan? Mohon maaf. Namun seperti ini yang saya rasakan. Terlebih, ada suatu usaha lebih tersendiri ketika merantau ke tempat yang betul-betul asing. Bertemu mereka dan dampak ritual tiap akhir pekan yang kami lakukan, meyakinkan saya bahwa keputusan yang telah diambil, memanglah tepat dan baik.

Saya bukan peminum kopi yang rewel: harus membeli merk tertentu apalagi sampai mempelajari jenisnya dan bagaimana membuat kopi nikmat dengan suatu metode. Merk, cara, dan siapa pun yang membuat termasuk diri sendiri, tak penting bagi saya. Selama ada secangkir kopi terhidang, sudah cukup.

Kata-kata dan suatu tindakan mulanya tanpa arti. Kita sendiri yang memberikan suatu makna. Berawal keinginan untuk merasakan sensasi yang saya anggap menyenangkan setiap hari, secangkir kopi menawarkan solusi. Tak hanya kafein, ada kenangan, pikiran, perasaan menyenangkan dan menenangkan setiap tetesnya. Dari secangkir seminggu sekali menjadi sehari secangkir, hingga saya tak bisa menghitung dengan tepat berapa banyak cairan kopi yang di minum sepanjang hari. Sejujurnya, saya pun tak sadar sampai tahap ini. Tak tahu sejak kapan terjadi, tiba-tiba terjerat di perangkap candu. Parahnya, kalau tak ada secangkir kopi di hadapan saya, terasa aneh dan segera membuat.

Barangkali karena menyematkan suatu makna pada secangkir kopi yang sudah terlalu lama dan mengakar kuat, bisa dijadikan sebab utama. Biarpun artinya berbeda. Tak lagi tentang kenangan bersama tetapi juga tentang ciri khas kelima manusia yang saya simpulkan sendiri. Sangat penting bagi saya. Terutama masalah masa depan, terkesan agak seram dan mengundang kecemasan. Masa mendatang memang gelap. Banyaknya informasi bertebaran di zaman sekarang, berpotensi overanalyzed, dan bingung menentukan siapa yang harus diikuti. Daripada bingung, saya ikuti sifat khusus kelima orang itu saja, yang 'terhidang' dalam secangkir kopi.

Jelas, menggantungkan sesuatu di luar diri memang salah. Candu menjadi salah satu akibatnya. Ketika seseorang mulai terbiasa dengan suatu perilaku, anggaplah minum kopi, pada mulanya ia hanya mampu minum secangkir sehari, misalkan segitu. Sadar atau tidak, disengaja atau tidak, tubuhnya akan meningkatkan kadar toleransi. Toleransi adalah daya tahan. Semakin sering dan konsisten seseorang mengasup kopi, yang tadi hanya satu cangkir sudah memunculkan kesenangan dan kepuasan, di masa mendatang, ia membutuhkan lebih dari secangkir.

Apa sebab? Salah satu penyebab, kadar toleransi kafein dalam tubuh meningkat. Tadinya secangkir kini dua dan tentunya, seiring berjalannya waktu, semakin banyak cangkir kopi yang diminum untuk mencapai kesenangan dan kepuasan yang sama. Selain kadar kafein dalam tubuh meningkat dan mengalami toleransi, ada zat lain yang melonjak. Berjenis neurotransmitter, bernama dopamin dan serotonin. Semakin lama, kadarnya semakin berlimpah ruah. Biarpun sekarang seseorang harus menikmati tiga cangkir perhari, kedua sifat tersebut yang didapatkan sama saja seperti ia dulunya cukup meminum satu cangkir sehari. Contoh lain, perokok yang awalnya cukup sebatang, mengalami peningkatan menjadi dua hingga berbatang-batang. Mereka yang gemar menggulung-gulung layar ponsel tanpa tujuan pasti, pada mulanya cukup satu jam sudah mendapatkan kesenangan dan kepuasan, menjadi dua jam, dan semakin lama, dan berbagai contoh lain yang bisa dipikirkan sendiri. Inilah candu.

Namun, masalah kecanduan tidak simpel. Kadar dopamin dan serotonin menurun, seseorang masuk fase sakau. Jangan berpikir sakau hanya terjadi pada pengguna narkoba. Pecandu kafein, perokok, dan seterusnya pun mengalami. Tentunya, apabila candu yang dijerat berhubungan dengan suatu zat, seperti kafein dalam contoh ini, juga punya peran tertentu. Saat sakau, yang biasa terjadi orang jadi senewen sebelum suatu zat masuk dalam tubuh, atau perilaku tertentu yang membuat mereka senang dan puas, yang meningkatkan kedua kadar neurotransmitter tersebut berada di fase seperti biasanya.

Kembali dengan contoh kafein, yang memang salah satu fungsinya, meningkatkan dan mempertahankan daya konsentrasi. Ketika zat ini berada di bawah kadar toleransi tubuh, seseorang tak mampu menggapai konsentrasi seperti biasa. Kemudian dikendalikan kecemasan saat fokus lenyap. Belum lagi serotonin dan dopamin yang juga di bawah kadar toleransi. Membuatnya tak puas, tak senang, dan mudah dikendalikan emosi, biasanya marah, dalam menjalankan hari kalau belum memberikan asupan kafein dengan kadar seperti biasa. Kepala terasa sakit atau sekedar pusing, tenggorokan bagai terbakar, tubuh yang tak bisa diam akibat suatu kecemasan, dan seterusnya. Belum lagi penyakit lain yang bisa saja didapatkan suatu hari nanti. Kalau terus begini, masuk pada fase menghancurkan diri, bukan istilah berlebihan.

Dalam kasus saya, lambung kena. Awalnya cuma terkadang mual. Semakin lama makin sering sampai setiap selesai ngopi, malah muntah. Barangkali karena 'nakal' atau apa, saya tetap melanjutkan. Mulai agak khawatir saat perut rasanya diperas seperti cucian baju. Tak hanya cairan kopi yang keluar tetapi juga bercak darah. Sudah begitu, masih berlanjut. Setelah mendapatkan dampak lain: jantung berdebar dan keringat dingin, saya mulai kapok. Tidak lagi-lagi ngopi. Jangankan minum kopi, mengkonsumsi bahan mengandung kafein lain seperti teh, cokelat, dan sebagainya, sulit. Sudah nggak bisa lagi menenggak kafein.

Sifat 'nakal' itu terkadang bisa menjadi sumber kenekatan. Sama lah dengan orang yang mengalami kecanduan rokok padahal paru-parunya sudah hancur, tetapi masih saja merokok. Saya pun begitu. Sudah tahu setelah ngopi, badan malah tak karuan, tetap saja di waktu tertentu, saya lakukan dengan berbagai alasan. Biar sakit atau apa, saya menerima. Sebetulnya daripada kecanduan rokok, melepas ketergantungan kafein lebih tak mudah. Alasannya, ngopi dipandang sebagai kegiatan tak aneh karena tidak menimbulkan sentimen atau pandangan buruk. Karena inilah pecandu kafein harus bisa sepenuhnya menyadari dalam diri tanpa bantuan dari eksternal saat berupaya melepaskan jerat candu.

Mungkin terlihat aneh. Apalagi di masa sekarang, banyak kedai kopi di sana-sini. Saya yakin, konsep kecanduan ngopi untuk saat ini, masih kurang bisa diterima, terutama anak-anak muda. Yah, kira-kira kurang dari usia dua lima tahun lah. Sementara orang yang lebih tua macam saya, minimal berusia tiga puluh, agaknya bisa menerima.

Namun, seperti yang saya tuliskan di awal paragraf, ngopi adalah candu termaafkan. Biarpun setelah minum kopi akan menghadapi serangan mual, muntah, merasakan nyeri dan perih di lambung, tubuh agak gemetar dan detak jantung menjadi lebih cepat, bisa saja sikap tetap bodo amat. Pecandu memang nakal.

Kalau saya untuk sekarang, melihat bungkus kopi, sudah terbayang rasa sakit setelah ngopi. Bikin badan ngilu padahal cuma lihat bungkusnya. Aroma sajian kopi pun sudah tak lagi membuat tertarik dan mendatangkan kepuasan dan kesenangan. Kalah dengan bayangan rasa sakit yang didapat. Bagi yang masih saja ngopi padahal sudah mendapatkan dampak buruk bagi tubuh, sebaiknya hentikan. Biarpun ngopi adalah candu yang termaafkan, tak baik menyakiti diri sendiri.


Angga Prasetyo
Kontributor ini masih malu-malu untuk menceritakan dirinya. Dapat ditemui di Instagram @anggaprass