Memahami dan Mengatasi Quarter Life Crisis Secara Sederhana
![]() |
RDNE Stock Project on Pexels |
Penulis: Sayidah Chovivah
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Menjadi pemuda yang hidup di zaman ini sudah barang biasa ketika kami-kami merasakan masa yang namanya quarter life crisis.Mudahnya, masa dimana umur 20an-30an mengalami mumet pikir akut, mudah cemas tenggelam dalam bayangan masa yang telah lalu ataupun bayangan masa depan. Kedengaranya biasa, tapi menjalani, melewatinya yang butuh 'tolang-tolong' yang banyak.
Kita mungkin pernah mengalami quarter life crisis itu. Tapi setelah quarter life crisi itu berlalu, kini ada pertanyaan, jika masa quarter life crisis ini terjadi pada rentang usia 20-30 tahun-an, lalu berapa kali manusia mengalami masa yang benar-benar crisis dalam waktu itu?
Cangkeman.net - Menjadi pemuda yang hidup di zaman ini sudah barang biasa ketika kami-kami merasakan masa yang namanya quarter life crisis.Mudahnya, masa dimana umur 20an-30an mengalami mumet pikir akut, mudah cemas tenggelam dalam bayangan masa yang telah lalu ataupun bayangan masa depan. Kedengaranya biasa, tapi menjalani, melewatinya yang butuh 'tolang-tolong' yang banyak.
Kita mungkin pernah mengalami quarter life crisis itu. Tapi setelah quarter life crisi itu berlalu, kini ada pertanyaan, jika masa quarter life crisis ini terjadi pada rentang usia 20-30 tahun-an, lalu berapa kali manusia mengalami masa yang benar-benar crisis dalam waktu itu?
Kalau saya sendiri menggap saat benar-benar crisis itu terjadi setelah lulus SMA. Saat itu cukup membuat badan dan pikiran loyo parah, bahkan lebih parah dari loyonya kawanan Minion yang tidak memiliki bos. Namanya juga masa crisis, kalau tidak berhati-hati "ngalamat tamat". Tapi Alhamdulillah masa mumet itu sirna, dan Alhamdulillah masih bernafas dengan sempurna. Hal ini perlu saya akui dan berharap ketika teman-teman sekalian sedang, atau akan berada fase ini, agar tidak putus asa dan dapat menyikapinya dengan lebih sehat.
Dalam tulisan lain yang membahas masa quarter life crisis ini sudah banyak yang memberikan kiat-kiat untuk menyikapi sekaligus menerangkan apa itu masa quarter life crisis. Mereka menganjurkan agar berbuat sesuatu, mengambil banyak langkah, melarang berbagai hal, dan selalu berpikir positif, seakan memaksa manusia harus baik-baik saja. Padahal yang aku tahu, untuk bisa teguh untuk berpikir positif, itu butuh waktu, butuh belajar menganalisis kemungkinan sebab akibat yang akan terjadi. Untuk itu, saya justru tidak akan menyarankan untuk melakukan banyak aksi (tapi kalau bisa melakukan saran-saran yang biasa dibahas di YouTube, artikel-artikel ya lakukan saja, syukur malah).Dalam masa itu, saya rasa manusia sedang tidak bisa berpikir dengan jernih. Juga, sedang tidak mampu menerima masukan maupun motivasi secara optimal. Meskipun saya mencoba bertanya dalam diri saya ketika masa itu datang,bertanya "Apakah keputusan ini saya buat dengan benar dan dengan pikiran yang jernih?" saat itu jawaban saya, keputusan itu baik dan masuk logika
Dalam tulisan lain yang membahas masa quarter life crisis ini sudah banyak yang memberikan kiat-kiat untuk menyikapi sekaligus menerangkan apa itu masa quarter life crisis. Mereka menganjurkan agar berbuat sesuatu, mengambil banyak langkah, melarang berbagai hal, dan selalu berpikir positif, seakan memaksa manusia harus baik-baik saja. Padahal yang aku tahu, untuk bisa teguh untuk berpikir positif, itu butuh waktu, butuh belajar menganalisis kemungkinan sebab akibat yang akan terjadi. Untuk itu, saya justru tidak akan menyarankan untuk melakukan banyak aksi (tapi kalau bisa melakukan saran-saran yang biasa dibahas di YouTube, artikel-artikel ya lakukan saja, syukur malah).Dalam masa itu, saya rasa manusia sedang tidak bisa berpikir dengan jernih. Juga, sedang tidak mampu menerima masukan maupun motivasi secara optimal. Meskipun saya mencoba bertanya dalam diri saya ketika masa itu datang,bertanya "Apakah keputusan ini saya buat dengan benar dan dengan pikiran yang jernih?" saat itu jawaban saya, keputusan itu baik dan masuk logika
Dan setelah selesai dan cukup berdamai, saya merasa jika saja keputusan saya itu diindahkan, tentu itu bukan keputusan yang optimal. Saya kemudian sadar bahwasanya keputusan yang sempat saya buat di masa sulit itu, adalah keputusan yang (bagaimanapun itu perlu diakui) banyak mengandalkan ego. Saya tidak meminta agar manut, patuh, dan tunduk pada kemauan orang-orang di luar kamu, tapi saya mencoba untuk menyampaikan, jangan terburu-buru membuat keputusan dikala masa yang sulit.
Untuk melalui krisis ini, pesan dasar dari saya cukup dengan jangan mencoba menyengaja mati seburuk apapun keadaan. Cara orang melewati kaadaan ini berbeda-beda, dan saya rasa ,cara yang ini, adalah salah satu bentuk dari keberbedaan itu. Ketika masa itu datang saya justru menyarankan agar mengeluarkan emosi dalam kadar yang tidak membahayakan. Kalau butuh nangis ya nangis saja, mau melipir dari kerumunan ya nggak papa,l akukan saja. Yang perlu dilakukan adalah menyadari bahwa melewati kesengsaraan ini adalah bagian proses hidup setiap manusia dan memiliki niatan,kemauan untuk pulih dari keadaan itu. Ya tidak serta merta harus langsung menyadari, yang penting tahu dulu kalau masa mumet seperti ini adalah wajar.
Bagi saya masa itu justru bagaimana pun harus mumet, jangan sampai tidak. Mumet ya mumet saja, jangan berlagak pada diri sendiri sok kuat. Karena masa itu memang masa untuk mumet, kalau mau sedikit hiperbola, memang masa itu, keadaan akan membuat kita terpaksa menciderai diri, agar kesakitan. Semacam membentuk antibodi untuk menjajaki usia dewasa yang serba tidak pasti. Biar kebal,biar tidak kaget-an, biar badan punya alat otomatis untuk mengolah keadaan yang datang sukanya 'grubyukan', 'ujug-ujug',dan tidak tahu gantian.
Anehnya, quarter life crisis mengapa baru populer di masa kita? Buktinya orang-orang di masa sebelum kita tidak pernah menceritakan ada masa sesulit ini. Tapi setelah saya mencoba menjawabnya sendiri, ternyata generasi sebelum kita, tetap ada crisis, hanya saja tidak se-frustasi sekarang, karena mereka hidup dengan melewati hari demi hari, perencanaan tidak serumit sekarang yang banyak terlalu berorientasi pada pencapaian fana. Dulu yang dibutuhkan hanya sekedar kebutuhan primer (sandang, papan, pangan).Dan orang jaman itu sudah sedari kecil, dan menjadi barang lumrah ketika anak-anak sebelum ke sekolah menjual kayu bakar, pulang sekolah meramban yang akhirnya banyak waktu yang digunakan. Tapi kini, lebih banyak kebutuhan, banyak akses pembanding, banyak waktu untuk overthinking. Lalu, bagaimana generasi yang lebih muda? Saya kira seiring berjalannya waktu mereka akan sadar, memang beginilah fasenya. Sesulit apapun kemarin, nyatanya terlewati dan semua baik-baik saja. Selelah bekerja, maupun kuliah nyatanya itu hanya butuh pembiasaan, nyatanya dengan waktu yang terus berjalan, semua kelelahan itu bisa dimaklumi,seakan mengatakan,"Ya begitulah kehidupan berlaku". Untuk itu dengan kewajaran, mereka tidak membagikan kabar, bagaimana kesakitan hidup dengan kedewasaan berlaku.
Dalam masa crisis,orang sedang bernafsu besar untuk berhasil, sembarang dalam hal apapun. Berkeinginan berhasil dengan kondisi yang terburu-buru sedangkan waktunya memang belum tepat untuk berhasil. Kalau mau menengok orang-orang yang biasa dibilang sukses, mereka adalah orang yang bukan baru saja lulus. Misal pun ada saja teman yang sama-sama muda dan nampaknya sekarang sudah sukses, tapi sama, ia juga sedang berproses. Masih panjang perjalanannya. Tidak ada yang tahu batu besar yang mana dan kapan yang dapat menghalanginya untuk maju. Bukan maksud menyumpahi mereka yang hidupnya sedang mulus untuk mendapatkan petaka di kemudian hari. Tapi kita kan sudah tahu sejak awal,cuma kadang lupa bahwa setelah bahagia ya ada sedihnya, ada bosannya, ada susahnya, nanti senang lagi, bosan lagi, susah lagi. Kalau misal kita sedang merasa susah hari ini maka tak heran jika beberapa saat kemudian kita juga bahagia dengan jalan yang entah bagaimana. Kia kan punya Tuhan, seburuk-buruknya keadaan masih bisa berdoa. Atau bahkan sekadar bertanya "Tuhan,hadiah apa yang akan datang,setelah patah yang begitu parah?", bukankah itu bentuk dari sebuah harapan dan keoptimisan?
Thuuli zamaanin. Kunci hidup itu sabar,dan waktunya lama. Mau sebagaimana pun jalan hidup, mau ditolak dengan berbagai cara,kalau memang kenyataannya ya mau tidak mau itulah yang terjadi, itulah jalannya. Dan alasan apa yang bisa diterima untuk tidak sabar? Mau marah-marah ya sudah begini, kalau tidak sabar yang terjadi hanyalah kesakitan yang semakin menjadi-jadi. Kalau kata film, sabar itu aktif bukan pasif. Betul saya setuju, tapi di satu sisi saya menemukan suatu hal yang sudah tepat, misalkan saya adalah murid yang selalu menantikan hari libur, maka ketika Hari Senin untuk sampai libur Hari Sabtu, bagaimanapun saya butuh melewati hari-hari melelahkan dari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, sampai Jumat. Ataupun ketika saya menantikan lebaran tiba, seharusnya saya tidak terburu-buru ingin bulan Ramadhan kunjung selesai. Sebab setelah lamanya menunggu, ketika lebaran hari pertama telah tiba, maka suasana lebaran sesegera mungkin akan hilang. Dan untuk sampai pada lebaran tahun depan, butuh waktu lama lagi. Akhirnya yang perlu kita lakukan hanyalah berjalan melewati waktu demi waktu secara sederhana. Untuk sampai pada puncak gunung, tidakkah kita hanya butuh melangkah langkah demi langkah? Kita tidak perlu melakukan hal besar seperti kita harus menciptakan sayap dan terbang sampai puncak, kan? Meski begitu, bukan berarti berjalan tanpa perencanaan dan persiapan, tapi yang dimaksud adalah setia pada waktu yang sedang dijalani. Sebab ketika kita telah sampai pada harapan yang kita impikan, kadang kita pun rindu dengan perjuangan yang telah kita lakukan. Karena manusia gemar sekali pada hal yang tidak mereka miliki.
Begitu pula menyikapi tujuan yang tidak pasti. Misalkan kok tidak sampai tujuan awal dan berada pada jalur yang lain, itu adalah tanda-tanda kemurahan hati Tuhan. Saya punya cerita, kemarin saya diajak silaturahmi ke rumah saudara (dekat)nya saudara saya, rencananya mau sekalian piknik. Saya malah menolak, padahal silaturahmi merupakan perkara yang baik. Ya sudah, saya ditinggal. Lha kok, tiada kabar, tiba-tiba ada teman datang sekeluarga lalu mengajak piknik pula. Kalau dirasakan, itu kan waktu yang tidak tepat-tepat amat (menolak silaturahmi), tapi akhirnya (diganti) dengan peristiwa yang tidak buruk, yang akhirnya bisa dibilang keputusan yang baik (silaturahmi sama teman,mainnya juga dapat). Itu hanya perkara kecil, belum perkara-perkara fantastis soal jodoh, cita-cita, maupun rezeki yang tidak diminta. Tuhan memang ada-ada saja, kata orang, "Life is punchline".Ya,dunia penuh dengan "ke-ndilalah-an" yang sangat menguntungkan.
Untuk melalui krisis ini, pesan dasar dari saya cukup dengan jangan mencoba menyengaja mati seburuk apapun keadaan. Cara orang melewati kaadaan ini berbeda-beda, dan saya rasa ,cara yang ini, adalah salah satu bentuk dari keberbedaan itu. Ketika masa itu datang saya justru menyarankan agar mengeluarkan emosi dalam kadar yang tidak membahayakan. Kalau butuh nangis ya nangis saja, mau melipir dari kerumunan ya nggak papa,l akukan saja. Yang perlu dilakukan adalah menyadari bahwa melewati kesengsaraan ini adalah bagian proses hidup setiap manusia dan memiliki niatan,kemauan untuk pulih dari keadaan itu. Ya tidak serta merta harus langsung menyadari, yang penting tahu dulu kalau masa mumet seperti ini adalah wajar.
Bagi saya masa itu justru bagaimana pun harus mumet, jangan sampai tidak. Mumet ya mumet saja, jangan berlagak pada diri sendiri sok kuat. Karena masa itu memang masa untuk mumet, kalau mau sedikit hiperbola, memang masa itu, keadaan akan membuat kita terpaksa menciderai diri, agar kesakitan. Semacam membentuk antibodi untuk menjajaki usia dewasa yang serba tidak pasti. Biar kebal,biar tidak kaget-an, biar badan punya alat otomatis untuk mengolah keadaan yang datang sukanya 'grubyukan', 'ujug-ujug',dan tidak tahu gantian.
Anehnya, quarter life crisis mengapa baru populer di masa kita? Buktinya orang-orang di masa sebelum kita tidak pernah menceritakan ada masa sesulit ini. Tapi setelah saya mencoba menjawabnya sendiri, ternyata generasi sebelum kita, tetap ada crisis, hanya saja tidak se-frustasi sekarang, karena mereka hidup dengan melewati hari demi hari, perencanaan tidak serumit sekarang yang banyak terlalu berorientasi pada pencapaian fana. Dulu yang dibutuhkan hanya sekedar kebutuhan primer (sandang, papan, pangan).Dan orang jaman itu sudah sedari kecil, dan menjadi barang lumrah ketika anak-anak sebelum ke sekolah menjual kayu bakar, pulang sekolah meramban yang akhirnya banyak waktu yang digunakan. Tapi kini, lebih banyak kebutuhan, banyak akses pembanding, banyak waktu untuk overthinking. Lalu, bagaimana generasi yang lebih muda? Saya kira seiring berjalannya waktu mereka akan sadar, memang beginilah fasenya. Sesulit apapun kemarin, nyatanya terlewati dan semua baik-baik saja. Selelah bekerja, maupun kuliah nyatanya itu hanya butuh pembiasaan, nyatanya dengan waktu yang terus berjalan, semua kelelahan itu bisa dimaklumi,seakan mengatakan,"Ya begitulah kehidupan berlaku". Untuk itu dengan kewajaran, mereka tidak membagikan kabar, bagaimana kesakitan hidup dengan kedewasaan berlaku.
Dalam masa crisis,orang sedang bernafsu besar untuk berhasil, sembarang dalam hal apapun. Berkeinginan berhasil dengan kondisi yang terburu-buru sedangkan waktunya memang belum tepat untuk berhasil. Kalau mau menengok orang-orang yang biasa dibilang sukses, mereka adalah orang yang bukan baru saja lulus. Misal pun ada saja teman yang sama-sama muda dan nampaknya sekarang sudah sukses, tapi sama, ia juga sedang berproses. Masih panjang perjalanannya. Tidak ada yang tahu batu besar yang mana dan kapan yang dapat menghalanginya untuk maju. Bukan maksud menyumpahi mereka yang hidupnya sedang mulus untuk mendapatkan petaka di kemudian hari. Tapi kita kan sudah tahu sejak awal,cuma kadang lupa bahwa setelah bahagia ya ada sedihnya, ada bosannya, ada susahnya, nanti senang lagi, bosan lagi, susah lagi. Kalau misal kita sedang merasa susah hari ini maka tak heran jika beberapa saat kemudian kita juga bahagia dengan jalan yang entah bagaimana. Kia kan punya Tuhan, seburuk-buruknya keadaan masih bisa berdoa. Atau bahkan sekadar bertanya "Tuhan,hadiah apa yang akan datang,setelah patah yang begitu parah?", bukankah itu bentuk dari sebuah harapan dan keoptimisan?
Thuuli zamaanin. Kunci hidup itu sabar,dan waktunya lama. Mau sebagaimana pun jalan hidup, mau ditolak dengan berbagai cara,kalau memang kenyataannya ya mau tidak mau itulah yang terjadi, itulah jalannya. Dan alasan apa yang bisa diterima untuk tidak sabar? Mau marah-marah ya sudah begini, kalau tidak sabar yang terjadi hanyalah kesakitan yang semakin menjadi-jadi. Kalau kata film, sabar itu aktif bukan pasif. Betul saya setuju, tapi di satu sisi saya menemukan suatu hal yang sudah tepat, misalkan saya adalah murid yang selalu menantikan hari libur, maka ketika Hari Senin untuk sampai libur Hari Sabtu, bagaimanapun saya butuh melewati hari-hari melelahkan dari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, sampai Jumat. Ataupun ketika saya menantikan lebaran tiba, seharusnya saya tidak terburu-buru ingin bulan Ramadhan kunjung selesai. Sebab setelah lamanya menunggu, ketika lebaran hari pertama telah tiba, maka suasana lebaran sesegera mungkin akan hilang. Dan untuk sampai pada lebaran tahun depan, butuh waktu lama lagi. Akhirnya yang perlu kita lakukan hanyalah berjalan melewati waktu demi waktu secara sederhana. Untuk sampai pada puncak gunung, tidakkah kita hanya butuh melangkah langkah demi langkah? Kita tidak perlu melakukan hal besar seperti kita harus menciptakan sayap dan terbang sampai puncak, kan? Meski begitu, bukan berarti berjalan tanpa perencanaan dan persiapan, tapi yang dimaksud adalah setia pada waktu yang sedang dijalani. Sebab ketika kita telah sampai pada harapan yang kita impikan, kadang kita pun rindu dengan perjuangan yang telah kita lakukan. Karena manusia gemar sekali pada hal yang tidak mereka miliki.
Begitu pula menyikapi tujuan yang tidak pasti. Misalkan kok tidak sampai tujuan awal dan berada pada jalur yang lain, itu adalah tanda-tanda kemurahan hati Tuhan. Saya punya cerita, kemarin saya diajak silaturahmi ke rumah saudara (dekat)nya saudara saya, rencananya mau sekalian piknik. Saya malah menolak, padahal silaturahmi merupakan perkara yang baik. Ya sudah, saya ditinggal. Lha kok, tiada kabar, tiba-tiba ada teman datang sekeluarga lalu mengajak piknik pula. Kalau dirasakan, itu kan waktu yang tidak tepat-tepat amat (menolak silaturahmi), tapi akhirnya (diganti) dengan peristiwa yang tidak buruk, yang akhirnya bisa dibilang keputusan yang baik (silaturahmi sama teman,mainnya juga dapat). Itu hanya perkara kecil, belum perkara-perkara fantastis soal jodoh, cita-cita, maupun rezeki yang tidak diminta. Tuhan memang ada-ada saja, kata orang, "Life is punchline".Ya,dunia penuh dengan "ke-ndilalah-an" yang sangat menguntungkan.

Posting Komentar