Fenomena AI: Membantu atau Mengganggu?

Google Deepmind on Unsplash

Penulis: Angga Prasetyo
Editor: Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Dalam beberapa waktu belakangan, saya merasa pembahasan tentang AI agak ramai. Terutama fenomena ini lumayan sering dibahas bagi mereka yang merasa ranah pekerjaannya berpotensi tergeser akibat perkembangan teknologi. Hal itu membuat saya berpikir, kehadiran AI akan lebih banyak membantu atau mengganggu?

Bagi yang tidak tahu, AI adalah singkatan dari Artificial Intelligence. Atau dalam bahasa Indonesia dapat diistilahkan sebagai Intelegensi Artifisial. Apa maksudnya? Mungkin ada yang tanya begitu. Gampangnya, kecerdasan atau intelegensi buatan. Sangat banyak definisi dari AI. Kalau menginginkan pengertian yang lebih mendetail, bisa dicari sendiri.

Kecerdasan buatan punya fungsi yang sama dengan yang dipunya manusia. Misalkan, untuk memahami suatu informasi dan mengambil keputusan. Artinya, kalau dulu dua masalah tersebut hanya mengandalkan otak manusia, saat ini AI juga bisa. Biarpun nggak semua masalah manusia bisa dibantu AI, setidaknya untuk saat ini.

Sama seperti otak manusia yang ketika baru lahir, mana paham sama statistik? Pasti melewati proses perkembangan terlebih dahulu. Seperti pada mulanya harus memahami operasional matematika paling dasar dan seterusnya, barulah memahami materi statistik. AI pun ya, sama. Konsep lahirnya intelegensi buatan ini tercipta ketika ilmuwan matematika asal Inggris bernama Alan Turing, -yang kayanya lagi gabut banget dan mulai mempertanyakan, “Kira-kira, mesin bisa berpikir nggak, ya?” Kemudian, pertanyaan tersebut dimasukan dalam makalah seminar berjudul, Computing Machinery and Intelligence oleh Alan Turing.

Mungkin kalau manusia-manusia yang hidup pada awal hingga pertengahan tahun 1900-an, pertanyaan di atas, respon yang diberikan pasti tertawa. Mungkin juga dianggap konyol. Namun, lihat yang terjadi setelahnya. Berawal dari mempertanyakan apakah mesin dapat berpikir atau tidak, berujung pada terciptanya AI. Pastinya akan selalu berkembang seiring berjalannya waktu.

Dan di sini kita. AI berkembang pesat. Dari sekadar disematkan untuk meningkatkan fungsi kamera ponsel, hingga hal-hal rumit yang barangkali kita sama sekali nggak menduga. Kaum pencari cuan yang mengandalkan proses kreatif sampai tenaga pendidik seperti dosen, tak jarang memberikan memberikan pandangan. Bagi saya, dua kelompok ini merasa paling terdampak. Ya, memang benar, sih. Akhirnya, semakin banyak komentar pro-kontra yang kita bisa menemukannya sendiri. Dunia berawan elektronik ribut banget akan hal ini.

Saya pun akhirnya mencoba AI yang saya anggap lebih kompleks. Kurang lebih selama 48 jam mencoba. Begadang pula. Bikin kepala cenat-cenut akibat kurang tidur. Saya menganggap AI merupakan mainan baru. Membuat saya kelewatan excited. Selain itu, saya menganggap kehadiran AI yang dikembangkan oleh suatu developer, cukup banyak mempengaruhi kegiatan dalam mengisi waktu luang, yaitu, menulis. “Bisa apa, sih, AI di ranah kepenulisan?” Kira-kira seperti itu dimulainya 48 jam begadang di akhir pekan.

Awalnya, saya agak pesimis tentang kemampuan AI. Ternyata, gileee. Ngerii. Pantas saja kaum SEO bercuap-cuap. Perkara kata kunci, bisa dicariin sama AI. Memang, sih, untuk menganalisis potensi kata kunci, mesti menggunakan semacam bulk keyword analysis, yang untuk saat ini, setidaknya dari AI yang saya coba, belum menawarkan hal itu. Namun, lihat yang ditawarkan lagi: membuat judul, menyusun kerangka menulis, sampai membuat artikel, mampu. Perkara sumber penelitian atau pendapat para ahli? Nggak usah ditanya. Untuk AI, sepele. Mungkin untuk kaum SEO, sekarang ini yang dituntut nggak cuma pintar bikin artikel, tetapi juga mesti paham mengenai Schema Markup, dan beberapa kemampuan lain yang menunjang pekerjaan mereka. Untuk soal ini sih, saya angkat tangan. Toh, pekerjaan saya bukan macam itu. Menulis, cuma saya jadikan kegiatan mengisi waktu luang dan nggak terlalu saya seriusin banget.

Memang, hasil artikel yang dikerjakan AI, bagi saya masih ada “bau” robotik. Alias nuansa textbook dan kaku masih tersisa. Sejujurnya, saya lebih menyukai bacaan yang pembawaannya santai. Jadi, melihat hasil pekerjaan AI, sebetulnya, oke-oke saja, cuma kurang dikit.

Rasa penasaran semakin tinggi, saya melakukan eksperimen yang lebih kompleks dengan AI tersebut. Saya lempar sebuah chat padanya. Karena sistemnya memang seperti komunikasi teks gitu. Eh, dia eror. Di bagian bawah, terdapat penjelasan mengapa AI stres. Belum mampu merespon sesuatu yang sekompleks itu, katanya. Jadi tertawa sendiri, “Aduh, kasihan. AI-nya jadi stres.” Terus, saya tanya hal lain. Eh, saya kayak diomelin. Katanya, kebanyakan nanya. Mesti nunggu satu jam lagi. Asem! Pada akhirnya, saya cuma sekedar mencari tahu bagaimana menggunakan AI lebih efektif sesuai dengan tujuan saya. Ini juga lumayan lama karena learning by doing.

Intinya apa sih?

Mari kita balik lagi ke pertanyaan yang diajukan pada awal paragraf, Apakah kehadiran AI lebih banyak membantu atau mengganggu? Simpel jawabannya. Depend on dari mindset kita. Itu doang kok. Namun yang jelas, kehadiran AI yang semakin pintar memang melahirkan adanya perubahan. Membicarakan perubahan, ada yang bisa dikendalikan, ada pula yang tidak: terjadi begitu saja. Nah, pertanyaan lain yang mesti dijawab, “bagaimana kita menyikapi adanya perubahan yang terjadi?” Apakah perubahan membuat rasa tidak nyaman? Jika, iya, bagaimana mengatasi ketidaknyaman yang dirasakan. Pun juga jika kita nyaman dengan adanya perubahan, misalkan adanya perubahan yang nyatanya ada potensi membantu kehidupan kita.

Lagipula, perubahan itu keniscayaan. Merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindarkan. Pilihan yang paling baik adalah beradaptasi. Dalam konteks kehadiran AI pun juga demikian. Jika kehadirannya mempengaruhi aspek kehidupan, kita diberikan pilihan beradaptasi. Diambil atau tidak, itulah opsinya. Tentu saja, harapannya, setidaknya buat saya, semakin banyak regulasi-regulasi yang mampu membuat manusia merasa aman dan terlindungi ketika dampak AI semakin tinggi dan berkembang seiring bergulirnya zaman.


Angga Prasetyo
Kontributor ini masih malu-malu untuk menceritakan dirinya. Dapat ditemui di Instagram @anggaprass