Suka Duka Pekerja WFH di Lingkungan Pedesaan


Penulis:      Afiqul Adib
Editor:        Thiara


Cangkeman.net - Tak ada pekerjaan yang hanya menyisakan enaknya saja. Bekerja dari rumah (WFH) memang memiliki sisi menyenangkan tersendiri. Namun, tidak semuanya menyenangkan. Terutama bagi mereka yang tinggal di lingkungan pedesaan. Ada banyak suka duka yang dialami, khususnya bagi saya.

Dulu, saya merasa WFH adalah pekerjaan idaman. Sebab, bisa dikerjakan di mana saja dan kapan saja. Setelah dilalui, ternyata definisi yang lebih tepat adalah, di mana dan kapan saja harus bekerja.

1. Akses terbatas

Bukan rahasia umum, di desa itu apa-apa susah. Mau nyari Gramedia, gak ada; mau nyari gofood, gak ada; bahkan, nyari kafe yang proporsional untuk kerja juga susah.

Memang ada banyak kok kafe di desa. Fenomena kafe yang menjamur ini sudah sampai desa, akan tetapi kafenya cenderung bising, bukan kafe yang hening dan agak sepi.

Dulu ketika di Jogja, saya tidak pernah kesusahan mencari tempat untuk “main laptop”. Sebab, konsep kafe yang affordable buat kerja itu buanyak! Nah, kalau di desa susah cuy.

Kalaupun ada kafe yang agak sepi dikit, pasti tempatnya orang pacaran. Sudah gitu gaya pacarannya kayak shaf sholat, rapettt banget.

“Loh, bukannya WFH itu kerja di rumah?”

Iya sih, memang WFH itu definisinya kerja di rumah, tapi sesekali kita butuh ke kafe untuk mencari suasana baru. Kalau kata orang Jawa, “golek padang howo”. Ya, kali, nyawang tembok kamar terus, yo sido bosen, toh yoo.

Oh, iya, ini masih berkaitan dengan akses. Di desa, entah kenapa pemadaman listrik lebih sering terjadi. Sudah gitu, lamaaa cuy. Dan masalahnya, tidak ada aba-aba, gak ada pengumuman, sat-set saja gitu padamnya. Duh, apa mereka nggak tahu, ya, kalau pekerja digital sudah banyak yang tinggal di desa? Hey, pemerintah daerah, mbok ya, tulung!

2. Susah menjawab kerja apa?

Ini salah satu kegelisahan saya. iya, entah kenapa saya selalu bingung memberi jawaban ketika ditanya, “kerja apa sekarang?” Fyi, pekerjaan saya adalah content writer. Dan saya agak ragu memberi jawaban itu ketika ditanya.

Sebab saya pernah menjawab demikian, dan berujung pada keharusan menjelaskan secara panjang lebar, tapi berakhir dengan jawaban, "oh penulis, ya?"

Nggak salah-salah banget sih, cuma kan profesi penulis itu luas banget. Ada content writer, copywriter, script writer, penulis buku, dan banyak lagi. Duh, entahlah, saya selalu saja susah menjelaskan.

3. Dianggap tidak kerja

Ini masih berkaitan dengan alasan sebelumnya. Karena susah menjelaskan kerja apa, ujungnya malah dianggap enggak kerja.

Di desa, ada semacam stereotip kalau tidak keluar rumah, maka tidak dianggap bekerja. Ini akan menjadi bencana bagi yang tetangganya punya bakat julid di atas rata-rata. Duh, remhok.

Oh iya, resiko dianggap tidak bekerja juga berakibat dengan tidak adanya pemakluman atas rasa lelah setelah bekerja. Kadang saya cemburu dengan orang-orang yang kerja di kantor. Mereka ketika pulang dengan wajah yang capek, ada semacam validasi kalau mereka memang benar-benar capek.

Berbeda dengan kami, kaum yang WFH. Ketika kami selesai bekerja dan memasang wajah capek, tentu saja tidak dipercaya. “Ah nggak ngapa-ngapain kok capek.” Padahal harusnya kan sama aja.

4. Tidak punya teman

People come and go. Ada fase dalam hidup di mana teman akrab kita akan meninggalkan kita. Bukan karena ada masalah, tapi memang keadaan yang memaksa demikian.

Nah, di fase ini jumlah temen sangat berkurang. Bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada. Iya, gak ada teman yang bisa diajak untuk sekadar ngopi. Apalagi di desa, teman sebaya kebanyakan sudah pada nikah.

Kalau WFH tetap punya teman sih, tapi teman kita hanya online cuy. Mau ngopi sama siapa? Ujungnya, ya, sama diri sendiri. Hufft.

Afiqul Adib

Fresh graduate yang suka hidup hemat untuk foya-foya. Dapat ditemui di Instagram @aduib07