Menggapai Cita-Cita Ternyata Biasa Saja


Penulis:            Afiqul Adib
Editor:              Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Dulu, ketika masih kecil, kita sering mendapat pertanyaan seputar impian dan cita-cita, yang pada ujungnya dianggap bahwa hal tersebut akan mengantarkan kita pada kebahagiaan.

“Jika kamu mencapai impian, maka kamu akan bahagia”.

Kemudian ketika sudah dewasa dan hidup mulai terasa menyebalkan, kita kembali mencari makna kebahagiaan. Kita mencarinya di mana saja. Entah melalui uang, liburan, jabatan, pencapaian, dan hal-hal lain yang dulu ketika kecil kita anggap sebagai hal yang menyenangkan.

Tapi, ketika hidup semakin lama, ketika akhirnya beberapa mimpi mulai terwujud satu demi satu, nyatanya tidak ada yang berubah. Iya, mencapai sebuah impian ternyata biasa-biasa saja.

Iya, memang ada perasaan senang ketika akhirnya mimpi terwujud, tapi sebatas itu. Sisanya biasa saja. Saya tak merasakan ada sesuatu yang berbeda. Perasaan saya masih begini-begini saja. Hidup saya juga masih seperti ini saja. Tak ada perubahan apapun dalam diri ini.

Misal, ketika akhirnya dapat lulus kuliah tepat waktu, tentu saya senang. Tapi sekadar itu saja. Selebihnya tidak ada yang istimewa. Bahkan ketika beberapa keinginan lain terwujud, saya tak merasa berbeda. Hanya senang sesaat. Itu saja.

Dari sana, saya pun penasaran dan bertanya pada beberapa teman untuk memastikan apakah yang saya alami ini memang hal yang wajar atau tidak.

Setelah bertanya, saya menyimpulkan kalau ini adalah sebuah kewajaran. Iya, teman saya juga mengalami hal serupa. Yang membedakan hanyalah objek dari cita-citanya. Ada yang akhirnya mendapat pekerjaan setelah sekian lama. Ada juga yang akhirnya menikah setelah pacaran sejak SMA. Iya, mencapai cita-cita ternyata biasa saja.

Setelah agak lama menyimpan keresahan ini, saya tercerahkan dengan kalimat dari Pandji Pragiwaksono, ia mengatakan, “Kadang-kadang kita itu kalau punya cita-cita, kita memiliki gambaran spesifik akan cita-cita tersebut. Sehingga kalau misalnya cita-cita tersebut tercapai tapi bentuknya lain, kita merasa belum mencapainya, padahal sudah.”

Ia juga mengatakan kalau ada sebuah film animasi yang cukup kompatibel untuk menggambarkan situasi tersebut. Judulnya Soul, yang bercerita tentang Joe Gardner, seorang guru musik yang mempunyai mimpi untuk menjadi musisi Jazz.

Dalam film tersebut digambarkan bahwa Joe akhirnya berhasil mencapai impian yang sejak dulu menjadi tujuan hidupnya. Joe berhasil tampil sebagai musisi Jazz di sebuah acara dan sukses membawakan lagu dengan cukup paripurna.

Akan tetapi, ketika pertunjukkan usai, Joe merasa gamang. Kemudian saat ditanya oleh Musisi jazz lain, Joe menjawab, “Saya sudah menunggu hari ini seumur hidupku, saya kira akan merasa berbeda”. Iya, meski mencapai impian, ternyata Joe tidak merasa ada yang berubah dalam hidupnya.

Si Musisi Jazz tadi kemudian mengatakan, “Ada sebuah cerita, ikan remaja bertemu ikan tua, si Remaja ini mencari laut. Kemudian dijawab oleh si Tua kalau sekarang ia sudah berada di laut. Dan dibalas lagi oleh si Remaja, ini bukan laut, ini air.”

Iya, persis kalimat yang disampaikan Pandji. Salah satu penyebab perasaan “biasa saja” tersebut adalah kita terlalu sering membayangkan cita-cita kita secara detail, sampai lupa kalau ternyata kita sudah mencapainya.

Lantas apakah kita benar-benar perlu mewujudkan cita-cita agar dapat Bahagia secara paripurna?

Dalam buku Geography of Bliss, Erick Weiner bercerita tentang perjalanannya berkeliling ke beberapa negara untuk mencari makna kebahagiaan. Akhirnya apa? Ia sadar kalau kebahagiaan tidak ada di luar sana. Ia mewujud dalam diri.

“Bukan keyakinan yang membuat kita bahagia, tetapi bagaimana kita menjalankan keyakinan itu dalam hal apa pun.”

Oh, iya, pada tulisan ini saya tidak ingin mendikte makna kebahagiaan itu seperti apa. Saya hanya ingin mengingatkan saja, jangan pernah lupa bahwa sebenarnya kita sudah bahagia.


Afiqul Adib

Fresh graduate yang suka hidup hemat untuk foya-foya. Dapat ditemui di Instagram @aduib07