Mengapa yang Struggle yang Dipertontonkan?
![]() |
Pixabay on Pexels |
Cangkeman.net - Misalkan, ada temanmu yang punya hambatan dalam memahami suatu pelajaran dan guru pengampu paham betul akan hal itu. Namun, yang dilakukan oleh pengajar, ia sengaja menunjuk anak tersebut maju ke depan kelas untuk mengerjakan suatu soal. Namanya sedang struggle, murid tersebut bisa saja mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Barangkali satu-dua sindiran dan keluh kesah dialamatkan kepada sang murid, sampai peserta didik mampu menyelesaikannya.
Berbagai fenomena di atas tidak hanya satu-dua kali terjadi, tetapi berkali-kali. Tidak hanya terjadi di satu instansi pendidikan. Penulis pikir, kejadian macam ini kerap terjadi di setiap jenjang. Juga ditemukan pula dengan berbagai variasi dengan inti yang sama. Misalkan, saat duduk dibangku perkuliahan dan kamu sedang memberikan suatu presentasi, sayangnya, dianggap tidak paham. Besar kemungkinan kamu akan menjadi santapan dosen pengampu atau rekan-rekan sekelasmu.
Nah, balik lagi. Mengapa hal semacam ini malah sengaja dipertontonkan? Malah dianggap wajar, lumrah, tidak aneh.
Padahal, dalam kondisi yang penuh tekanan tetapi malah diberikan berbagai aspek lain yang berpotensi meningkatkan kadar stres dalam diri tentunya bukan hal yang baik. Sedang struggle kok malah dipertontonkan ke khalayak ramai. Pasti yang bersangkutan akan mengalami suatu gangguan mental. Barangkali demikian sebentuk cuap-cuap netizen masa kini.
Yah, kalau membicarakan kemungkinan, apa sih, yang tidak mungkin di dunia ini? Namun, jika memang punya dampak sebegitu buruk, mengapa tetap dipertahankan? Mengapa hal semacam ini seakan-akan diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi selanjutnya? Perkara disengaja atau tidak, lain soal memang.
Jika ditanya demikian, saya tidak mampu memberikan kepastian jawaban. Terkadang, saya malah berandai-andai. Ah, andai proses pendidikan agak lebih soft seperti yang digembor-gemborkan dunia barat sana. Setidaknya melalui industri hiburan yang tak pernah absen mempertontonkan hal ini. Tenaga pendidik yang di-frame-kan lebih sabar dalam mendidik murid, jarang memberikan hukuman. Toh pun jika “terpaksa” memberikannya, dilakukan secara diam-diam. Seakan-akan peserta didik lain tak perlu tahu bagaimana jalannya proses hukuman tersebut. Hal ini cukup kontras dengan proses pendidikan ala dunia timur. Setidaknya di wilayah Asia. Tentu saja Indonesia termasuk didalamnya.
Bayangkan jika hal tersebut terjadi, titel guru atau dosen killer akan lenyap dari panggung pendidikan. Hal ini terjadi lantaran tenaga pendidik lebih mengedepankan sisi humanis. Tentu saja jika dijelaskan lebih lanjut, humanis yang dimaksud berupa kelembutan sikap tenaga pendidik kepada peserta didik mereka. Malah sekarang, sikap semacam ini sudah menjadi semacam tuntutan dari masyarakat, atau setidaknya netizen kepada para guru atau semacamnya. Mulai deh, melupakan cara mendidik yang keras atau kasar. Metode macam ini sudah kuno dan lebih banyak mudharat-nya.
Betulkah demikian?
Lagi, tidak ada kepastian jawaban yang dapat saya berikan. Justru yang membuat saya tertarik adalah upaya dalam menemukan motif di balik cara mendidik yang sudah dianggap kuno ini. Jika saya bertanya akan hal ini kepadamu, mampukah kamu memberikan jawaban? Mengapa yang struggle malah dipertontonkan, dan cara mengajar macam ini tak lekang oleh zaman di dunia timur?
Pada hari Rabu, 12 Oktober 2022, di sore hari saat ngaso, saya sengaja menyempatkan diri mengunjungi sebuah kanal youtube. Sebuah kanal yang berisi kehidupan masyarakat pedesaan dengan sedikit bumbu acara memasak. Betul, tidak ada hubungannya dengan tulisan ini. Toh, seperti biasa, saya sengaja menonton video terbaru yang diunggah sang konten kreator demi mendapatkan resep memasak terbaru yang ia tunjukan. Barangkali bisa dipraktikkan pada akhir pekan. Ternyata tak mungkin dilakukan. Namun, saya mendapatkan hal lain. Setidaknya, tak ada kesia-siaan akan hilangnya beberapa kuota internet yang saya punya.
Pada penghujung video tersebut, berisi tentang kenangan konten kreator bersama dengan sang nenek yang mungkin belum lama dijemput kematian. Selain dimunculkan berbagai potongan video mereka berdua, satu-dua ajaran ditampilkan dalam bentuk narasi. Salah satunya yang membuat saya terperangah adalah, “Manusia lahir memang untuk menderita. Maka, jangan takut (untuk menderita).”
Demi Tuhan. Seberapa besar penderitaan yang almarhumah rasakan selama hidup sampai-sampai melahirkan kutipan di atas? Mungkin juga dipengaruhi oleh agama atau keyakinan yang almarhumah peluk. Mengingat mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat setempat sangat kental dengan ajaran Budha, saya pikir menjadi tidak aneh. Karena ajaran tersebut memang erat kaitannya dengan konsep samsara atau penderitaan.
Jika dikaitkan dengan tulisan ini, mungkin, ya, mungkin, para tenaga pendidik yang masih gemar menggunakan metode klasik dalam proses belajar, ingin mengajarkan kepada peserta didik, bahwa jika mereka tidak paham suatu subjek pembelajaran, maka akan ada penderitaan yang didapatkan.
Bentuknya sangat jelas. Entah disuruh maju ke depan kelas untuk menyelesaikan suatu soal, atau pengajar sekedar memberikan rentetan pertanyaan hingga peserta didik dianggap paham.
Dalam sudut peserta didik jika mendapatkan hal semacam ini, sangat mampu mereka mengalami suatu penderitaan. Semakin lama berada di fase struggle atau berjuang, tekanan akan semakin meningkat dalam bentuk apa pun. Dari sekadar sindiran yang diberikan dari pengajar dan atau rekan sekelas hingga berbentuk rasa kesal atau semacamnya.
Berdasarkan dari kutipan yang didapatkan dari video yang saya tonton, saat seseorang berada dalam fase berjuang, yang paling dibutuhkan memang keberanian agar berjuang hingga tuntas. Tak perlu berharap belas kasihan dari orang lain. Hal semacam ini memang kuasa mereka dan tidak bisa kita kendalikan. Yah, memang terkesan agak seram juga cara mengajar dan apa yang diajarkan dari tenaga pendidik kepada murid-murid mereka: tentang upaya keluar dari penderitaan dengan mempertahankan sikap untuk berjuang, meski dalam kondisi yang semakin lama kian tak menyenangkan jika terlalu lama berada di fase ini.
Nah, pada akhirnya, apakah mereka yang struggle selama proses belajar masih layak dipertontonkan pada masa sekarang? Saya pikir, perkara ini para komentator punya beragam jawaban.

Posting Komentar