Lilin
![]() |
Hakan Erenler on Pexels |
Penulis: Zaki Munandar
Editor: Asri Candra Wanodya
Cangkeman.net - "Berapa lama lagi kamu akan duduk di sini, Mir?" Miranda mendekat, menepuk pundak sahabatnya itu. Mengabari jika ia datang.
Namun, Amir tetap bergeming. Entah apa yang dipandangi, sejak tiga jam lalu duduk di sini. Seorang diri, sebelum Miranda datang.
"Kenapa, Nda ... kenapa?" Setelah beberapa saat akhirnya Amir bersuara. Memecah keheningan.
"Ayolah, Mir. Untuk apa terus diratapi. Bahkan jika kamu menangis darah pun, semua tetap sama." Miranda merapatkan duduknya pada Amir. Semakin dekat, hingga cukup bagi dia melihat mata sahabatnya itu berkaca.
"Tidak semudah itu, Nda. Begitu indah impian itu. Tapi dalam sekejap semua sirna. Hancur, Nda ... hancur." Emosinya meledak. Suaranya parau, matanya semakin berair, kini semakin jelas, bahkan jika dilihat dari tempat Miranda tadi datang.
Amir yang dikenalnya sebagai lelaki "Cool", cenderung cuek, jarang menangis, sama sekali berbeda dengan sosok yang kini duduk di sampingnya. Air matanya mengalir deras tanpa mampu dibendung. Untuk beberapa saat, Miranda seolah tak mengenali siapa lelaki yang di sampingnya itu. Dua puluh tahun mereka berkawan, cukup baginya mengenali lagi siapa lelaki itu.
Miranda Lambert, tubuhnya lebih tinggi ketimbang gadis Indonesia kebanyakan. Pun dengan hidungnya yang sedikit lebih panjang dari kawan-kawannya. Kata "Lambert" di belakang namanya, cukup jelas menggambarkan perawakannya itu. Ibunya merupakan wanita Sunda asli, sementara bapaknya lahir di Brisbane, Australia, sebelum akhirnya pindahan ke Jakarta sejak remaja. Di sanalah, dua orang yang menjadi perantara hadirnya Miranda bertemu.
Sementara Amir Prawiranegara adalah lelaki keturunan Jawa yang lahir dan besar di ibukota. Wajahnya cukup untuk membuat ia di idolai banyak gadis saat sekolah dulu. Namun tak satu pun gadis yang menarik perhatiannya. Tidak, kecuali dia. Gadis satu tingkat di bawahnya, yang karena kehadirannya membuat Amir seratus delapan puluh derajat berbeda.
"Ini sudah berbulan-bulan sejak kejadian itu. Dan kamu masih terus menyiksa dirimu seperti ini?" Miranda seolah tak tahan melihat kejadian seperti ini yang terus berulang setiap harinya. Menyendiri, meratap, mengasingkan diri.
"Kau ini kenapa, Mir? Tidakkah kau berpikir ada banyak hal positif di depan sana?" sambungnya.
"Kau tidak mengerti, Nda. Tidak," sergah Amir.
"Payah kau, Mir. Bahkan Aris yang usianya jauh lebih muda darimu, cara berpikirnya lebih dewasa ketimbang dirimu. Kau apa?"
Suasana hening beberapa waktu lalu, kini berubah menjadi ketegangan.
"Coba kau tengok di luar sana, berapa banyak orang mengalami masalah hidup yang jauh lebih pelik darimu. Lihatlah para orang tua yang di masa senjanya masih harus terus memeras keringat. Juga Arfin, yang harus merelakan satu kakinya hilang di usia yang baru dua puluh dua tahun. Ah, tak bisa kubayangkan seandainya aku seperti dia, Mir. Oh ya, jangan lupakan juga anak-anak yang kita temui tempo hari itu. Kau ingat bukan, bagaimana mereka hidup dengan dibayangi kematian. Ingat mereka, Mir … ingat." Amir terdiam. Terdengar dirinya menangis sesenggukan mendengar ucapan Miranda.
"Okelah. Aku menyerah, Mir. Sungguh … aku menyerah. Lanjutkanlah kebodohanmu ini. Hiduplah terus dalam ketidakpastian seperti ini." Miranda berdiri, "jangan cari aku jika dirimu masih ingin dalam kebodohan ini," sambungnya sambil berlalu meninggalkan Amir yang semakin larut dalam kesedihannya.
----
Mendung sejak sore tadi menemui puncaknya malam itu. Apa yang ditunggu warga ibukota akhirnya datang juga. Semesta seolah merasakan kesedihannya. Oh, hujan. Kau jadi saksi betapa Amir benar-benar lemah.
"Miranda sudah menemuimu, Mir?" Amir sedikit terkejut. Pikirannya yang sedari tadi mengembara ke peristiwa menyakitkan itu terhenti karena pertanyaan ibunya. Entah sejak kapan beliau berdiri di sana, menyaksikan putranya yang tengah duduk melamun di depan jendela itu. Menatap ke luar, melihat derasnya hujan yang mengguyur malam itu, sama seperti air mata Amir sore tadi. Andai beliau tahu.
"Sudah." Tidak panjang jawaban yang keluar dari mulut Amir. Tatapannya menembus kaca jendela, menyaksikan butiran air hujan yang tengah mengguyur.
"Lantas?"
"Seperti biasa, caranya bicara seolah dia tahu apa yang Amir rasakan," Amir merapikan duduknya, "padahal mungkin, dia bahkan belum pernah merasakan jatuh cinta," pungkasnya.
"Yakinkah dirimu, Mir?" Perempuan paruh baya itu mendekat ke tempat anaknya duduk. Menyejajarkan dirinya dengan putranya, duduk di ranjang berukuran sedang di samping meja kerja anaknya. Ah, sudah dua puluh lima tahun usia putranya itu, namun cara berpikirnya tak lebih dewasa dari anak SMA.
"Ya ... jelas, Bu. Sejak usia 5 kami berkawan. Hingga kini, bahkan Amir tak pernah mendengarnya pernah jatuh cinta. Apalagi melihatnya."
Sambil memegang pundak putranya itu, "tidakkah kamu merasakannya, Mir?" Menatap Amir dalam-dalam, Bu Ningsih mencoba membuat Amir mengerti.
"Merasakan apa, Bu?"
Bu Ningsih diam. Tidak menjawab, membiarkan anaknya itu berpikir.
"Kenapa diam, Bu?" tanya Amir, "merasakan apa maksud Ibu tadi?" sambungnya.
"Menjadilah dewasa, anakku. Berpikirlah rasional. Rasakan kehangatan dan kepeduliannya selama ini. Singkirkan sejenak egomu, dan mulailah rasakan," ucap Bu Ningsih bijak, "jangan kau terjerembab semakin dalam, karena salah mengartikan cinta, Amir," sambungnya.
"Apakah menurut ibu, selama ini Amir salah mengartikan cinta?" tanya Amir. Ia seolah tak terima dengan kalimat terakhir ibunya.
"Anakku, yang mengetahuinya hanyalah dirimu," jawab Bu Ningsih sembari menunjuk dada putranya. Ia paham betul jika anak semata wayangnya itu tengah merasakan gejolak yang teramat. Hidupnya penuh dengan keputusasaan dalam beberapa waktu ini. Ketika kita tak pandai menempatkan cinta, maka bukan kebahagiaan yang diterima, melainkan hanya kenestapaan.
"Bicaralah juga dengan Miranda, Anakku. Jika belum kau temukan jawaban atas pertanyaanmu, cobalah bertanya pada dia." Bu Ningsih berdiri dari duduknya, "dia wanita hebat, Mir. Sungguh, caranya berpikir membuat ibu menyukainya sejak dulu." tandasnya.
Bu Ningsih pergi meninggalkan Amir dengan sebuah pertanyaan.
Salahkah caranya menempatkan cinta selama ini? Adakah nestapa ini adalah akibat dari ketidaktahuannya menempatkan cinta? Miranda. Nama wanita Indo-Australia itu tiba-tiba saja terbesit di pikirannya. Bukan saja karena ibunya yang tadi menyebut nama itu, melainkan juga perasaan bersalahnya sebab tak menghiraukan gadis itu sore tadi. Bukan, bukan hanya sore tadi. Namun kemarin sore, juga sore-sore sebelumnya.
"Hi, Nda. Sudah tidur?
Ah… aku tak tau harus bagaimana memulainya. Mungkin kamu benar, Nda. Kamu benar, jika mengatakan aku telah terlalu jauh menyiksa diriku. Sangat benar, jika kamu mengatakan aku bodoh kalau terus menerus hidup dalam kenestapaan ini.
Maafkan aku... yang karena kebodohanku ini, membuatku tidak menghiraukan kehadiranmu.
Berkenankah kamu bertemu lagi denganku?
Datanglah ke tempat itu jika kau berkenan. Terima kasih, Nda.
Sahabatmu yang payah."
Dikirimnya pesan singkat untuk Miranda. Lama… tanpa balasan, "mungkinkah dia sungguh meninggalkanku?" pikirnya. Hingga ia tertidur, yang dinantikan tak kunjung datang.
Cangkeman.net - "Berapa lama lagi kamu akan duduk di sini, Mir?" Miranda mendekat, menepuk pundak sahabatnya itu. Mengabari jika ia datang.
Namun, Amir tetap bergeming. Entah apa yang dipandangi, sejak tiga jam lalu duduk di sini. Seorang diri, sebelum Miranda datang.
"Kenapa, Nda ... kenapa?" Setelah beberapa saat akhirnya Amir bersuara. Memecah keheningan.
"Ayolah, Mir. Untuk apa terus diratapi. Bahkan jika kamu menangis darah pun, semua tetap sama." Miranda merapatkan duduknya pada Amir. Semakin dekat, hingga cukup bagi dia melihat mata sahabatnya itu berkaca.
"Tidak semudah itu, Nda. Begitu indah impian itu. Tapi dalam sekejap semua sirna. Hancur, Nda ... hancur." Emosinya meledak. Suaranya parau, matanya semakin berair, kini semakin jelas, bahkan jika dilihat dari tempat Miranda tadi datang.
Amir yang dikenalnya sebagai lelaki "Cool", cenderung cuek, jarang menangis, sama sekali berbeda dengan sosok yang kini duduk di sampingnya. Air matanya mengalir deras tanpa mampu dibendung. Untuk beberapa saat, Miranda seolah tak mengenali siapa lelaki yang di sampingnya itu. Dua puluh tahun mereka berkawan, cukup baginya mengenali lagi siapa lelaki itu.
Miranda Lambert, tubuhnya lebih tinggi ketimbang gadis Indonesia kebanyakan. Pun dengan hidungnya yang sedikit lebih panjang dari kawan-kawannya. Kata "Lambert" di belakang namanya, cukup jelas menggambarkan perawakannya itu. Ibunya merupakan wanita Sunda asli, sementara bapaknya lahir di Brisbane, Australia, sebelum akhirnya pindahan ke Jakarta sejak remaja. Di sanalah, dua orang yang menjadi perantara hadirnya Miranda bertemu.
Sementara Amir Prawiranegara adalah lelaki keturunan Jawa yang lahir dan besar di ibukota. Wajahnya cukup untuk membuat ia di idolai banyak gadis saat sekolah dulu. Namun tak satu pun gadis yang menarik perhatiannya. Tidak, kecuali dia. Gadis satu tingkat di bawahnya, yang karena kehadirannya membuat Amir seratus delapan puluh derajat berbeda.
"Ini sudah berbulan-bulan sejak kejadian itu. Dan kamu masih terus menyiksa dirimu seperti ini?" Miranda seolah tak tahan melihat kejadian seperti ini yang terus berulang setiap harinya. Menyendiri, meratap, mengasingkan diri.
"Kau ini kenapa, Mir? Tidakkah kau berpikir ada banyak hal positif di depan sana?" sambungnya.
"Kau tidak mengerti, Nda. Tidak," sergah Amir.
"Payah kau, Mir. Bahkan Aris yang usianya jauh lebih muda darimu, cara berpikirnya lebih dewasa ketimbang dirimu. Kau apa?"
Suasana hening beberapa waktu lalu, kini berubah menjadi ketegangan.
"Coba kau tengok di luar sana, berapa banyak orang mengalami masalah hidup yang jauh lebih pelik darimu. Lihatlah para orang tua yang di masa senjanya masih harus terus memeras keringat. Juga Arfin, yang harus merelakan satu kakinya hilang di usia yang baru dua puluh dua tahun. Ah, tak bisa kubayangkan seandainya aku seperti dia, Mir. Oh ya, jangan lupakan juga anak-anak yang kita temui tempo hari itu. Kau ingat bukan, bagaimana mereka hidup dengan dibayangi kematian. Ingat mereka, Mir … ingat." Amir terdiam. Terdengar dirinya menangis sesenggukan mendengar ucapan Miranda.
"Okelah. Aku menyerah, Mir. Sungguh … aku menyerah. Lanjutkanlah kebodohanmu ini. Hiduplah terus dalam ketidakpastian seperti ini." Miranda berdiri, "jangan cari aku jika dirimu masih ingin dalam kebodohan ini," sambungnya sambil berlalu meninggalkan Amir yang semakin larut dalam kesedihannya.
----
Mendung sejak sore tadi menemui puncaknya malam itu. Apa yang ditunggu warga ibukota akhirnya datang juga. Semesta seolah merasakan kesedihannya. Oh, hujan. Kau jadi saksi betapa Amir benar-benar lemah.
"Miranda sudah menemuimu, Mir?" Amir sedikit terkejut. Pikirannya yang sedari tadi mengembara ke peristiwa menyakitkan itu terhenti karena pertanyaan ibunya. Entah sejak kapan beliau berdiri di sana, menyaksikan putranya yang tengah duduk melamun di depan jendela itu. Menatap ke luar, melihat derasnya hujan yang mengguyur malam itu, sama seperti air mata Amir sore tadi. Andai beliau tahu.
"Sudah." Tidak panjang jawaban yang keluar dari mulut Amir. Tatapannya menembus kaca jendela, menyaksikan butiran air hujan yang tengah mengguyur.
"Lantas?"
"Seperti biasa, caranya bicara seolah dia tahu apa yang Amir rasakan," Amir merapikan duduknya, "padahal mungkin, dia bahkan belum pernah merasakan jatuh cinta," pungkasnya.
"Yakinkah dirimu, Mir?" Perempuan paruh baya itu mendekat ke tempat anaknya duduk. Menyejajarkan dirinya dengan putranya, duduk di ranjang berukuran sedang di samping meja kerja anaknya. Ah, sudah dua puluh lima tahun usia putranya itu, namun cara berpikirnya tak lebih dewasa dari anak SMA.
"Ya ... jelas, Bu. Sejak usia 5 kami berkawan. Hingga kini, bahkan Amir tak pernah mendengarnya pernah jatuh cinta. Apalagi melihatnya."
Sambil memegang pundak putranya itu, "tidakkah kamu merasakannya, Mir?" Menatap Amir dalam-dalam, Bu Ningsih mencoba membuat Amir mengerti.
"Merasakan apa, Bu?"
Bu Ningsih diam. Tidak menjawab, membiarkan anaknya itu berpikir.
"Kenapa diam, Bu?" tanya Amir, "merasakan apa maksud Ibu tadi?" sambungnya.
"Menjadilah dewasa, anakku. Berpikirlah rasional. Rasakan kehangatan dan kepeduliannya selama ini. Singkirkan sejenak egomu, dan mulailah rasakan," ucap Bu Ningsih bijak, "jangan kau terjerembab semakin dalam, karena salah mengartikan cinta, Amir," sambungnya.
"Apakah menurut ibu, selama ini Amir salah mengartikan cinta?" tanya Amir. Ia seolah tak terima dengan kalimat terakhir ibunya.
"Anakku, yang mengetahuinya hanyalah dirimu," jawab Bu Ningsih sembari menunjuk dada putranya. Ia paham betul jika anak semata wayangnya itu tengah merasakan gejolak yang teramat. Hidupnya penuh dengan keputusasaan dalam beberapa waktu ini. Ketika kita tak pandai menempatkan cinta, maka bukan kebahagiaan yang diterima, melainkan hanya kenestapaan.
"Bicaralah juga dengan Miranda, Anakku. Jika belum kau temukan jawaban atas pertanyaanmu, cobalah bertanya pada dia." Bu Ningsih berdiri dari duduknya, "dia wanita hebat, Mir. Sungguh, caranya berpikir membuat ibu menyukainya sejak dulu." tandasnya.
Bu Ningsih pergi meninggalkan Amir dengan sebuah pertanyaan.
Salahkah caranya menempatkan cinta selama ini? Adakah nestapa ini adalah akibat dari ketidaktahuannya menempatkan cinta? Miranda. Nama wanita Indo-Australia itu tiba-tiba saja terbesit di pikirannya. Bukan saja karena ibunya yang tadi menyebut nama itu, melainkan juga perasaan bersalahnya sebab tak menghiraukan gadis itu sore tadi. Bukan, bukan hanya sore tadi. Namun kemarin sore, juga sore-sore sebelumnya.
"Hi, Nda. Sudah tidur?
Ah… aku tak tau harus bagaimana memulainya. Mungkin kamu benar, Nda. Kamu benar, jika mengatakan aku telah terlalu jauh menyiksa diriku. Sangat benar, jika kamu mengatakan aku bodoh kalau terus menerus hidup dalam kenestapaan ini.
Maafkan aku... yang karena kebodohanku ini, membuatku tidak menghiraukan kehadiranmu.
Berkenankah kamu bertemu lagi denganku?
Datanglah ke tempat itu jika kau berkenan. Terima kasih, Nda.
Sahabatmu yang payah."
Dikirimnya pesan singkat untuk Miranda. Lama… tanpa balasan, "mungkinkah dia sungguh meninggalkanku?" pikirnya. Hingga ia tertidur, yang dinantikan tak kunjung datang.
----
"Cinta adalah ketika kita berbahagia karenanya. Memang, tak selalu cinta diikuti kebahagiaan … namun bukan karena cinta kita tak mendapat kebahagiaan itu, melainkan cara kita yang kurang tepat memosisikan cinta.
Lagi-lagi dengan kebodohannya, aku dibuat ingin meninggalkannya.
Lagi-lagi dengan kelemahannya, aku dibuat ingin melupakannya.
Tapi mengapa terasa sulit kulakukan?
Mungkinkah setelah bertahun-tahun, perasaan ini tetap sama?
Ah, cinta. Terlalu sulit aku mengartikanmu."
Miranda baru saja menutup buku catatan hariannya, ketika ia dengar suara telepin genggam. Ia berdiri dari tempatnya menulis, menghampiri sumber suara tadi.
"Hi, Nda. Sudah tidur?
Ah… aku tak tau harus bagaimana memulainya. Mungkin kamu benar, Nda. Kamu benar, jika mengatakan aku telah terlalu jauh menyiksa diriku. Sangat benar, jika kamu mengatakan aku bodoh kalau terus menerus hidup dalam kenestapaan ini.
Maafkan aku... yang karena kebodohanku ini, membuatku tidak menghiraukan kehadiranmu.
Berkenankah kamu bertemu lagi denganku?.
Datanglah ke tempat itu jika kau berkenan. Terima kasih, Nda.
Sahabatmu yang payah."
Sedikit terkejut Miranda membaca pesan dari Amir. Senang … tentu. Karena ini pertanda jika Amir ingin mencoba berdamai dengan keadaan. Sedikit membuatnya tersenyum tipis, membaca kalimat terakhir di layar ponselnya. "Kau memang payah, Amir," dirinya membatin.
Miranda meletakkan kembali ponselnya. Alih-alih membalas pesan dari Amir, sahabatnya yang tengah berada dalam titik terlemah dalam hidupnya, ia malah mengambil sebuah buku dari tumpukkan buku. Larut dalam halaman demi halaman, hingga tertidur dan benar-benar tak membalas pesan dari Amir.
----
Hujan malam tadi masih meninggalkan bekasnya. Rerantingan yang menggantung di pohon-pohon hijau di luar sana masih basah olehnya. Ah, meskipun sudah ditimpa oleh hangatnya sinar mentari, namun itu malah membuat samar-samar terlihat kilauan dari ranting tadi. Juga aroma khas dari tanah yang sejak semalam tertimpa hujan. Menyeruak masuk ke hidung ketika daun pintu terbuka.
Miranda sudah bersiap ke kantornya. Banyak yang ia tinggalkan di kantor, sebab harus juga membagi waktunya untuk Amir. Bagi mereka yang tak tahu isi hatinya, mungkin kepedulian Miranda pada Amir terlalu berlebihan. Toh, ia hanya berteman saja dengan pria itu, yang kebetulan saja, sudah sejak kecil mereka bersama. Tapi bagi Miranda, jelas tidak. Ia rasa wajar jika dirinya begitu peduli pada Amir. Sebab ....
"Iya, empat puluh lima menit lagi, saya sampai di kantor," ujarnya pada seseorang di ujung telepon.
----
"Sudah bangun, Mir?" Bu Ningsih memanggil putranya di belakang pintu kamarnya. "Bolehkah Ibu masuk?" tanyanya.
"Masuklah, Bu," sahut Amir di seberang pintu.
Bu Ningsih sedikit terperanjat begitu masuk ke kamar Amir. Kamarnya kini berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Buku yang beberapa hari lalu masih dilihatnya berserakan di meja, kini sudah tersusun rapi. Dan, sepanjang pandangannya menyapu seisi kamar, tak nampak di matanya foto wanita itu.
"Sudah bangun, Mir?" mengulangi pertanyaannya.
"Sejak subuh tadi."
"Ah, syukurlah." Bu Ningsih mendaratkan tubuhnya ke ranjang putranya itu. Duduk mendekati Amir, "sedang memikirkan apa?" tanyanya.
"Tidak ada, Bu."
"Sungguh?"
Tak ada jawaban yang keluar, selain suara deheman. Hingga beberapa saat, "Bu, nanti sore Amir akan bertemu dengan Miranda. Seperti yang Ibu katakan malam kemarin."
Bu Ningsih terlihat antusias. Akhirnya, setelah berbulan-bulan yang suram itu, Amir kembali membuka dirinya untuk lingkungannya. Ah, setidaknya untuk Miranda, sahabatnya.
"Wah… bagus, anakku. Memang sudah seharusnya, kamu melakukan itu. Jam berapa kalian bertemu?"
"Emmm ... empat atau lima sore. Tergantung jam berapa Miranda pulang dari kantor."
"Baguslah. Hati-hati di jalan nanti, dan sampaikan salam Ibu untuknya." Bu Ningsih berlalu meninggalkan putranya. Kini dengan perasaan sedikit senang. Apalagi jika bukan karena Amir yang mulai membuka diri lagi.
----
Tempat yang sama, waktu yang sama, namun dengan suasan yang berbeda.
"Ada apa, sahabatku yang payah?" seloroh Miranda.
"Meledek?" tanya Amir balik.
"Wah, nampaknya awan kelam itu sudah lenyap darimu, wahai sahabatku?"
"Terserahlah apa katamu," sahut Amir.
"Ok, ok. Ada apa memintaku bertemu, Mir?" tanya Miranda. Melangkah mendekat dan duduk di depan sahabatnya itu. Kini mereka saling bertatapan. Miranda mencoba tenang, meski getaran itu ia rasakan.
"Salahkah aku selama ini, Nda?" Amir membuka percakapan.
"Maksudmu?"
"Salahkah caraku mencintai Cecillia?"
Miranda tercekat. Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Amir, juga nama itu. Cecillia. Wanita yang merenggut segala kebahagiaan dari Amir. Wanita yang merubah Amir yang ia kenal, menjadi lelaki asing baginya. Wanita yang membuat hidup Amir seolah telah tamat. Yang tanpa perasaan meninggalkan sahabatnya itu, ketika hari bahagia itu semakin dekat. Lebih menyakitkan bagi Amir, karena bersama kepergian Cecil, ia membawa janin tk berdosa di dalam rahimnya. Buah perselingkuhannya dengan pria brengsek itu.
"Jawaban apa yang kamu inginkan dariku, Mir?" Miranda balik bertanya.
"Jawaban yang jujur tentu. Apalagi."
"Baiklah. Sejatinya cinta adalah anugerah, Amir. Menolak anugerah-Nya jelas tidak sesuai dengan apa yang kita imani. Pun dengan cinta," Miranda nampak serius, "namun, tentulah kita sebagai yang berakal harus mampu menguasai perasaan itu. Bukan sebaliknya. Dan apa yang aku saksikan darimu adalah yang kedua, sahabatku. Cinta yang begitu agung, tidak kau tempatkan pada porsinya. Yang justru malah merubahmu, membuatku asing padamu, dan menghancurkanmu."
Amir terdiam mendengar jawaban sahabatnya itu. Tidak disangka, jawaban Miranda akan seperti itu.
"Amir, lupakanlah dia. Mulailah berdamai dengan keadaan. Tidakkah kau merasa beruntung gagal saat ini, ketimbang dirimu harus menerima kenyataan pahit ini ketika Cecillia sudah kau jadikan istri?"
"Cobalah menata lagi kehidupanmu. Untuk apa kau menggadaikan masa depanmu untuk wanita seperti Cecillia," tutupnya.
Amir masih terdiam. Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Miranda membuatnya terhenyak. Terbangun dari buaian mimpi buruk berbalut nama cinta, yang selama ini membelenggunya. "Kau benar, Nda," jawabnya singkat.
Miranda tersenyum. Dilihatnya wajah Amir jauh lebih cerah. Tak nampak lagi raut kemuraman di sana. Dan, senyuman itu kini terlihat lagi. Semburat kebahagiaan sedikit terpancar di wajahnya. Setidaknya dibanding hari itu.
"Pulanglah, Mir. Cobalah untuk memulai lagi hidupmu yang terhenti beberapa waktu lalu."
"Lantas apa makna perhatianmu selama ini, Nda?"
Pertanyaan Amir membuat Miranda terkejut. Membuat ia terdiam beberapa detik.
"A... aku… mencoba bersikap seperti lilin, Mir," jawabnya.
"Lilin?"
"Ya. Kau tahu bukan, ia rela habis terbakar untuk memberi terang dalam gelap."
"Hanya itu?"
"Ehm... maksudku, adakah cinta yang juga melandasinya, Nda?" sambung Amir.
Untuk beberapa saat Miranda terdiam, "perlukah pertanyaan itu kujawab?"
Amir tersenyum, menatap sahabatnya itu lekat-lekat. Sejurus kemudian, "maafkan kedunguanku selama ini, Nda. Sungguh, bodohnya aku yang salah menempatkan cintaku."
Kini Amir tahu jawaban atas dua pertanyaannya. Tentang "merasakan" yang ibunya katakan, juga tentang bagaimana ia menempatkan cinta.
"Cinta adalah ketika kita berbahagia karenanya. Memang, tak selalu cinta diikuti kebahagiaan … namun bukan karena cinta kita tak mendapat kebahagiaan itu, melainkan cara kita yang kurang tepat memosisikan cinta.
Lagi-lagi dengan kebodohannya, aku dibuat ingin meninggalkannya.
Lagi-lagi dengan kelemahannya, aku dibuat ingin melupakannya.
Tapi mengapa terasa sulit kulakukan?
Mungkinkah setelah bertahun-tahun, perasaan ini tetap sama?
Ah, cinta. Terlalu sulit aku mengartikanmu."
Miranda baru saja menutup buku catatan hariannya, ketika ia dengar suara telepin genggam. Ia berdiri dari tempatnya menulis, menghampiri sumber suara tadi.
"Hi, Nda. Sudah tidur?
Ah… aku tak tau harus bagaimana memulainya. Mungkin kamu benar, Nda. Kamu benar, jika mengatakan aku telah terlalu jauh menyiksa diriku. Sangat benar, jika kamu mengatakan aku bodoh kalau terus menerus hidup dalam kenestapaan ini.
Maafkan aku... yang karena kebodohanku ini, membuatku tidak menghiraukan kehadiranmu.
Berkenankah kamu bertemu lagi denganku?.
Datanglah ke tempat itu jika kau berkenan. Terima kasih, Nda.
Sahabatmu yang payah."
Sedikit terkejut Miranda membaca pesan dari Amir. Senang … tentu. Karena ini pertanda jika Amir ingin mencoba berdamai dengan keadaan. Sedikit membuatnya tersenyum tipis, membaca kalimat terakhir di layar ponselnya. "Kau memang payah, Amir," dirinya membatin.
Miranda meletakkan kembali ponselnya. Alih-alih membalas pesan dari Amir, sahabatnya yang tengah berada dalam titik terlemah dalam hidupnya, ia malah mengambil sebuah buku dari tumpukkan buku. Larut dalam halaman demi halaman, hingga tertidur dan benar-benar tak membalas pesan dari Amir.
----
Hujan malam tadi masih meninggalkan bekasnya. Rerantingan yang menggantung di pohon-pohon hijau di luar sana masih basah olehnya. Ah, meskipun sudah ditimpa oleh hangatnya sinar mentari, namun itu malah membuat samar-samar terlihat kilauan dari ranting tadi. Juga aroma khas dari tanah yang sejak semalam tertimpa hujan. Menyeruak masuk ke hidung ketika daun pintu terbuka.
Miranda sudah bersiap ke kantornya. Banyak yang ia tinggalkan di kantor, sebab harus juga membagi waktunya untuk Amir. Bagi mereka yang tak tahu isi hatinya, mungkin kepedulian Miranda pada Amir terlalu berlebihan. Toh, ia hanya berteman saja dengan pria itu, yang kebetulan saja, sudah sejak kecil mereka bersama. Tapi bagi Miranda, jelas tidak. Ia rasa wajar jika dirinya begitu peduli pada Amir. Sebab ....
"Iya, empat puluh lima menit lagi, saya sampai di kantor," ujarnya pada seseorang di ujung telepon.
----
"Sudah bangun, Mir?" Bu Ningsih memanggil putranya di belakang pintu kamarnya. "Bolehkah Ibu masuk?" tanyanya.
"Masuklah, Bu," sahut Amir di seberang pintu.
Bu Ningsih sedikit terperanjat begitu masuk ke kamar Amir. Kamarnya kini berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Buku yang beberapa hari lalu masih dilihatnya berserakan di meja, kini sudah tersusun rapi. Dan, sepanjang pandangannya menyapu seisi kamar, tak nampak di matanya foto wanita itu.
"Sudah bangun, Mir?" mengulangi pertanyaannya.
"Sejak subuh tadi."
"Ah, syukurlah." Bu Ningsih mendaratkan tubuhnya ke ranjang putranya itu. Duduk mendekati Amir, "sedang memikirkan apa?" tanyanya.
"Tidak ada, Bu."
"Sungguh?"
Tak ada jawaban yang keluar, selain suara deheman. Hingga beberapa saat, "Bu, nanti sore Amir akan bertemu dengan Miranda. Seperti yang Ibu katakan malam kemarin."
Bu Ningsih terlihat antusias. Akhirnya, setelah berbulan-bulan yang suram itu, Amir kembali membuka dirinya untuk lingkungannya. Ah, setidaknya untuk Miranda, sahabatnya.
"Wah… bagus, anakku. Memang sudah seharusnya, kamu melakukan itu. Jam berapa kalian bertemu?"
"Emmm ... empat atau lima sore. Tergantung jam berapa Miranda pulang dari kantor."
"Baguslah. Hati-hati di jalan nanti, dan sampaikan salam Ibu untuknya." Bu Ningsih berlalu meninggalkan putranya. Kini dengan perasaan sedikit senang. Apalagi jika bukan karena Amir yang mulai membuka diri lagi.
----
Tempat yang sama, waktu yang sama, namun dengan suasan yang berbeda.
"Ada apa, sahabatku yang payah?" seloroh Miranda.
"Meledek?" tanya Amir balik.
"Wah, nampaknya awan kelam itu sudah lenyap darimu, wahai sahabatku?"
"Terserahlah apa katamu," sahut Amir.
"Ok, ok. Ada apa memintaku bertemu, Mir?" tanya Miranda. Melangkah mendekat dan duduk di depan sahabatnya itu. Kini mereka saling bertatapan. Miranda mencoba tenang, meski getaran itu ia rasakan.
"Salahkah aku selama ini, Nda?" Amir membuka percakapan.
"Maksudmu?"
"Salahkah caraku mencintai Cecillia?"
Miranda tercekat. Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Amir, juga nama itu. Cecillia. Wanita yang merenggut segala kebahagiaan dari Amir. Wanita yang merubah Amir yang ia kenal, menjadi lelaki asing baginya. Wanita yang membuat hidup Amir seolah telah tamat. Yang tanpa perasaan meninggalkan sahabatnya itu, ketika hari bahagia itu semakin dekat. Lebih menyakitkan bagi Amir, karena bersama kepergian Cecil, ia membawa janin tk berdosa di dalam rahimnya. Buah perselingkuhannya dengan pria brengsek itu.
"Jawaban apa yang kamu inginkan dariku, Mir?" Miranda balik bertanya.
"Jawaban yang jujur tentu. Apalagi."
"Baiklah. Sejatinya cinta adalah anugerah, Amir. Menolak anugerah-Nya jelas tidak sesuai dengan apa yang kita imani. Pun dengan cinta," Miranda nampak serius, "namun, tentulah kita sebagai yang berakal harus mampu menguasai perasaan itu. Bukan sebaliknya. Dan apa yang aku saksikan darimu adalah yang kedua, sahabatku. Cinta yang begitu agung, tidak kau tempatkan pada porsinya. Yang justru malah merubahmu, membuatku asing padamu, dan menghancurkanmu."
Amir terdiam mendengar jawaban sahabatnya itu. Tidak disangka, jawaban Miranda akan seperti itu.
"Amir, lupakanlah dia. Mulailah berdamai dengan keadaan. Tidakkah kau merasa beruntung gagal saat ini, ketimbang dirimu harus menerima kenyataan pahit ini ketika Cecillia sudah kau jadikan istri?"
"Cobalah menata lagi kehidupanmu. Untuk apa kau menggadaikan masa depanmu untuk wanita seperti Cecillia," tutupnya.
Amir masih terdiam. Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Miranda membuatnya terhenyak. Terbangun dari buaian mimpi buruk berbalut nama cinta, yang selama ini membelenggunya. "Kau benar, Nda," jawabnya singkat.
Miranda tersenyum. Dilihatnya wajah Amir jauh lebih cerah. Tak nampak lagi raut kemuraman di sana. Dan, senyuman itu kini terlihat lagi. Semburat kebahagiaan sedikit terpancar di wajahnya. Setidaknya dibanding hari itu.
"Pulanglah, Mir. Cobalah untuk memulai lagi hidupmu yang terhenti beberapa waktu lalu."
"Lantas apa makna perhatianmu selama ini, Nda?"
Pertanyaan Amir membuat Miranda terkejut. Membuat ia terdiam beberapa detik.
"A... aku… mencoba bersikap seperti lilin, Mir," jawabnya.
"Lilin?"
"Ya. Kau tahu bukan, ia rela habis terbakar untuk memberi terang dalam gelap."
"Hanya itu?"
"Ehm... maksudku, adakah cinta yang juga melandasinya, Nda?" sambung Amir.
Untuk beberapa saat Miranda terdiam, "perlukah pertanyaan itu kujawab?"
Amir tersenyum, menatap sahabatnya itu lekat-lekat. Sejurus kemudian, "maafkan kedunguanku selama ini, Nda. Sungguh, bodohnya aku yang salah menempatkan cintaku."
Kini Amir tahu jawaban atas dua pertanyaannya. Tentang "merasakan" yang ibunya katakan, juga tentang bagaimana ia menempatkan cinta.

Posting Komentar