Filosofi Etika: Landasan untuk Menentukan Baik-Buruk dalam Berperilaku
![]() |
Kastara.id |
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Nurul Fatin Sazanah
Cangkeman.net - Ketika membaca kata ‘kehidupan’, yang melekat dalam pikiran kita pasti tidak jauh-jauh dari esensi, eksistensi, substansi, atau hal-hal fundamental mengenai makna kehidupan. Hal itu juga dipertegas dalam tradisi filsafat Yunani yang mengatakan bahwa manusia adalah “homo significans” yang artinya adalah manusia itu makhluk yang tidak puas jika hidupnya hanya sekadar ada; tidak puas jika hidupnya tidak mencari makna dari keberadaannya.
Akan tetapi, hal-hal yang berkaitan dengan makna hidup juga tidak lepas dari yang namanya etika, yakni sesuatu yang baik dan buruk dari suatu tindakan. Apabila kita bicara makna hidup, maka ia secara tidak langsung mengandung etika dari apa yang akhirnya menjadi makna. Predikat atau nilai dari suatu makna selalu bergantung dari bagaimana sifat yang membentuk makna tersebut. Dengan kata lain, apa yang baik dan buruk dalam menjalani kehidupan, maka itulah yang membentuk makna dari kehidupan itu sendiri. Dengan begitu, perihal etika ini juga sangat penting untuk dibahas secara mendalam.
Pada pembahasan etika kali ini, ada pemikiran dari salah satu filsuf modern yang menarik untuk dikaji, bahkan bisa juga dijadikan sebagai landasan atau panutan. Sebagian dari kita mungkin sudah familiar dengan nama ‘Rene Descartes’ atau kalimatnya yang acap kita temui, “aku berpikir, maka aku ada”. Beliau adalah pencetus paham rasionalisme di era modern, tepatnya di abad ke-17. Meskipun rasionalitas sebagai titik sentral bagi Rene Descartes, perihal etika pun tidak luput dari buah pemikiran filosofisnya.
Dalam pembahasan kali ini, penulis merujuk pada salah satu karyanya, yaitu Meditations on First Philosophy. Pembahasan dalam bukunya tidak spesifik tertuju pada etika, tetapi dalam serangkaian analisisnya tentang meditasi, Rene Descartes menjelaskan beberapa hal filosofis yang bisa dijadikan untuk landasan beretika. Pemikiran etika yang dihasilkan oleh Rene Descartes ini biasa disebut dengan “etika cartesian”.
Eksistensi Tuhan
Rene Descartes adalah salah satu filsuf yang percaya pada eksistensi Tuhan. Lewat pepatahnya “Cogito ergo sum” yang bermakna ‘aku berpikir, maka aku ada’, ia menggunakan ungkapan tersebut sebagai model penalaran untuk menjelaskan eksistensi Tuhan.
Rene Descartes berpendapat bahwa ketika ia meragukan segala hal, maka ia sedang berpikir tentang yang belum pasti. Dan ‘hal yang belum pasti’ tersebut menurut Descartes justru merupakan sebuah kepastian, yang mana itu merujuk pada kondisi eksistensinya yang sedang meragu dan berpikir. Dari situlah Descartes menyatakan bahwa ketidaksempurnaan yang ia alami adalah tanda bahwa ada yang sempurna yang mengajarkan dirinya untuk mengetahui eksistensi rasionalitasnya.
Pemikiran Descartes tentang eksistensi Tuhan tersebut secara tersirat menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang masih on going, atau kalau dalam bahasa teologi Islam, “Allahumma arinal haqqa haqqa” yang artinya ‘tampakkanlah padaku kebenaran’.
Dengan adanya kesadaran terhadap ketidaktahuan di dalam aktivitas berpikir, Rene Descartes mengajarkan bahwa dalam menjalani hidup, pertama-tama manusia harus meyakini akan adanya kesempurnaan yang menuntunnya. Baik dalam keraguan, kegelisahan, maupun kebahagiaan, manusia itu selalu ditemani oleh entitas atau wujud yang sempurna. Dengan begitu, menjadi rugi apabila berusaha dalam menjalani hidup, tetapi tanpa adanya pertimbangan kesadaran bahwa ada ‘sesuatu yang sempurna’ yang senantiasa menuntun dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan.
Eksistensi di Alam Semesta
Yang kedua, perihal menentukan baik-buruk suatu tindakan, hal ini berdasarkan pertimbangan eksistensi kita saat ini di alam semesta. Maksudnya adalah kita ini sebagai apa dan posisinya apa?
Menurut Descartes, manusia ditakdirkan untuk ada di ruang dan waktu tertentu pastinya memiliki suatu tujuan. Dalam hal ini, kita harus bisa mengalkulasi rasio dengan tepat antara kedudukan dan kebutuhan.
Ketika berada pada ruang dan waktu tertentu, kita harus tahu dulu antara kebutuhan ruang dan waktu tersebut dengan kebutuhan kita sebagai manusia eksistensial. Misalnya, jika ada orang yang sedang curhat, kita harus tahu dulu apakah orang itu sedang ingin meminta solusi atau sedang ingin didengarkan saja. Dalam situasi semacam itu, artinya kita sebagai seseorang yang mampu untuk membantu kegelisahannya, dan posisi kita adalah teman berbicaranya.
Hal ini memang terkadang sulit dilakukan. Tapi, karena Rene Descartes adalah orang yang rasioanalis, maka kita memang diharuskan untuk menggunakan akal semaksimal dan se-seimbang mungkin dalam bertindak. Tidak serta-merta bertindak sesuai keinginan yang justru membuat keberadaan kita memperburuk suatu keadaan. Hal ini lagi-lagi juga kembali pada poin pertama bahwa manusia selalu dituntun menuju kesempurnaan, bukan pada ketidaksempurnaan.
Dualisme
Dalam pemikiran Cartesian, pengertian ‘dualisme’ merujuk pada tubuh dan jiwa. Keberadaan manusia itu terdiri dari jasmaniah dan rohaniah. Artinya, untuk kita melakukan hal baik dan hal buruk, itu harus didasari dengan pertimbangan antara jasmani dan rohani. Jangan melakukan sesuatu hanya dengan mempertimbangkan salah satunya, rohani saja atau hanya jasmani saja. Tidak etis jika dalam hidup ini kita memunafikkan salah satunya. Sebab, antara jasmani dan rohani, keduanya selalu ikut andil dalam segala tindak-tanduk kita.
Sebagian dari kita mungkin pernah melakukan suatu hal yang hanya mempertimbangkan salah satunya. Misalnya, belajar setiap hari sampai dini hari, sehingga kurang tidur, tanpa memedulikan kesehatan tubuh. Hal itu adalah bentuk tindakan yang tidak etis terhadap diri sendiri. Meskipun secara rohani membawa manfaat, tetapi malah membawa kerugian untuk tubuhnya sendiri. Etika Cartesian mengajarkan kita untuk menyeimbangkan keduanya agar mendatangkan kemanfaatan untuk rohani maupun jasmani.
Free Will atau Kehendak Bebas
Hal baik dan buruk itu harus dihasilkan berdasarkan kehendak bebas kita sebagai manusia yang berakal. Salah satu fungsi dari akal kita kan memang untuk memilih, memilah, dan memerhitungkan sesuatu secara bebas, sehingga menjadi keputusan yang mandiri. Bukan untuk melakukan sesuatu secara pasrah atau karena keterpaksaan. Tidak akan ada nilainya jika suatu tindakan itu dihasilkan tanpa adanya kehendak bebas.
Sekalipun misalnya kita dipaksa untuk mencuri, tetapi terpaksa karena diancam akan dibunuh jika tidak melakukannya. Maka dari itu, kan, dalam KUHP tidak menjadi hukuman jika kita melakukannya.
Dalam hal ini juga berkaitan dengan ungkapan salah satu filsuf eksistensial, Jean Paul Sarte, bahwasannya manusia itu fitrahnya ‘dikutuk untuk bebas’ yang artinya kebebasan merupakan suatu keniscayaan dalam eksistensi manusia; kebebasan adalah karakteristik dari manusia. Jadi, jika kita melakukan sesuatu tanpa adanya kehendak bebas, maka kita berarti bukan manusia, melainkan tidak jauh-jauh dari benda mati yang bisa dimanfaatkan ke sana kemari.
Dari pembahasan di atas, pemikiran etika Rene Descartes yang dihasilkan dari rasionalismenya terlihat begitu lengkap, mulai dari sisi sebagai manusia dan juga sisi sebagai hamba. Meski begitu, semuanya tadi hanya menjadi sebatas teori saja dan tidak akan ada artinya jika kita hanya memahami tanpa melakukannya. Karena hakikat dari etika itu sendiri adalah bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk diimplementasi atau dipraktekkan.
Cangkeman.net - Ketika membaca kata ‘kehidupan’, yang melekat dalam pikiran kita pasti tidak jauh-jauh dari esensi, eksistensi, substansi, atau hal-hal fundamental mengenai makna kehidupan. Hal itu juga dipertegas dalam tradisi filsafat Yunani yang mengatakan bahwa manusia adalah “homo significans” yang artinya adalah manusia itu makhluk yang tidak puas jika hidupnya hanya sekadar ada; tidak puas jika hidupnya tidak mencari makna dari keberadaannya.
Akan tetapi, hal-hal yang berkaitan dengan makna hidup juga tidak lepas dari yang namanya etika, yakni sesuatu yang baik dan buruk dari suatu tindakan. Apabila kita bicara makna hidup, maka ia secara tidak langsung mengandung etika dari apa yang akhirnya menjadi makna. Predikat atau nilai dari suatu makna selalu bergantung dari bagaimana sifat yang membentuk makna tersebut. Dengan kata lain, apa yang baik dan buruk dalam menjalani kehidupan, maka itulah yang membentuk makna dari kehidupan itu sendiri. Dengan begitu, perihal etika ini juga sangat penting untuk dibahas secara mendalam.
Pada pembahasan etika kali ini, ada pemikiran dari salah satu filsuf modern yang menarik untuk dikaji, bahkan bisa juga dijadikan sebagai landasan atau panutan. Sebagian dari kita mungkin sudah familiar dengan nama ‘Rene Descartes’ atau kalimatnya yang acap kita temui, “aku berpikir, maka aku ada”. Beliau adalah pencetus paham rasionalisme di era modern, tepatnya di abad ke-17. Meskipun rasionalitas sebagai titik sentral bagi Rene Descartes, perihal etika pun tidak luput dari buah pemikiran filosofisnya.
Dalam pembahasan kali ini, penulis merujuk pada salah satu karyanya, yaitu Meditations on First Philosophy. Pembahasan dalam bukunya tidak spesifik tertuju pada etika, tetapi dalam serangkaian analisisnya tentang meditasi, Rene Descartes menjelaskan beberapa hal filosofis yang bisa dijadikan untuk landasan beretika. Pemikiran etika yang dihasilkan oleh Rene Descartes ini biasa disebut dengan “etika cartesian”.
Eksistensi Tuhan
Rene Descartes adalah salah satu filsuf yang percaya pada eksistensi Tuhan. Lewat pepatahnya “Cogito ergo sum” yang bermakna ‘aku berpikir, maka aku ada’, ia menggunakan ungkapan tersebut sebagai model penalaran untuk menjelaskan eksistensi Tuhan.
Rene Descartes berpendapat bahwa ketika ia meragukan segala hal, maka ia sedang berpikir tentang yang belum pasti. Dan ‘hal yang belum pasti’ tersebut menurut Descartes justru merupakan sebuah kepastian, yang mana itu merujuk pada kondisi eksistensinya yang sedang meragu dan berpikir. Dari situlah Descartes menyatakan bahwa ketidaksempurnaan yang ia alami adalah tanda bahwa ada yang sempurna yang mengajarkan dirinya untuk mengetahui eksistensi rasionalitasnya.
Pemikiran Descartes tentang eksistensi Tuhan tersebut secara tersirat menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang masih on going, atau kalau dalam bahasa teologi Islam, “Allahumma arinal haqqa haqqa” yang artinya ‘tampakkanlah padaku kebenaran’.
Dengan adanya kesadaran terhadap ketidaktahuan di dalam aktivitas berpikir, Rene Descartes mengajarkan bahwa dalam menjalani hidup, pertama-tama manusia harus meyakini akan adanya kesempurnaan yang menuntunnya. Baik dalam keraguan, kegelisahan, maupun kebahagiaan, manusia itu selalu ditemani oleh entitas atau wujud yang sempurna. Dengan begitu, menjadi rugi apabila berusaha dalam menjalani hidup, tetapi tanpa adanya pertimbangan kesadaran bahwa ada ‘sesuatu yang sempurna’ yang senantiasa menuntun dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan.
Eksistensi di Alam Semesta
Yang kedua, perihal menentukan baik-buruk suatu tindakan, hal ini berdasarkan pertimbangan eksistensi kita saat ini di alam semesta. Maksudnya adalah kita ini sebagai apa dan posisinya apa?
Menurut Descartes, manusia ditakdirkan untuk ada di ruang dan waktu tertentu pastinya memiliki suatu tujuan. Dalam hal ini, kita harus bisa mengalkulasi rasio dengan tepat antara kedudukan dan kebutuhan.
Ketika berada pada ruang dan waktu tertentu, kita harus tahu dulu antara kebutuhan ruang dan waktu tersebut dengan kebutuhan kita sebagai manusia eksistensial. Misalnya, jika ada orang yang sedang curhat, kita harus tahu dulu apakah orang itu sedang ingin meminta solusi atau sedang ingin didengarkan saja. Dalam situasi semacam itu, artinya kita sebagai seseorang yang mampu untuk membantu kegelisahannya, dan posisi kita adalah teman berbicaranya.
Hal ini memang terkadang sulit dilakukan. Tapi, karena Rene Descartes adalah orang yang rasioanalis, maka kita memang diharuskan untuk menggunakan akal semaksimal dan se-seimbang mungkin dalam bertindak. Tidak serta-merta bertindak sesuai keinginan yang justru membuat keberadaan kita memperburuk suatu keadaan. Hal ini lagi-lagi juga kembali pada poin pertama bahwa manusia selalu dituntun menuju kesempurnaan, bukan pada ketidaksempurnaan.
Dualisme
Dalam pemikiran Cartesian, pengertian ‘dualisme’ merujuk pada tubuh dan jiwa. Keberadaan manusia itu terdiri dari jasmaniah dan rohaniah. Artinya, untuk kita melakukan hal baik dan hal buruk, itu harus didasari dengan pertimbangan antara jasmani dan rohani. Jangan melakukan sesuatu hanya dengan mempertimbangkan salah satunya, rohani saja atau hanya jasmani saja. Tidak etis jika dalam hidup ini kita memunafikkan salah satunya. Sebab, antara jasmani dan rohani, keduanya selalu ikut andil dalam segala tindak-tanduk kita.
Sebagian dari kita mungkin pernah melakukan suatu hal yang hanya mempertimbangkan salah satunya. Misalnya, belajar setiap hari sampai dini hari, sehingga kurang tidur, tanpa memedulikan kesehatan tubuh. Hal itu adalah bentuk tindakan yang tidak etis terhadap diri sendiri. Meskipun secara rohani membawa manfaat, tetapi malah membawa kerugian untuk tubuhnya sendiri. Etika Cartesian mengajarkan kita untuk menyeimbangkan keduanya agar mendatangkan kemanfaatan untuk rohani maupun jasmani.
Free Will atau Kehendak Bebas
Hal baik dan buruk itu harus dihasilkan berdasarkan kehendak bebas kita sebagai manusia yang berakal. Salah satu fungsi dari akal kita kan memang untuk memilih, memilah, dan memerhitungkan sesuatu secara bebas, sehingga menjadi keputusan yang mandiri. Bukan untuk melakukan sesuatu secara pasrah atau karena keterpaksaan. Tidak akan ada nilainya jika suatu tindakan itu dihasilkan tanpa adanya kehendak bebas.
Sekalipun misalnya kita dipaksa untuk mencuri, tetapi terpaksa karena diancam akan dibunuh jika tidak melakukannya. Maka dari itu, kan, dalam KUHP tidak menjadi hukuman jika kita melakukannya.
Dalam hal ini juga berkaitan dengan ungkapan salah satu filsuf eksistensial, Jean Paul Sarte, bahwasannya manusia itu fitrahnya ‘dikutuk untuk bebas’ yang artinya kebebasan merupakan suatu keniscayaan dalam eksistensi manusia; kebebasan adalah karakteristik dari manusia. Jadi, jika kita melakukan sesuatu tanpa adanya kehendak bebas, maka kita berarti bukan manusia, melainkan tidak jauh-jauh dari benda mati yang bisa dimanfaatkan ke sana kemari.
Dari pembahasan di atas, pemikiran etika Rene Descartes yang dihasilkan dari rasionalismenya terlihat begitu lengkap, mulai dari sisi sebagai manusia dan juga sisi sebagai hamba. Meski begitu, semuanya tadi hanya menjadi sebatas teori saja dan tidak akan ada artinya jika kita hanya memahami tanpa melakukannya. Karena hakikat dari etika itu sendiri adalah bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk diimplementasi atau dipraktekkan.

Posting Komentar