Yakin Kita Harus Bersyukur?

Riya Kumari

Cangkeman.net - Dihadapkan melihat kondisi hal yang memperihatinkan dalam konteks bekerja tentu merasa miris. Mulai dari simbah-simbah penjual tempe sengek keliling dengan mengolah tempe mencapai 15 kg per olahan sampai bapak-bapak setengah sepuh yang naik-turun gunung membawa belerang yang dihargai sekitar tiga ribu per kg.

Banyak warga internet yang menggaungkan kisah-kisah miris melihat kejadian seperti di atas, apalagi warga Jogja yang UMP-nya paling rendah se-Indonesia. Meski banyak juga warga internet yang bilang kalau kita harus tetap bersyukur.

Dalam hal ini saya setuju soal bersyukur tapi tidak pada menerima apalagi ikhlas. Betul, hidup ini lebih baik banyak syukurnya. Betul, menerima itu mulia. Betul, kerja yang penting halal. Betul, yang penting kerja daripada tidak. Tapi dalam hal yang sama, saya akan mengiyakan pada kata mengeluh, berat hati bahkan tak menerima kenyataan ini. Kenyataan upah rendah. Hati, pikiran, badan bekerja siang malam. Lebih-lebih pada anak-anak muda. Saya benar-benar ingin anak muda terutama Jogja, tidak membiarkannya begitu saja.

Mari kita melihat-lihat.Yogyakarta adalah Provinsi strategis. Akses menuju Jogja sampai ke desa-desanya di kabupatennya terbilang cukup mudah. Jogja juga sering disebut sebagai kota pelajar yang universitas terbaiknya ada di sini. Pelajar asli Jogja atau Kalimantan, Sulawesi,bahkan Papua mbleder berserakan ada di Jogja. Tempat wisata dari daratan, pegunungan, perairan ada di Jogja. 

Bukankah seharusnya pemuda tidak boleh diam oleh alasan tempat yang sudah strategis? Bahkan tidak hanya pemudanya yang bergerak tapi juga pemerintahnya, sebagaimana telah disebutkan dalam Kedaulatan Rakyat halaman 11 opini berjudul O Nasibmu... Trans Jogja! oleh Bapak Bernando J. Sujibto "Yogyakarta sebenarnya relatif mudah untuk berkembang dalam aspek moda transportasi dengan kehendak serius para pemimpinnya yang berkomitmen untuk memajukan Yogyakarta dan masyarakatnya"

Saya yang merasa Jogja mudah diakses ternyata masih bisa dimudahkan lagi jika opini itu dijalankan semestinya dan bisa mengangkat Jogja plus masyarakatnya,lalu setelah akses yang mudah bukankah akan ada rentetan peluang yang akan terbuka? Atau bahkan mungkin-mungkin saja peluang lain sudah terbuka sebelum opini Pak Bernando J.S itu terlaksana.

Saya tidak menyarankan berdemo minta naik upah, juga tidak menghimbau untuk berhenti bekerja. Tapi bagaimanapun pemuda harus mau berambisi untuk mendapatkan upah yang lebih layak. Jika sekarang sedang bekerja dengan upah yang terbilang minim maka saya berharap bisa suatu saat pindah berevolusi mendapatkan upah yang (sekali lagi) lebih layak. Setidaknya nyicil memiliki pemikiran, keinginan untuk lebih baik. Bersyukur ya bersyukur. Cukup ya dicukup-cukupkan, yang perlu diketahui sebagai anak mudanya adalah meskipun bersyukur kita para pemuda nantinya tidak se-sengsara simbah-simbah itu. 

Kita perlu ingat juga bahwa kemungkinan besar kita para pemudalah yang akhirnya meneruskan hidup lebih panjang, dan melihat fenomena alam yang semakin renta. Sampah, pemanasan global, korupsi, badan hukum yang sulit dipercaya, upah rendah berbarengan harga BBM naik yang otomatis bahan makanan pun mengikuti. Anak muda yang juga punya masalah terhadap trend fashion, jajan, nonton film, berwisata yang menimbulkan serangan mental tapi di sisi lain juga baik untuk mendukung UMKM lokal.

Yang terakhir investasi dan asuransi. Investasi  dapat berbentuk apa saja bisa berbentuk skill (kemampuan) baik hardskill atau softskill. Investasi dengan saham, obligasi,reksa dana,dll. Lalu ada asuransi terdiri dari asuransi kesehatan dan teman-temannya. Belum lagi ada cara hidup memikirkan cita-cita target 5-10 tahun ke depan dan langkah apa saja yang perlu ditempuh. Serinci itu se-ruwet itu.
Kita dalam subjektifitas juga harus memiliki objektifitas dalam menjalani hidup. Karena dalam hidup kita memiliki kesamaan kepentingan dan kebutuhan. Selayaknya bermasyarakat kita kan tidak mungkin untuk selalu menuntut kemauan kita tanpa peduli kondisi lainnya. Begitupula dalam memenuhi kebutuhan finansial kita tidak bisa saklek menggunakan cara yang kita rasa nyaman karena cara itu tidaklah selalu efektif digunakan pada masa sekarang.Dengan hidup yang sedemikian banyaknya kebutuhan maka kurang pantas jika hanya hidup untuk hari ini karena selazimnya orang-orang sekarang memiliki perencanaan hidup.

Jika boleh jujur, saya juga belum bisa hidup dengan perencanaan yang bagus, apalagi urusan membagi uang dengan berbagai kebutuhan jangka panjang. Saya sadar berasumsi bahasan seperti ini adalah bahasan enteng terlebih bagi mahasiswa, guru-guru (muda), aktivis, atau doktor-profesor tapi kok di sisi lain saya sedikit-banyak yakinnya bahwa pekerja muda lulusan SMA kurang begitu melek akan pengelolaan uang (terutama untuk jangka panjang), untuk itu tulisan ini dibuat. Sebab kembali pada hidup sekarang tidak hanya aman hari ini karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok sedang investasi yang berhasil akan sangat njomplang dengan gaji yang dibelanjakan begitu saja. Investasi akan menghasilkan beberapa kali lipat,sedang jika dibelanjakan langsung akan habis tanpa meninggalkan bekas yang berarti, cara untuk menyeimbangi pun sulit jika demikian. Dan bila yang berinvestasi (dalam bentuk apapun) hanyalah orang-orang lulusan bangku kuliah terlebih mereka dari golongan atas maka rakyat kecil seperti inilah yang akan tenggelam ke bumi. Mereka sudah pintar (terdidik) kaya pula, maka kira-kira mereka-lah yang berkuasa dan membuat diri mereka lebih kaya lagi dan memonopoli. 

Lihatlah harga tanah yang semakin lama harganya semakin mahal di luar nalar, kerena ya memang cuma si kaya yang memiliki pengetahuan tentang investasi  lslu membeli tanah, dan akan menjualnya kembali dengan harga mahal. Sedang si miskin yang perih hati akibat tak siap mental sebagai digital native (penduduk era digital) justru malah diam-diam menjual tanah orang tua (menuntut mampu tanpa berusaha) hanya untuk jajan dandan nyentrik unjuk gigi menuruti gengsi, iri melihat postingan si kaya yang nongkrongnya di coffee shop, warung kopi elit. Bukankah tragis?


Sayidah Chovivah

Santri. Tangan kanannya sendiri.