Tak Semua Manusia Mampu Menjadi Sosok Bapak
![]() |
Pixabay on Pexels |
Cangkeman.net - Bu ….
Kalau boleh kuakui, aku merindukan Bapak. Walau sejak Ibu mengandungku Bapak mengambil langkahnya sendiri dan meninggalkan kita, walau Bapak tahu jantungku telah berdetak meski masih terbalut rahimmu.
Aku merindukannya. Namun kadang aku juga berpikir, untuk apa aku merindukan sesuatu yang tak pernah kumiliki? Tapi hati ini ternyata tidak bisa dibohongi. Naluriku sebagai seorang anak tetap membutuhkan sosok Bapak. Walau hanya melihat wajahnya di kala muda, aku penasaran bagaimana penampilannya sekarang.
Apa Bapak telah memiliki janggut lebat seperti yang dimiliki Pak RT di kampung kita? Apa setiap pagi Bapak menyiram tanaman seperti yang dilakukan Pa Haji tetangga kita? Apakah di sore hari, Bapak baru pulang kerja lalu disambut oleh anak-anaknya seperti keluarga Bagas, sahabatku?
Rasanya aku kebingungan, Bu. Seolah tidak ada cerminan bagaimana cara untuk menjadi lelaki hebat untuk menghadapi dunia sebab tak ada kalimat Bapak yang kuanggap bisa menjadi panutan. Mendengar suaranya pun tidak pernah.
Ketika kulihat Ayah dari para teman-temanku yang hadir saat rapat orang tua di sekolah, aku tersenyum pahit. Mereka datang untuk keperluan pendidikan dan menyapa anak-anaknya. Hal kecil seperti ditanya apa uang jajannya masih tersisa dan malah menambahkannya itu membuat hati kecilku bertanya, “Kapan, ya? Kapan bapak akan memberikan uang jajan untukku membeli mobil truk pasir di toko Koh Akong?”
Lalu saat pulang sekolah, beberapa di antara mereka dijemput oleh ayahnya. Walau hanya dengan motor bebek, setidaknya … mereka merasakan apa yang tak pernah kurasakan. Alangkah beruntungnya mereka. Namun aku juga merasa beruntung karena memilikimu, Ibu.
“Aku bukan anak yatim!” teriakku ketika ejekan menghiasi hari. Teman-temanku selalu menunjuk diriku bila diadakan santunan untuk para anak yatim di sekolah. Aku selalu marah dan hampir menangis karena kuyakini Bapak masih bernapas. Masih kuyakini kalau Bapak akan pulang pada kita, Bu.
“Kalau memang bukan, lalu kenapa Bapakmu tak pernah ada di rumah? Berarti kau itu anak yatim!”
“Awas kau! Bila Bapakku pulang nanti, akan kuadukan padanya!”
Begitu ucapku sambil menahan air mata. Tapi ketika perjalanan pulang, aku sadar mungkin hal itu tak pernah terjadi. Mungkin Bapak tidak akan pernah mendatangi mereka sambil bertolak pinggang dan kedua matanya melotot hingga ejekan mereka tidak lagi mengusik. Tapi kenyataannya … ejekan-ejekan itu rutin kudengar setiap satu bulan sekali. Atau bahkan perkataan mereka adalah suatu kebenaran kalau aku adalah seorang anak yatim? Apakah Bapak telah meninggalkan dunia ini tanpa menatap mataku sekali saja?
Ternyata Bapak memang tidak akan pernah pulang. Bapak tidak akan pernah melangkahkan kakinya untuk menuju padaku. Kalau memang Bapak menyayangi kita, Bapak akan segera datang ke rumah yang tak pernah kita tinggalkan ini. Bapak akan segera menelepon ke nomor rumah yang masih sama, yang pernah ramai oleh panggilan telepon dari penagih hutang. Iya. Bapak bukan sekadar meninggalkan kita. Bapak meninggalkan hutang juga pada kita.
Bahkan hingga kini aku bersedia meminang pujaan hatiku, Bapak tidak hadir. Walau sejujurnya aku berkhayal kalau saja Bapak tiba-tiba hadir dan tersenyum. Lalu berdiri di samping Ibu. Meminta maaf karena membiarkan peluh-peluh Ibu menggantikan kewajibannya, dan berjanji untuk tak pergi lagi. Sekaligus menyaksikan sumpah sakral yang akan kulakoni walau bukan sosok Bapak yang mengumandangkan azan di telingaku ketika aku terlahir.
Aku juga tahu kalau Ibu merindukannya saat kulihat air mata yang tergenang di mata Ibu. Diam-diam mengatakan, ”Seandainya Bapak ada di sini ….”
Tapi aku yakin kalau engkau adalah manusia kuat, Bu. Tanpanya, Ibu bisa mendampingiku hingga dewasa dan tumbuh menjadi pria yang sebentar lagi akan memegang tanggung jawab besar yang tak pernah bisa Bapak lakukan.
Aku berjanji pada diriku agar tidak menjadi seperti Bapak. Meski aku tak tahu ia pernah merasa bersalah atau tidak, aku memaafkan Bapak. Kumaafkan Bapak yang tak pernah kudengar kata maaf sekali pun dari mulutnya. Kata maaf untuk setitik benih yang ia tanamkan pada wanita hebat, yang pernah ia janjikan suatu kebahagiaan.
Rosila Fauziah
Kreator yang aktif menulis artikel berbentuk narasi di PT Konten Baik Indonesia (Hipwee) secara rutin setiap bulan, penulis parah waktu E-Novel di platform GoodNovel, dan rutin mengunggah karya tulisan di media sosial Instagram.

Posting Komentar