Ternyata Bandung ada Pelosoknya
![]() |
Jabar Ekspres |
Cangkeman.net -Sebelum masuk ke inti cerita, tulisan ini terinspirasi sama artikel Cangkeman yang ditulis saudara Galih soal culture shock selama tinggal di Cianjur. Rasanya relate dan pengen nambahin apa yang saya rasain selama tinggal di sebuah desa terpencil di Bandung. Hehe, makasih Mas Galih, saya jadi punya bahan tulisan wkwk.
Bandung mungkin familiar dengan tempat-tempatnya yang ikonik seperti Braga, Cihampelas, Dago, DU (Dipatiukur) dan daerah lainnya yang biasa dijadikan muda-mudi tempat tongkrongan. Buat rekreasi alam sendiri, Bandung terkenal dengan daerahnya yang sejuk di Pangalengan, Ciwidey, dan Lembang.
Nah, sayangnya saya gak tinggal di tampat-tempat di atas tersebut. Satu bulan lalu, saya pindahan ke suatu desa terpencil bernama Pinggirsari yang berjarak 25 kilometer dari pusat kota Bandung. Iya, migrasi kota-desa. Gak culture shock gimana buat saya yang bertahun-tahun tinggal di pinggir kota, tiba-tiba hidup di pelosok Bandung, hahaha.
Ketimbang disebut culture shock, beberapa poin ini menjadi hal unik tersendiri buat saya—yang tentunya jarang ditemukan di pusat kota, khususnya Bandung.
1. Nikah setelah lulus SMA
Di kampung saya sendiri, gak ada satupun lulusan SMA yang kuliah. Usia 18 tahun itu batas maksimal pernikahan untuk perempuan. Di usia saya, rata-rata mereka udah hamil anak kedua. Bayangkan nasib saya yang terkesan jadi 'perawan tua' di umur yang masih 22 tahun!
2. Hamil berjamaah
Yang ini gokil dan bikin saya tercengang, sih. Saya kira cuma satu-dua orang yang kebetulan hamil barengan. Setelah dikit-dikit kenal, ternyata ada sekitar 10 warga kampung yang hamil dengan rentan usia yang gak jauh beda. Ehem, siap-siap harus ngado nih saya:)
3. Sikap gotong-royong yang sangat kental
Di hari saya pindahan, satu RT bantu-bantu angkut barang dari jalan utama ke rumah yang aksesnya bukan main naik-turun dan terjal. Tapi, gak ada satupun yang mau dikasih upah, bahkan anak-anak kecil sekalipun.
Gak sampai di sana, keesokan harinya banyak warga yang berkunjung cuma buat 'say hai', ngasih buah pertanian, sampe nawarin bantuan kalo-kalo ada yang diperlukan. Jelas jauh sama tempat tinggal lama saya, yang hubungannya lebih ke masing-masing aja.
4. Ibu-ibu dan bapak-bapak perkasa
Satu cerita pas pindahan, saya dan keluarga dibuat kaget ngeliat salah seorang warga yang mengangkut lemari berbahan jati sendirian. Lewat jalan setapak yang curam, memanggul lemari yang beratnya gak main-main. Jantungan saya!
Eh, usut punya usut, ternyata warga di sini emang segitu kuatnya. Karena di kecamatan Arjasari dipenuhi kebun jagung, mereka terbiasa memanggul karung berisi jagung dengan berat 60-80 kg.
Ibu-ibunya sendiri pada jagoan bawa motor di jalanan yang menurut saya ekstrim. Kalangan pecinta off-road udah jelas kalah dibandingin para ibu tangguh ini. Cuma bermodal motor matic, dengan mudahnya mereka menaklukkan gunung lewati lembah demi nganterin anak sekolah, wkwk. Salut, deh!
5. Para sepuh yang masih aktif beraktivitas
Liat nenek-nenek gendong tumpukkan rumput, bersepatu boot, topi bertani, dan memegang arit, udah pemandangan yang sangat biasa di sini. Salutnya lagi, ada seorang kakek berumur 98 tahun yang masih eksis dengan outfit nyentriknya bernuansa Rock n Roll.
6. Penduduknya yang sedikit
Di tanah yang sangat luas, sebagian besar ditanami kebun-kebun dan peternakan warga. Jadi gak heran kalo warganya pun terbilang sedikit dan itu-itu aja.
7. Menyampaikan informasi dari mulut ke mulut
Ini berhubungan dengan jumlah penduduknya yang minim dan berjauhan antar kampung. Sebagai contoh kecil, berita kepindahan saya yang menyebar satu desa Pinggirsari.
Hari pertama nganter adek sekolah, saya disapa oleh sepasang sepuh di sana. "Neng yang pindahan dari kota itu, ya?" (Wanjay kota wkwk). Padahal, jarak sekolah dari rumah itu jauh dan ngelewatin beberapa kampung. Kesini-sini, jadi gak heran lagi kalo dalam radius 5 kilo, ada orang asing yang tiba-tiba kenal saya heuheu.
8. Susah sinyal
Ini bukan judul film ya, tapi emang nyata adanya. Di antara banyaknya operator seluler, cuma satu yang jaringannya lumayan bagus. Yaa ... meskipun pas mati lampu, jaringan ikut padam juga. Mirisnya, layangan internet sekelas Indihome aja gak nyampe loh ke sini. Keren, kan? Hahahaha.
9. Rumah dengan desain khas
Setiap rumah di sini pasti punya jendela di semua ruangannya. Ini mungkin berhubungan sama daya listrik yang rata-rata hanya menggunakan 450 watt. Jadi, kalo siang rumah saya diterangi sinar matahari langsung.
Kamar mandinya pun sebagian besar gak full tertutup, pasti ada celah yang kalo mandi itu bisa sambil menikmati pemandangan langit wkwk. Kalo yang ini, saya masih belum tau pasti alasannya.
Selain itu, setiap rumah dilengkapi dengan hawu. Kamu yang kebetulan tinggal di pedesaan pasti gak asing dengan tempat masak tradisional Sunda ini. Di rumah pun ada, tapi saya sendiri masih belajar menghidupkan api dengan kayu bakar.
10. Banyak anjing bebas berkeliaran
Di kota, anjing sengaja dijadiin hewan peliharaan, atau sebagai anjing penjaga yang diamnya di pekarangan rumah. Lah di sini, anjing udah kaya kucing jalanan yang bebas bertamasya ke mana aja.
Ya itu tadi, anjing-anjing ini sekaligus bertugas jaga kebun dan peternakan warga. Setiap ada orang asing, mereka gak berhentinya menggonggong. Iya, termasuk ke penduduk baru seperti saya, wkwk.
Itu dia hal-hal yang hampir gak pernah saya temuin selama tinggal di kota. Di setiap tempat tenggal tentu ada plus-minus-nya sendiri. Tinggal di kampung terpencil—daripada diambil pusing, kenapa gak dianggap sebagai anugerah aja? Ya ... itung-itung healing yekan.

Posting Komentar