Ospek Kok Marah-marah?
![]() |
Medium |
Cangkeman.net - Kampus merupakan wadah pendidikan formal guna mendidik mahasiswanya sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, yang terjadi tidak demikian. Dalam kegiatan ospek misalnya, masih ada saja yang menggunakan konsep klasik: marah-marah, bentak-bentak, dan memberi hukuman tiap ada kesalahan.
Saya langsung mbatin, bukankah perpeloncoan sudah tidak boleh lagi di dunia akademik? Dan, memangnya tidak ada konsep lain? Konsep yang sesuai dengan zamannya gitu lho.
Tidak jarang juga sampai ada mahasiswa yang menangis dan pingsan. Iya, pingsan lho he. Padahal, ospek seharusnya menjadi satu pengalaman visual untuk mengenal lebih dalam dunia perkuliahan.
Selain tidak berguna, konsep tersebut juga semakin memperlihatkan tidak progresifnya para mahasiswa yang didaulat sebagai agen perubahan. Katanya mahasiswa progresif, tapi kalau buat acara yang dipakai malah konsep lamaaa.
Loh, memangnya kenapa kalau pakai konsep lama? Begini, Dek. Semua konsep itu bagus. Namun, yang menjadi pertimbangan adalah kesesuaian konsep tersebut dengan kondisi yang ada.
Oh, iya, satu lagi, hanya karena dulu pernah dilakukan, bukan berarti hal tersebut juga dapat diterapkan di semua zaman, termasuk zaman sekarang.
FYI aja, salah satu alasan kenapa ospek zaman dulu sangat keras adalah karena dulu lingkungan kerja memang cukup keras. Karyawan dibentak adalah hal wajar. Karena itu, ospek pun disesuaikan.
Lantas, apakah konsep marah-marah tersebut masih relevan di era yang apa-apa serba self-love? Yah, padahal dikit-dikit ngeluh soal mental, tapi nyerang mental orang dengan marah-marah ketika membuat acara.
Memangnya apa sih tujuan dari konsep marah-marah tersebut? Apakah agar disiplin dan punya mental yang kuat? Jika itu alasannya, maka tentu saja konsep tersebut tidak tepat untuk diterapkan.
Kenapa? Begini, pertama, konsep marah-marah tersebut sebetulnya adalah penerapan gaya kepemimpinan otoriter yang tidak membuka diskusi dan menganggap hukuman sebagai solusi.
Bukankah gaya seperti ini paling dibenci mahasiswa? Lantas kenapa malah diterapkan pada kegiatan pengenalan kampus?
Cara mendisiplinkan seorang tentara dan akademisi tentu berbeda, jangan apa-apa disamakan. Tidak disiplin adalah satu hal, solusi atas masalah tersebut adalah hal yang lain.
Ibaratnya dalam sekolah, ketika ada murid yang tidak disiplin, bukankah seharusnya guru yang baik adalah yang memikirkan cara “halus” agar muridnya bisa disiplin? Dan bukan langsung marah-marah, kan?
Selain karena tidak menyelesaikan masalah, di zaman sekarang, ketika guru marah-marah bahkan sampai bentak-bentak, maka sangat beresiko kejadian tersebut akan ramai dibuat video, ditulis sebagai treath di twitter, dan akan viral di media sosial. Kemajuan zaman ini kejam, Cuy.
Kedua, apa iya tujuan dari konsep tersebut agar mental menjadi kuat?
Sebentar, definisi mental kuat ini bagaimana? Mental seperti Ultraman? Ukuran dari mental kuat pun masih ngambang dan terkesan ugal-ugalan. Pokoknya kalau nangis berarti mentalnya lemah, gitu?
Begini, sama halnya dengan tingkat kecerdasan, kekuatan mental orang juga berbeda. Tidak bisa diukur dari apakah ia menangis atau tidak ketika dibentak. Karena mudah menangis bukan ukuran mental lemah. Ia hanya lebih bisa mengekpresikan perasaannya saja.
Mengutip Maria Frani, dalam bukunya “Anosthesia”. Dikatakan bahwa ketika kita sering menekan emosi, Meredam gejolak yang ada dalam diri meski sedang marah atau sedih agar tetap dianggap baik-baik saja bukanlah hal yang bijak.
Karena hal tersebut membuat emosi kita akhirnya mengendap dan membuat kita merasa ada yang salah dengan diri kita tetapi tidak tahu penyebabnya. Kemudian dampaknya adalah tiba-tiba merasa sedih dan hampa tanpa tahu apa penyebabnya. Oleh sebab itu, indikator mental kuat dilihat dari tidak menangis atau tidak adalah kurang tepat.
Dalam kajian parenting, perlu diingat bahwa memarahi, meneriaki, atau mungkin mengumpat ketika anak melakukan kesalahan bukanlah solusi yang tepat. Bahkan, respons kemarahan tersebut bisa saja akan menyakiti dan malah membuat anak mengalami trauma psikis yang dapat mengganggu perkembangan mental dan kecerdasannya.
“Tapi, zaman saya dulu malah lebih parah ospeknya, lebih keras dari sekarang.”
Begini, dalam konsep pendidikan, untuk menumbuhkan mental yang kuat itu bukan dengan cara marah-marah. Melainkan dengan pembiasaan. Kita juga harus paham kalau tiap individu punya latar belakang yang berbeda, karena itu solusi atas masalah yang dialami tentu tidak bisa dipukul rata.
Wong kok ngene kok dibanding-bandingke. Saing-saingke, yo mesti kalah.
Karena itu, sekali lagi, anggapan menumbuhkan mental yang kuat dengan marah-marah adalah kurang tepat. Lantas, apakah ospek tidak berguna? Tentu bukan begitu. Saya setuju kalau ospek tetap ada, hanya saja dengan konsep yang dikemas dan disesuaikan dengan zaman.
Banyak kampus yang sudah berbenah, dan mulai menerapkan konsep ospek dengan riang-gembira. Semoga saja kampus-kampus yang masih menerapkan konsep lawas tersebut bisa terbuka hatinya.
Ospek harusnya ajang untuk memperkenalkan dunia kampus. Karena itu, akan lebih baik dikenalkan dengan cara-cara yang baik. Misalnya, diskusi terbuka, saling lempar sebuah masalah kemudian dicari pemecahan masalahnya. Dan setelah selesai, diskusi tadi dicatat atau dinarasikan dan dikirim di media. Saya kira kegiatan seperti itu akan berkali-kali lipat lebih baik daripada sekadar marah-marah saja.

Posting Komentar