Ospek Kok Marah-marah? (Bagian 2)
![]() |
Tribunnews.com |
Cangkeman.net - Selain berita tentang pergumulan politik yang selalu laris jadi komoditas suasana sosiologis negara Indonesia, tampaknya di sektor pendidikan, terutama di kampus juga tak mau kalah eksis dengan berita ingar-bingar kegiatan yang diwariskan zaman kolonial, yaitu “ospek kampus”. Di setiap tahun ajaran baru, selalu ada saja kejadian-kejadian ospek kampus yang dijadikan tagline oleh media massa karena penyimpangannya.
Baru-baru ini, salah satu kampus di daerah Banten diduga menjadi aktor atas penyimpangan kegiatan ospek. Beberapa media massa telah mengunggah narasi bahwasannya para maba dari kampus tersebut merasa diperlakukan secara tidak etis oleh seniornya dengan menjemur mabanya selama 10 jam. Tetapi, setelah beberapa hari berita itu tersebar, ketua BEM dari kampus tersebut mengklarifikasi bahwa berita itu adalah hoax. Syukur alhamdulillah untuk reputasi kampus tersebut.
Senada dengan itu, di beberapa sosial media juga sempat viral video seorang senior mahasiswa yang membentak-bentak maba saat ospek berlangsung. Untuk yang ini, saya pikir bukan hoax meskipun tidak tersemat pada tahun ajaran kapan kegiatan ospek itu berlangsung. Yang pasti, dalam video tersebut terlihat para maba yang identik dengan memakai kemeja putih, sedang berlari-lari seperti pelatihan militer dan dibentak-bentak oleh seniornya. Hal itu sungguh bukan hal yang tak asing lagi bahwa kegiatan ospek agaknya masih perlu untuk direstorasi.
Mengenai hal itu, saya di sini ingin mengupas beberapa kekacauan yang selama ini ada di dalam kegiatan ospek kampus. Karena dengan maraknya berita tentang ospek kampus, sepertinya masih ada miskonsepsi dari kawan-kawan mahasiswa terkait kegiatan ospek. Saya pun sempat heran, sebenarnya apa, sih, isi otak mereka tentang yang disebut “OSPEK”. Kok, ya dari tahun ke tahun masih ada saja kegiatan ospek yang menyimpang; yang penuh dengan per-peloncoan.
Kejadian-kejadian ospek semacam itu kan, harusnya sudah sirna ketika Mendikbud di tahun 2016 mencetuskan regulasi di No. 18 tentang aturan-aturan etis dalam menyelenggarakan ospek. Malahan, Mendikbud mengubah nama “OSPEK” menjadi pengenalan lingkungan kampus. Ya, meskipun pergantian nama tersebut tidak mengubah makna dari ospek, at least para senior-senior mahasiswa ini harus paham, bahwa perubahan nama itu adalah upaya mensiasati kejadian per-peloncoan yang ada di kegiatan ospek.
Kejadian ospek yang penuh dengan per-peloncoan itu bagi saya karena premis senior tentang ospek yang masih bersifat omong kosong. Sepeti misalnya ospek yang katanya untuk melatih kedisiplinan, untuk revolusi mental, untuk maba supaya hormat dengan senior, dan agar angkatan maba itu kompak dan saling punya rasa solidaritas. Chuakkszz… kata-kata yang terkesan hiperbolis tentanng ospek, tetapi penuh omong kosong menurut saya. Kok, bisa? Mari ikuti penjelasan saya.
1. Ospek untuk Melatih Kedisiplinan
Apa, sih, yang disebut disiplin? Apakah disiplin itu berhubungan dengan kekerasan? Bentak-bentakan? Saya kurang menangkap kalau ospek itu adalah upaya untuk membentuk kedisiplinan. Ospek itu bagi saya, adalah untuk mengenal apa saja dan bagaimana sistem kerja kampus. Sedangkan disiplin, itu adalah sikap yang taat dengan aturan-aturan yang ada pada sistem. Nah, pertanyaannya adalah apakah ospek dengan jangka waktu hanya beberapa hari itu mampu untuk membentuk kedisiplinan atas semua aturan kampus yang bahkan belum mereka (red: maba) alami? Apalagi dengan cara yang bercorak militeristik?
Saya pribadi bukan orang yang kompeten di bidang yang menyangkut kedisiplinan. Tapi setidaknya, saya tahu bahwa disiplin itu adalah sikap internal seseorang, sebuah sikap yang harus berdasarkan kalkulasi diri sendiri tentang eksistensinya. Kalau disiplin dibentuk dengan cara memaksa yang tidak bersifat asertif, bagi saya itu bukan disiplin, melainkan upaya mengubah manusia jadi robot. Sikap disiplin itu kompleks, kalau ospek yang dilakukan hanya dengan waktu singkat itu dapat menghasilkan kedisiplinan, maka lulusan psikolog harusnya insecure dengan kalian.
2. Ospek adalah Upaya Revolusi Mental
Apa hubungannya antara revolusi mental dengan ospek? Apakah yang disebut revolusi mental itu dengan membentak-bentak? Dalam beberapa literartur psikologi, membentak adalah salah satu bentuk kekerasan verbal, dan hal itu bukan malah menguatkan mental, melainkan melemahkan mental: Mengurangi kepercayaan diri, depresi, dan berbagai gangguan psikis lainnya.
Premis inti daripada ospek itu kan, mengenalkan mahasiswa baru terhadap apa yang ada di dalam sistem kampus. Termasuk bagaimana mengatur KRS, tata cara mengulang mata kuliah, atau tata cara mengajukan cuti. Lalu, kalau mau masuk kampus itu mentalnya harus kuat, bagi saya itu proposisi yang tidak logis. Perkara mau masuk kampus itu hubungannya dengan bagaimana seseorang itu mampu secara finansial untuk membayar pendaftaran, dan ada kemauan untuk belajar di kampus. Baru ketika sudah menjadi mahasiswa, sudah berjalan sistem pembelajaran, di situ ada program revolusi mental. Jadi, omong kosong kalau ospek itu adalah katalisator revolusi mental.
3. Ospek Adalah untuk Menghormati Senior
Ini yang menurut saya paling tidak logis. Mau masuk kampus; mau jadi mahasiswa itu adalah untuk mencari ilmu, bukan untuk menyembah sesama manusia. Sejauh yang saya tahu menjadi seorang mahasiswa, itu tidak ada deskripsi wajib atau teknis yang menjelaskan bahwa mau masuk kampus harus hormat kepada senior. Okelah kalaupun hormat kepada yang lebih tua itu perkara etis. Tetapi, dengan cara dibentak-bentak itu apakah dapat menghasilkan seorang maba itu hormat? Bukankah harusnya malu kalau dihormati hanya karena ditakuti? Perkara dihormati menurut saya bukan karena ditakuti, tapi karena kebijaksanaan seorang senior dalam mengayomi. Lagi pula, juga sangat irasional kalau ospek itu salah satu tujuannya untuk menghormati senior.
4. Ospek agar Sesama Maba Bisa Saling Kompak dan Punya Solidaritas
Sekali lagi maaf untuk para senior yang pernah melakukan ospek dengan dalih ini, saya sama sekali tidak menangkap penalaran kalian antaranya ospek dengan kekompakan sesama maba. Okelah kalau agar saling mengenal satu sama yang lain. Tapi, untuk kompak dan solider, itu hal yang sangat-sangat kompleks; perlu adanya konteks-konteks dan parameter kuat untuk mengukur apa yang disebut kompak dan solider antar maba.
Kompak ketika ospek, bukan berarti akan terus bisa kompak ketika kerja kelompok, pun solider ketika ospek, bukan berarti akan terus bisa solider ketika ada yang lagi kesusahan. Ospek itu momen yang berbeda dengan momen ketika sudah berjalan menjadi mahasiswa beneran. Jadi, omong kosong kalau ospek itu akan menghasilkan kekompakan dan solidaritas, apalagi dengan cara yang tidak etis dan militeristik.
Beberapa kekacauan tentang ospek yang ada di atas, menurut saya sudah tidak perlu lagi diaktualisasikan. Sudahi budaya per-peloncoan yang terus-menerus melekat akibat rasa balas dendam. Lakukanlah hal yang logis, yang berorientasi pada esensi ospek itu sendiri. Seperti misalnya: Seminar tentang kampus, workshop, pengenalan UKM, atau apapun yang mengenai pengenalan mekanisme sistem kampus.
Oh, iya. Sebagai disclaimer, saya di sini juga tidak menganggap semua kampus di Indonesia melakukan penyelewangan ospek seperti yang sudah saya terangkan di atas. Saya menulis ini untuk beberapa oknum yang pernah melakukannya. Semoga di tahun ajaran yang akan datang, perihal penyelewangan ospek kampus sudah tidak lagi tersemat di tagline berita. Amin.

Posting Komentar