Santri Double Privilege

OPOP Jatim

Cangkeman.net - Secara bahasa kata privilege memiliki arti hak istimewa,hak khusus, keunggulan. Kata ini berasal dari bahasa Inggris yang secara istilah arti privilege adalah hak istimewa yang biasanya didapatkan sejak lahir oleh anak-anak orang kaya. Hak istimewa tidak hanya uang secara harfiah,tapi juga channel, kesempatan, pengalaman dan sejenisnya. Privilage yang akan saya uraikan bukanlah siapa kita dan oleh siapa kita dilahirkan tapi bagaimana kita mencari hak istimewa itu dengan jalan yang sudah menjadi jalan kita. Afdolnya kita sebagai santri Nusantara.

Santri adalah anak-anak didik yang sedang mencari ilmu, terutama ilmu agama. Di mana tidak banyak dari seluruh anak muda di Indonesia yang mendalami ilmu agama. Dari sepersekian pemuda Indonesia menjadi santri adalah sebuah privilege .Bagaimana tidak, santri itu manusia pilihan yang memiliki akses untuk melakukan banyak hal. Dengan berpegang agama semua akan berjalan sesuai syariat dan kaidah sosial masyarakat. Sedang kita tahu semua agama mengajarkan kebaikan dan kita berada pada agama yang sempurna, kompleks rahmatalil'alamin.

Di mana letak rahmatalil'alaminnya? Mudah, lihat Presiden ke 4 Indonesia, Gus Dur. Beliau dijuluki sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok kaum minoritas, dalam kalangan muslim dan kedekatannya dengan kalangan umat non-muslim seperti umat Kristen, Katolik dan etnis Tionghoa. Lihat juga Bapak KH. Henry Sutopo. Dalam bukunya berjudul "Catatan Seorang Santri". Buku yang diterbitkan oleh Istana Agency dan terbit tahun 2018 ini dari bab-babnya sudah terlihat bahwa hal-hal yang akan dibahas dalam buku itu bersifat universal, seperti "Hukum Terasi", "Pak Kyai Nombok", "Tahlilan Pancasila", "Tetanggaku Preman Beneran", "Menjual Tanah Wakaf",dan "Air susu dibalas Air Tuba." Sayang,buku ini hanya tersedia offline,harus beli. Tidak ada di perpustakaan online apalagi wattpad. Tapi kamu mungkin menjadi pemuda keren yang men-tasaruf-kan uangmu untuk belajar. Sebenarnya jajan awet ini cukup terjangkau,yah seharga beberapa porsi martabak.

Dari Gus Dur dan Bapak Kyai Henry Sutopo kita belajar menjadi santri memiliki peran penting dalam menyikapi berbagai macam keadaan dan menengahi perbedaan. Mereka adalah tokoh agama dengan jalur nyantri yang tentunya menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat berdasarkan agama dan pengalaman dengan memegang teguh perdamaian. Santri bukanlah orang yang dididik,diberikan kesempatan untuk merengek-rengek meminta diantarkan baju ke pondok lantaran bajunya belum dicuci. Bagaimanapun keadaannya, santri dilatih untuk menangani sebuah masalah. Diajarkan bertanya pada diri sendiri tentang bagaimana langkah yang harus diambil. Itu yang menjadikan santri berpengalaman menangani masalah.

Hal itu mungkin disebabkan santri telah mengalami culture shock sejak dini. Culture shock ialah perasaan gelisah, cemas, bingung. Rasa cemas yang dialami oleh seseorang yang baru menempati suatu daerah baru dalam waktu yang cenderung lama/bukan hanya sekedar untuk liburan. Kaget akan lingkungan baru membuat seseorang memaksa bisa membuka pintu pikirannya dan dituntut untuk melayani segala hal asing dengan penuh kebijaksanaan.B isa karena biasa, right?

Wajar kalau santri baru kaget akan tata cara hidup ala pesantren. Mandi saja mengantri. Nah, mengalami culture shock di pesantren itu salah satu privilege-nya. Karena kita dipaksa survive (bertahan hidup) dalam kondisi lapar, sedih, kangen, lelah, kekurangan finansial dan banyaklah. Sering kali nyantri menjadi momok para anak milenial karena repot dan bayang-bayang nyantri itu serem. Belum lagi beredar berita si A, si B nyantri malah blabla.... Memang benar ada yang nyantri justru tambah suram. Tapi apakah pesantren yang dipilih memiliki sanad yang jelas? Apakah ada yang salah dari didikan keluarganya? Atau ada problem lain? Anaknya dipondokkan, sebagai orang tuanya ya mari juga ikut memperbaiki iman, ketaqwaan kepada Allah dan ikut mengindahkan aturan-aturan pondok. Bagaimana seorang santri belajar sesuai yang diajarkan guru jika orang tuanya tidak sepenuhnya percaya pada pesantren? Atau malah menentangnya? 

Untuk anak milenial nyantri menjadi big opportunity (kesempatan besar) dalam mempersiapkan masa depan. Tenaga sedang kuat-kuatnya, pikiran juga masih kinyis-kinyis untuk belajar. Apalagi milenial yang takut mondok, nyantri patut dicoba. Jika ia mondok, satu langkah ia menundukkan ketakutannya, ke dua ia sudah berada pada bibir pintu kemuliaan, ke tiga ia akan bangga bisa melewati step by step semua ketakutannya. Dan itu Kerennn! Dari sini kita dapat menarik benangnya, culture shock menjadi dasar mendapatkan privilege karena culture shock ialah suatu bentuk dari kesempatan tumbuh dan berkembang.

Setidaknya semua hal di atas adalah privilege saya. Dengan jalan nyantri saya lebih peka terhadap lingkungan. Ternyata bermasyarakat itu penuh dinamika nan ruwet. Mengahadapi sesama manusia tidak bisa dipukul rata dengan cara yang sama. Di sini pula saya bisa bertemu guru-guru yang amat sabar juga dermawan, santri lulusan Kairo, keturunan Syarifah, bertemu orang-orang yang hafal Al-Qur'an. Saya yang bukan dari keluarga pesantren, bertemu tokoh-tokoh itu tidaklah mungkin ketika saya bukan seorang santri.

Sayidah Chovivah

Santri. Tetap makan masakan mamak meski sudah makan di luar.