Santri Juga Manusia

Universitas Airlangga

Cangkeman.net - Ya gak, sih? Biasanya, anak ‘pondokan’ punya kesan yang kaku di kehidupan masyarakat umum. Karena belajar banyak soal ilmu keagamaan, santri pun mendapat cap positif dan negatifnya sendiri. Contoh negatifnya, disebut berpikiran sempit—dalam artian, gak ngasih toleransi apa pun perihal norma agama. Selain itu, santri juga sempat dipandang kuper karena lingkungan dan pergaulan pasti berbau agama doang.

Oke begini, saya sendiri berakhir di salah satu pondok pesantren di kecamatan Singaparna, Tasikmalaya. Anehnya, temen-temen malah mengkasihani saya karena menjadi 2 dari 400 siswa yang melanjutkan pendidikan SMA di pondok pesantren. Di sini lah saya sadar, kalo mondok itu dianggap gak menyenangkan.

Setelah terjun langsung, saya gak menemukan hal-hal yang kebanyakan orang bilang. Pondok pesantren cuma menyediakan fasilitas dan jadwal keseharian yang kebanyakan dipenuhi dengan kegiatan agama. Pikiran pun terbuka karena ada di tengah orang-orang dengan ras dan kebiasaan berbeda. Selebihnya? Balik lagi ke santri itu sendiri.

Sekali pun sekolah agama, bukan artinya di sana gak ada yang melakukan kesalahan. Banyak kok kubu-kubu gibah yang berserakan. Belum lagi surat-surat cinta yang berujung doi disabet temen sendiri. Gak cuma itu, bolos juga terjadi di dunia ‘perpondokan’. Ada yang bolos sekolah tapi rajin ngaji, ada yang bolos ngaji tapi rajin sekolah, ada yang gak pernah bolos tapi kerjaannya cuma tidur. Liat? Gak ada yang beda, santri itu cuma sebutan lain dari ‘siswa’ di sekolah agama.

Jadi, menghabiskan 3 taun di pondok gak berarti setelahnya saya jadi ustadzah seperti yang ada di pikiran warga se-RT. Gak juga menjadi penghafal Al-Qur’an seperti yang selalu Ibu saya tanyain tiap balik kampung. Satu hal yang pasti, saya punya banyak keluarga baru dari berbagai daerah di Nusantara. Itu aja.

Sayangnya, stigma udah terlanjur ter-setting di pikiran masyarakat luas, kalo yang namanya santri itu pasti minim dosa karena lebih tau seluk-beluk agama. Seolah kami gak boleh berbuat salah. “Lulusan pondok kok buka kerudung?”, “Santri kok pacaran?”, “Sekolah agama kok sholatnya masih belang-betong?”. Begitulah, kurang lebih nadanya.

Saya gak minta disahkan juga kalo santri bertingkah begini-begitu. Cuman, kayanya lebih enak gak ada embel-embel santrinya deh, wkwk. Karena gak melulu soal agama, semua tergantung gimana orang bertanggung jawa sama ilmunya.

Di tengah kenakalan remaja sendiri, mereka juga kerap dianggap manusia suci yang gak mungkin pernah nakal. Kalo pernah pun, kenalan baru biasanya sungkan ngajak yang ‘aneh-aneh’ karena berpikir lulusan santri mana berani nakal lagi. Lah, kata siapa?

Serius deh, jangan naruh ekspektasi tinggi sama mereka-mereka yang belajar agama, apa pun lembaganya. Level habib aja masih banyak dicap jelek karena poligami dan sebagainya, apalagi para santri remahan garam yang baru turun ke dunia nyata.

Saya gak niat ngejelek-jelekin santri sih, tapi itu tadi, mereka ini bukan jelmaan malaikat. Namanya manusia, nakal atau melakukan sesuatu yang salah itu pasti pernah dan bisa berulang. Bahkan gak menutup kemungkinan kalo ada santri yang nakalnya kelas kakap dan masih menjelma jadi pendosa, hahahaha.

Letak perbedaannya hanya—mereka memfokuskan belajar di bidang agama. Hal ini gak berarti semuanya punya akhlak yang mulia. Sebaliknya, banyak dari santri yang seusai lulus terbebani dengan banyak ilmu yang entah mau dibawa ke mana. Mau disebarluas, masih miskin pemahaman. Mau disimpen sama sendiri, takut jadi dosa. Apa lagi kalo sampe lupa. Kalo tau begini, ada baiknya bisa mempersiapkan diri dulu sebelum belajar.

Tapi gak melulu semua santri begitu, masih banyak yang setelahnya jadi lebih baik. Yang jadi masalah, pasang surutnya iman itu balik ke diri masing-masing. Ada proses adaptasi yang berbeda-beda, meski kadang keseleo dikit dan masuk lagi ke jurang. Ya, namanya juga manusia. Tapi harus lebih baiklah! Mau sampe kapan gini terus? Hehe.

Thiara

Lagi fokus mempelajari alur plot twist! Aktif menulis berbagai genre dan ragam sastra serta membuat ilustrasi bergaya abstrak. Puan berdarah Sunda-Sumatera ini bisa ditemui pada Instagramnya @thiara.yhiara.