Perihal Peserta CPNS Mengundurkan Diri dan Kaitannya dengan Milenial
![]() |
pdm-asn |
Cangkeman.net - Hari libur yang jatuh pada 1 Juni kemarin memang paling enak bangun tidur langsung ke ruang keluarga. Menonton tv yang udah jarang dihidupin sambil makan donat kampung. Saat dinyalakan, kebetulan Kompas TV sedang membahas sekitar 105-an CPNS yang sudah dinyatakan lulus malah mengundurkan diri.
Sebetulnya, sih, perkara kandidat mengundurkan diri merupakan fenomena yang biasa terjadi. Nah, bagi mereka yang bekerja ngurusi MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia), misalkan, untuk mengakali kejadian serupa yaitu dengan menyimpan kandidat cadangan. Sah-sah saja seseorang yang akhirnya mengundurkan diri dari proses rekrutmen dan seleksi bahkan saat yang bersangkutan sudah dinyatakan diterima. Nggak cuma perusahaan atau instansi, calon karyawan punya hak untuk menolak atau mengundurkan diri dengan berbagai pertimbangan.
Yah, dari sudut pandang divisi SDM, fenomena kayak begini bikin mangkel sesaat juga. Apalagi kalau kandidat keliatannya udah klop dan oke banget dengan ini-itu. Eh, tiba-tiba mengundurkan diri. Entah di-hijack perusahaan lain, atau perusahaan tempatnya bekerja ngelakuin buyback. Mendapatkan kabar kandidat memutuskan mengundurkan diri, Recruiter cuma bisa mengumpat “Asu!” dalam hati. Pernah kan, yang berprofesi sebagai Recruiter merasakannya? Nggak usah sungkan bilang iya. Apalagi kalau kejadiannya bertepatan dengan “bursa musim panas” menjelang hari raya lebaran. Rangkaian umpatan bisa menjadi pengganti dzikir.
Sementara pendapat Pak Tjahjo Kumolo lebih memperkirakan masalah gaji yang nantinya didapat yang menyebabkan ratusan calon pegawai negeri itu memutuskan menyudahi proses rekrutmen dan seleksi. Bapak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Indonesia bahkan memberikan informasi bahwa perkara gaji yang kecil sebetulnya bisa ditutupi dengan tunjangan ini-itu. Entah bisa menutup atau tidak, saya nggak tau pastinya.
Mau PNS atau bukan, setiap tempat kerja punya Struktur Skala Upah (SKU) yang mengatur pendapatan karyawan di tempat kerja. Artinya, upah yang diterima mempertimbangkan banyak faktor, seperti: tingkat pendidikan, jenjang jabatan, durasi mengabdi, dan sebagainya, yang intinya setiap detail di SKU mengandung nominal uang. Jangankan dalam perusahaan atau instansi yang sama, ditempat lain sudah pasti bisa berbeda nominal uang yang didapatkan karyawan dalam setiap bulan, misalkan.
Pertanyaannya, apakah yang mengundurkan diri karena perkara upah? Bisa jadi. Bisa jadi pula menyesal soal penempatan, atau mungkin saja dengan alasan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi PNS. Kalau hubungkan dengan fenomena generasi kini yang terlalu pemilih dalam pekerjaan, menjadi suatu hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Anggaplah generasi Milenial, mereka yang lahir dalam rentang waktu pertengahan '80-an sampai akhir '90-an. Ada juga yang berpendapat bahwa tahun 2000 masih kategori Milenial. Kelompok ini, selain sering berpindah-pindah tempat kerja, juga dikenal sebagai generasi yang picky dengan pekerjaan. Bahkan, laman wikipedia yang sering banget diragukan kebenarannya, bisa betul juga dalam membahas generasi melamin. Katanya, generasi ini kurang cocok bekerja ikut orang.
Apa sebab? Karena generasi Milenial memandang pekerjaan bukan “sekadar” kewajiban melainkan bagian dari kehidupan. Tentu dua hal ini sangat berbeda. Mudahnya, kewajiban merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Kalo tidak, akan buruk. Paling mudah dalam membayangkannya, seperti umat muslim punya kewajiban mendirikan salat wajib lima kali dalam sehari. Kalau dilakukan mendapatkan pahala hingga berbagai ganjaran baik. Kalau tidak dilakukan akan berbahaya. Nyemplung neraka contoh terburuknya.
Nah, dalam konteks pekerjaan jika dilihat dalam konteks kewajiban, hanya dilihat dari perkara uang. Jika bekerja akan mendapatkan uang sementara kalau tidak bekerja ya, mendapatkan uang darimana? Kalau tidak punya uang akan berdampak buruk. Susah hidup. Tentunya cukup banyak generasi lalu yang memandang hal ini. Asalkan bekerja dan menghasilkan uang, yaudah. Boomer terutama, dan barangkali Generasi Z juga punya pandangan yang sama.
Sementara generasi Milenial memandang pekerjaan tidak hanya sekadar kewajiban tetapi juga bagian dari hidup. Ujungnya, soal puas atau tidak dengan pekerjaan yang dipunya. Hal inilah menurut saya melatarbelakangi Milenial picky banget dalam memilih pekerjaan dan cenderung “nomaden” akibat sering pindah kantor.
Artikel yang berjudul, “The unluckiest generation in U.S. history” yang dimuat di The Washington Post pada 5 Juni 2020, sedikit banyak menggambarkan kesialan generasi Milenial di Amerika Serikat. Dengan data yang disertai bagan beragam warna, penulis meramalkan generasi ini akan susah mengumpulkan kekayaan pribadi, seperti punya rumah, lantaran terlalu lama didera luka ekonomi. Dari resesi ekonomi tahun '99 sampai Covid-19. Barangkali kondisi Milenial di Indonesia agak mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat.
Kalau perkara di atas dihubungkan dengan memilih pekerjaan, menurut saya, masalah gaji bukan masalah utama yang dihadapi Milenial. Barangkali juga sudah tahu bahwa mereka susah kaya, jadi nggak terlalu berharap gaji besar. Saya pun yakin, lebih banyak yang berpikir demikian. Bukan bermaksud menyatakan, gaji itu nggak penting, loh, ya. Tapi perkara ini paling bisa dinego daripada hal lain.
Inilah masalah utamanya, apakah pekerjaan yang dipilih termasuk bagian dari hidup? Sebuah pertanyaan yang kental dengan filosofis. Tak jarang sampai melupakan hal-hal yang realistis. Misalkan, pokoknya asal menjadi bagian hidup, gaji kecil nggak masalah. Bagian dari hidup sih bagian dari hidup, tapi kalau “ngasih” makan sisi idealis yang berlebihan rasanya nggak bagus juga.
Kenapa sih ada yang begitu, khususnya generasi Milenial? Kalau menurut saya, mereka begitu lantaran capek dengan kecemasan hidup. Milenial merupakan generasi yang cukup unik. Satu sisi, mereka atau orang-orang terdekat mereka, pernah mengalami kehidupan yang stagnan berkepanjangan. Ini juga yang menjadi mereka dan/atau orang sekitarnya suka mengeluh kalau zaman dulu lebih enak daripada masa kini. Karena di masa yang telah mati itu tidak banyak terjadi perubahan dan stagnan hidup yang panjang. Namun di sisi lain, mereka juga merasakan perubahan zaman secara masif. Sehingga, sadar atau tidak, Milenial mengembangkan sisi neurotik.
Dalam contoh terkecil, generasi ini bisa saja didikte oleh kecemasan hidup. Bahkan saya berani bilang dimanfaatkan. Contohnya, potongan harga atau diskon dan gratis ongkir dalam durasi terbatas bisa menimbulkan kegiatan belanja yang impulsif. Ini kan bisa dibilang cara pasar dalam memanfatkan kecemasan. Banyaknya kafe-kafe bertebaran dengan menu utama kopi juga menjadi bahan pengamatan lain. Kopi mengandung kafein dan berfungsi meningkatkan konsentrasi. Meski bersumber pada keyakinan, generasi ini punya jumlah peminum kopi lebih banyak daripada generasi lalu. Bukan karena menikmatinya, tetapi memang membutuhkan asupan kafein. Bahkan, bukan tidak mungkin kecanduan.
Kafein dijadikan “senjata utama” dalam memerangi kecemasan hidup. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, berfungsi sebagai meningkatkan konsentrasi. Berbeda dengan ketakutan, kecemasan punya objek yang nggak bisa dipastikan kejelasannya. Sebagai contoh, kecemasan hidup. Faktor-faktor apa saja yang terlibat? Belum tentu mereka mampu menjawab. Pun demikian saat tahu berbagai faktor yang ada, belum tentu bisa menentukan faktor utama, dan seterusnya. Bahkan apabila sudah mengalami kecemasan akut, faktor yang sepertinya masih terlalu jauh bisa dipikirkan dan dipertimbangkan saat ini juga. Singkatnya, kecemasan mempertimbangkan banyak faktor sementara ketakutan tidak.
Maka, salah satu keputusan yang diambil oleh generasi ini adalah mempertimbangkan sekali pekerjaan yang dipilih. Segala hal akan dianggap sangat mempengaruhi. Pekerjaan bagi mereka merupakan bagian dari hidup, bukan “sekadar” kewajiban semata; asal mendapatkan uang, yaudah selesai perkara. Milenial tidak bisa seperti itu.
Mereka menginginkan pekerjaan yang mampu melepaskan kecemasan yang dirasakan. Kalaupun tidak terlalu menghasilkan bila dibandingkan punya pekerjaan pada umumnya, setidaknya puas dalam menjalankannya. Inilah yang menjadikan dasar bagi mereka bahwa pekerjaan bagian dari hidup. Ingin punya pekerjaan impian terlepas berapapun pendapatanya nanti. Seperti sudah dibilang, perkara hidup berakhir pada puas atau tidak. Barangkali tren turunnya popularitas bekerja menjadi PNS yang sempat disinggung di berita yang ditayangkan di Kompas TV, merupakan salah satu dampaknya.
Yah, kalau ngomongin pekerjaan impian kadang bisa menjadi pembahasan aneh. Generasi ini juga yang membuka mata masyarakat kalau pekerjaan yang dipunya nggak mesti kantoran dan Milenial bangga akan hal itu. Punya cita-cita unorthodox nggak masalah. Asalkan yang bersangkutan senang, yakin dan memang punya usaha yang tinggi dalam mencapainya, kenapa nggak?
Tapi memang, dalam mencapainya harus mempertimbangkan sisi realistis. Maksudnya, kalau tidak terlalu menghasilkan pada awalnya, harus punya pekerjaan lain. Biar dikata lain, atau bukan berarti tidak dilakukan sungguh-sungguh: bekerja di perusahaan yang mampu memberikan keamanan, kenyamanan, ketentraman dalam bekerja, punya jabatan, bahkan punya penghasilan yang agak kurang ajar kalo dibilang lumayan. Namun suatu waktu, mereka akan meninggalkan pekerjaan sampingan jika pekerjaan utama sudah mulai menghasilkan atau mencapai suatu tahap yang telah ditentukan.
Jadi, menurut saya, bukan soal perkara gaji, apalagi sampai melabelkan Milenial nggak paham dengan pengabdian. Ini masalah pandangan tentang kerja itu sendiri. Bagi Milenial, pekerjaan bukan cuma kewajiban, tapi juga bagian dari hidup. Kalau solusinya hanya membeberkan besaran pendapatan yang diterima calon ASN dan pengabdian, dan memberikan kuliah pengabdian kepada mereka, saya pikir nggak akan berdampak terlalu signifikan. Misalkan, untuk meningkatkan minat agar menjadi ASN.
Lantas apa solusi yang tepat yang berkaitan dengan calon ASN itu? Yah, pikirin sendiri aja lah oleh mereka yang ngurusi proses rekrutmen dan seleksi calon abdi negara itu. Otak saya sudah kelewat penuh dengan kecemasan kehidupan sendiri. Dalam memikirkannya memang paling enak sambil ngopi ditemani donat kampung yang masih hangat.

Posting Komentar