Grhasta: Sumber Pertanyaan Kapan Menikah
![]() |
Cottonbro on Pexels |
Cangkeman.net - Hey, manusia yang masih betah melajang, sudah bosan atau barangkali jengkel saat dihadapkan pertanyaan, “Kapan menikah?”. Kadang, agak bingung dalam menjawabnya. Apalagi, pihak yang bertanya memberikan suatu “fakta” yang bisa dijadikan indikasi bahwa sudah waktunya kamu berkeluarga. Belum lagi ditambah dengan pernyataan, “Si ini-itu sudah (menikah), loh, kamu kapan?”. Akibat sering ditanya, alasan yang diberikan semakin menipis. Kalau saya, sih, gitu. Pada akhirnya, bertanya dalam diri, darimanakah sumber pertanyaan laknat ini?
Zaman boleh berganti namun peninggalan peradaban masa lalu belum tentu mati. Penyebabnya ada hal-hal yang tetap “hidup” dalam ingatan masyarakat. Psikologi mengenalnya sebagai bagian dari alam bawah sadar sosial. Kemudian disengaja atau tidak, diwariskan dari generasi ke generasi. Lalu pada akhirnya, giliran kita yang mendapatkannya. Konsep ini diciptakan oleh Erich Fromm.
Salah satu hal-hal dari peradaban masa lalu namun tetap hidup hingga sekarang adalah Catur Asrama. Kalaupun kita atau para pendahulu tidak mengenal konsep Catur Asrama, secara teknis diwariskan dalam bentuk pertanyaan. Salah satunya, “Kapan menikah?”
Seperti yang diketahui, peradaban Indonesia pada masa lalu, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan kepercayaan agama Hindu. Catur Asrama merupakan salah satu produknya. Sebuah konsep di mana manusia menjalani kehidupan melalui empat tahap atau tingkatan. Terlepas apa pun agama dan keyakinan kita atau orang-orang sekitar, Catur Asrama tetap hidup dalam diri manusia Indonesia. Salah satu tahapan Catur Asrama disebut, grhasta. Dia lah dalang dari sumber sakit kepala kaum jomblo.
Seperti yang diketahui, peradaban Indonesia pada masa lalu, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan kepercayaan agama Hindu. Catur Asrama merupakan salah satu produknya. Sebuah konsep di mana manusia menjalani kehidupan melalui empat tahap atau tingkatan. Terlepas apa pun agama dan keyakinan kita atau orang-orang sekitar, Catur Asrama tetap hidup dalam diri manusia Indonesia. Salah satu tahapan Catur Asrama disebut, grhasta. Dia lah dalang dari sumber sakit kepala kaum jomblo.
Grhasta merupakan tahapan yang dapat diartikan sudah waktunya untuk berkeluarga. Sebuah tahapan kedua yang harus dilewati manusia dalam konsep Catur Asrama setelah melewati brahmacari alias masa pendidikan. Jelas, fokus utama grhasta adalah membangun sebuah keluarga.
Apa yang ditanyakan seseorang kepada orang lain untuk mengetahui kapan dia membangun keluarga, pastinya dilatarbelakangi suatu hal. Kalau secara konsep Catur Asrama hal ini didasarkan pada semacam filsafat, yakni, Catur Purusa Artha.
Agak rumit memang menjelaskan Catur Purusa Artha. Singkatnya dapat diartikan sebagai empat tujuan hidup manusia, yang kemudian dalam mengimplementasikannya dalam bentuk Catur Asrama, yang mengatur pola hidup manusia sampai menuju masa tua. Dalam fase grhasta, yang menjadi “pegangan” adalah artha dan kama.
Terdapat dua arti dari artha. Pertama, artha merupakan tujuan hidup atau kepentingan orang lain. Dalam arti kedua, bisa berarti harta atau kekayaan. Kedua arti ini memang terkait dengan grhasta. Tanpa harta, bagaimana menghidupi keluarga? Artinya, dalam mendapatkannya, selain barangkali mengharapkan warisan kalau kebetulan terlahir dalam keluarga yang punya hal itu, cara lainnya adalah dengan bekerja. Misalkan sebagai karyawan di suatu perusahaan atau berwiraswasta. Kemudian hasilnya, untuk kepentingan orang lain, dalam konteks ini, tentu saja untuk anggota keluarga.
Jadi, sebetulnya pertanyaan “Kapan menikah?”, sebaiknya ditanyakan setelah mengetahui kondisi si jomblo. Kalau menanyakan hal ini namun yang bersangkutan belum mapan apalagi berstatus pengangguran, apa pihak yang bertanya agak dungu? Selain biar fokus dulu mencari harta agar hidupnya mapan tanpa harus menghadapi pertanyaan yang tidak perlu, apa tega mengikutsertakan anak orang yang sudah susah-susah dibesarkan oleh orang tuanya, malah diajak hidup susah bersama? Sok romantis ada batasnya juga kali.
Okelah, barangkali sudah dianggap mapan dan dengan nada heran dia bertanya, “Lha, kok masih betah saja hidup sendiri?”. Apalagi, mengetahui semakin tingginya usia. Sehingga yang bersangkutan tanpa lelah memberikan pertanyaan, “Kapan menikah?”, sampai tidak mengetahui bahwa telinga yang ditanya mulai membusuk. Namun tetap tidak peka dan selalu memberikan pertanyaan. Diingatkan sambil diberi wejangan ini-itu saat bertemu atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul, kemudian pembahasan ini bisa muncul begitu saja.
Kemudian selain artha yang difokuskan dalam masalah grhasta, adalah kama. Konsep ini dapat dimengerti sebagai hasrat seseorang untuk berbuat sesuatu. Sependek yang saya ingat, terdapat sepuluh hal di dalamnya. Kesepuluh itulah yang harus dikontrol agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal buruk. Karena memang hasrat sejatinya harus dikendalikan. Kalau mampu, akan muncul suatu kepuasan dalam diri seseorang saat menjalani kehidupan.
Tentunya seorang Grhastin; sebutan orang yang berada pada tahap grhasta selain mengontrol hasrat dalam diri, punya kewajiban untuk memiliki keturunan sehingga akan muncul juga pertanyaan “Kapan punya anak?” Atau saat sudah punya anak, akan muncul pertanyaan lanjutan, “Kapan nambah (anak)?”
Perkara mencari jodoh memang sama misterinya dengan mencari kantong rezeki. Sudah serius, eh, malah nggak jadi. Atau kadang juga berpikir, “Apa yang kurang dalam diri ini, sampai-sampai jodoh nggak kunjung datang?” Bukan bermaksud sok laku, tapi terkadang masalah susahnya mendapat jodoh bisa membuat bingung juga. Wah, kalau semakin dipikir malah semakin membuat rendah diri karena menemukan banyak kekurangan yang ada dalam diri. Bukan tidak mungkin malah menjadi demotivasi dalam mencari pasangan hidup.
Ketika menghadapi pertanyaan “Kapan menikah” dan ditambah dengan wejangan ini-itu, kadang, saya meminta kepada mereka dengan nada sedikit frustasi sambil setengah bercanda, “Yaudah, mana, mana? Mana yang mau dengan gue? Nggak perlu banyak cingcong. Kenalin, sini dah!”
Terdapat suatu pernyataan yang keluar dari mulut seorang kawan, “Saat seseorang terlalu lama melajang, keinginan untuk mencari jodoh kian memudar, lalu menghilang”. Memang betul, setidaknya dalam kasus saya. Keinginan mendapatkannya semakin malas dan menjadi terasa tidak perlu untuk punya jodoh lalu menikah, membangun keluarga, dan seterusnya.
Namun, di saat bersamaan, saya pun merasa ingin menikah. Bukan sadar akan usia semakin lanjut, tapi keinginan itu muncul saat melihat anak kecil. Membuat tidak sabar untuk punya keturunan. Saya penasaran seperti apa masa depan anak-anak kami (saya dan seseorang yang suatu saat nanti dipanggil istri, dan ibu oleh anak-anak) nantinya, bagaimana membesarkannya, harapannya dengan cara yang baik, tentu saja. Kemudian hari-hari akan dipenuhi dengan berbagai perilaku mereka yang membuat hidup kami semakin penuh rasa. Eh, teringat belum punya jodoh, saya kembali ke realita.
Kemudian, teringat kelanjutan pembicaraan dengan teman saya, “Makanya, Men, kalau nanti merasakan jatuh cinta lagi, dan pasanganmu keliatannya oke dengan elu, hajar aja udah: ajakin serius. Kenalkan dia dengan orang tuamu, elu temuin dah orang tuanya. Perkara ini, mah, tergantung kemampuan “bernegosiasi”, ya.”
Eh, si manusia ini, setau saya, padahal sama-sama berstatus jomblo. Bisa-bisanya memberi nasehat macam itu. Apakah betulan memberikan saran atau curhat colongan, atau barangkali menghibur diri sekaligus memberi semangat sendiri? Entahlah. Namun, yang bisa saya pastikan, omongannya lagi-lagi ada benarnya.
Tapi yah, sayangnya sekarang, setidaknya sewaktu menuliskan ini, perasaan deg-deg serr.. belum muncul saat bertemu dengan perempuan lain, setidaknya dari yang saya kenal hingga saat ini. Mungkin para jomblo yang tabah di luar sana juga mengalami situasi yang serupa.
Mungkin, Tuhan terlalu menjaga jodoh kita agar dipertemukan di waktu dan situasi yang tepat. Jika saat itu datang, kalau saya, janji deh, akan menerimanya sepenuh hati. Pokoknya mah, bagi yang demen bertanya “Kapan menikah”, cukup tunggu undangan saja, di saat kaum jomblo sedang berusaha mencari tambatan hatinya. Karena, perkara nikah bukan ajang perlombaan. Artinya, yang duluan bukanlah pemenangnya. Iya, kan?
Iyain aja udah.

Posting Komentar