Elu Enak Orang Kaya!
![]() |
Tima Miroshnicenko on Pexels |
Cangkeman.net - "Elu enak orang kaya!”
Begitulah balasan dari salah satu gerombolan tunakarya saat ditegur tetangga samping rumah lantaran tetangga tadi terganggu dengan aktivitas yang mereka lakukan. Ya wajar, sih, ditegur. Hampir sepanjang malam ngumpul, main gim bersama, atau sekadar ngobrol sambil haha-hihi, terkadang ditemani lagu yang tak kalah nyaring dengan bacotan yang keluar dari mulut mereka. Padahal, malam hari merupakan waktu istirahat sebagian besar orang setelah seharian beraktivitas.
Tapi inilah salah satu risiko hidup di daerah perkampungan. Kalau anak komplek, mungkin tidak pernah menemukan fenomena macam ini. Mungkin loh, ya. Saya belum pernah menjadi anak komplek.
Para tunakarya tadi memanfaatkan lahan kosong yang dijadikan basecamp untuk melakukan kegiatan bersama bahkan sejak sebelum maghrib. Tak jarang, jam satu dini hari masih gaduh. Kalau akhir pekan mungkin bisa dimaklumi. Tapi kalau weekday, lain soal.
Sebetulnya, saya bodo amat dengan kegiatan para tunakarya itu. Alasannya sederhana, sama-sama anak kampung sini (Akamsi). Namun, semakin lama semakin tidak tahu aturan, semakin tidak tahu etika dan mementingkan ego. Sudah ditegur berkali-kali dengan orang lain selain tetangga saya pun, baik secara langsung maupun di grup WhatsApp lingkungan, nggak mempan.
“Elu enak orang kaya!”
Jawaban itu terikat kuat di otak sambil melongok ke bawah. Kebetulan saya sedang duduk santai di gazebo yang letaknya di lantai atas, saat tetangga samping rumah menegur. Orang kaya, katanya. Biarpun jawaban tersebut bukan dialamatkan pada saya, tetapi kena mental juga. Bikin ngakak dalam batin. Kalau sudah kaya, ngapain masih numpang di rumah orang tua. Yah, walaupun orang tua tinggal satu, dengan kondisi badannya sudah memasuki masa aus, menjadi pertimbangan juga, sih. Tetapi kondisi perekonomian pribadi yang masih carut-marut emang nggak bisa disangkal. Makanya saya kena mental akibat omongan mereka.
Kadang saya sendiri masih heran, setelah sekian waktu bekerja, kok duit masih langka di dompet. Tabungan di bank, angkanya masih minimalis. Mau beli barang, kadang mikir-mikir. Karena kelamaan berpikir, nggak jadi beli lantaran sayang duit. Susah, bos, nyari duit. Ternyata lebih gampang ngumpulin, loh. Asalkan kebutuhan dasar sudah terpenuhi buat diri sendiri dan keluarga, yang lain entar dulu deh. Mosok yang kayak begini dibilang orang kaya? Kayaknya yang menegur, nasibnya juga beda tipis dengan saya.
Biar duit masih langka, ya tetep dicari. Kalo nggak gitu, gimana bisa hidup? Karena duit nggak turun dari langit atau bisa keluar dari usus besar, mau nggak mau, suka nggak suka, harus kerja biar dapet duit. Terserah mau kerja ikut orang atau mandiri, yang penting bisa dapet alat tukar, yang nantinya digunakan untuk biaya hidup, atau sesekali melakukan kegiatan refreshing biar otak nggak mumet.
Kadang saya sendiri masih heran, setelah sekian waktu bekerja, kok duit masih langka di dompet. Tabungan di bank, angkanya masih minimalis. Mau beli barang, kadang mikir-mikir. Karena kelamaan berpikir, nggak jadi beli lantaran sayang duit. Susah, bos, nyari duit. Ternyata lebih gampang ngumpulin, loh. Asalkan kebutuhan dasar sudah terpenuhi buat diri sendiri dan keluarga, yang lain entar dulu deh. Mosok yang kayak begini dibilang orang kaya? Kayaknya yang menegur, nasibnya juga beda tipis dengan saya.
Biar duit masih langka, ya tetep dicari. Kalo nggak gitu, gimana bisa hidup? Karena duit nggak turun dari langit atau bisa keluar dari usus besar, mau nggak mau, suka nggak suka, harus kerja biar dapet duit. Terserah mau kerja ikut orang atau mandiri, yang penting bisa dapet alat tukar, yang nantinya digunakan untuk biaya hidup, atau sesekali melakukan kegiatan refreshing biar otak nggak mumet.
Mereka yang terlalu lama menyandang status tunakarya itu barangkali nggak tau capeknya nyari duit: capek pikiran, capek perasaan, kadang juga capek dikerjain. Tapi para pejuang cuan tetap bertahan walau capek ini-itu. Bertahan demi apa coba? Ya apalagi kalau bukan demi duit, biar bisa hidup. Kadang, kalau pekerjaan utama kurang menghasilkan, nggak jarang pejuang rupiah mencari recehan di tempat lain.
Bullshit kalo ada yang bilang hidup itu nggak butuh duit. Atau dalam kalimat yang lebih sopan, duit bukanlah segalanya. Ah, taik sekolam lah bacotan kayak gitu. Nggak ada duit berujung kesulitan dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Memangnya semua hal di dunia ini gratis? Malah yang terpenting baru bisa didapatkan kalau punya duit. Mengenyangkan perut salah satu contohnya.
Maka, istirahat malam memang aktivitas wajib yang harus dilakukan untuk memulai hari esok. Saat melakukannya, nggak ingin ada gangguan. Lagi enak istirahat malah bikin gaduh. Siapa yang nggak jengkel, coba? Eh bisa-bisanya salah satu dari mereka menjawab, “Elu enak orang kaya.”
Gila, kali, ya. Seolah-olah mereka menyalahkan kesialan hidup yang didapatkan kepada orang lain. Menyalahkan memang cara yang paling gampang. Salahkan orang kaya karena punya kehidupan yang lebih aman, nyaman, tentram. Salahkan perusahaan-perusahaan yang tidak memberikan kesempatan dalam bekerja. Salahkan instansi keuangan karena tidak memberikan dana bantuan yang nantinya akan digunakan untuk memulai usaha. Salahkan pemerintah karena tidak mendapatkan atau merasakan berbagai bantuan sosial yang terprogram. Salahkan orang tua karena melahirkan anak-anak dalam keluarga yang miskin. Jangan lupa, salahkan diri sendiri karena berhenti berusaha akibat berbagai alasan.
Katanya, sih, Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubahnya sendiri. Dalam konteks yang lebih sempit, Dia tidak akan mengubah kehidupan seseorang kalau tiada usaha yang dilakukan, atau berhenti dalam mengusahakannya. Namanya takdir, ada yang tidak bisa diubah, ada yang bisa. Kemiskinan merupakan salah satu yang mampu diubah. Asalkan mau dan dibarengi usaha.
Para tunakarya yang aktivitasnya mengganggu hampir setiap malam itu barangkali tidak sadar akan hal itu. Maunya sat-set-sat-set langsung kaya. Wajar sih, siapa yang nggak mau kayak begitu? Tapi kan kebanyakan nggak seperti itu. Dalam mengusahakannya, dalam suatu titik bisa capek namun tetap saja tidak mengubah apa pun. Atau bisa juga mereka nyaman dengan kemiskinan yang mendera di kehidupannya.
Apa pun itu, intinya, mereka mencari pengalihan untuk mengisi kebermaknaan diri dari kehidupan mereka yang tak bermakna. Karena makna hidup adalah persoalan bagaimana peran kita dan apa yang kita sumbangkan. Tidak perlu bicara secara luas seperti konteks sosial-masyarakat. Dalam lingkup keluarga, bagaimana peran kita dan apa sumbangan untuk keluarga sendiri? Mungkinkah itu masalah yang mereka hadapi? Merasa tidak berperan dan tidak memberikan apapun kepada keluarga sendiri, dalam konteks perekonomian, misalnya?
Saya cuma bisa menebak-nebak alasan di balik rutinitas yang hampir setiap malam yang mereka lakukan. Saya amati, dan gerombolan itu berjenis kelamin laki-laki. Makna hidup seorang laki-laki bisa didapat dari pekerjaan. Kalau tidak punya, bukan tidak mungkin didera rasa tidak punya kebermaknaan hidup. Sehingga, mereka tidak peduli dengan apa pun. Salah satunya, mengganggu kenyamanan hidup orang lain. Malah, jika ditegur, bisa jadi mereka senang. Terlebih dengan cara kasar.
Kegiatan yang mereka lakukan rupanya punya makna meski dengan cara yang buruk. Mereka mendapatkan kebermaknaan hidup. Adapun peran yang dilakoni adalah sebagai pengganggu dan sumbangan yang diberikan adalah kebisingan, membuat orang lain jengkel.
Jelas, cara yang mereka lakukan adalah salah. Saya tidak menyangkal dalam menjalani hidup lebih banyak ketemu kesulitan daripada kemudahan. Kemudian mengantarkan seseorang kepada penderitaan hidup, yang salah satu potensinya melahirkan sikap dissosial atau dalam istilah lain disebut anti-sosial; suka bikin rusuh.
Tetapi, perkara penderitaan dan kesulitan hidup tidak tebang pilih. Setiap orang pernah atau sedang mengalami. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Jangan merasa hanya diri sendiri yang merasakannya. Jangan pula berpikir bahwa penderitaan hidup yang dirasakan tidak membawa penderitaan bagi orang-orang di sekitar. Kadang, hal seperti ini gampang dilupakan bagi mereka yang mengalami penderitaan hidup.
Ya wajar, sih, saat seseorang mengalami penderitaan, otak mereka menjadi nggak bener. Bagi seseorang yang lebih waras, memang ada semacam kewajiban memberikan simpati. Namun terkadang salah satu dari bentuk support emosional itu bisa disalah artikan. Misalnya, apa-apa harus dimaklumi lantaran kondisinya lagi begitu. Tak jarang memaksa. Jadi serba salah. Tetangga sih tetangga, tapi kok tetangga masa gitu? Ingin memaklumi tapi nggak mau memaklumi kondisi orang lain.
Cara mereka membalas teguran itu membuat saya berpikir lebih dalam. Perkara mencari kekayaan bisa menjadi fenomena yang agak misteri juga. Ada yang jalannya mulus, ada juga yang mesti jungkir balik dulu baru bisa mendapatkannya. Tapi ya lagi-lagi harus dilakukan. Kalau tidak begitu, dari mana mendapatkannya? Ternak lele? Iya kalau punya modal, atau minimal punya usaha untuk mendapatkan dana. Intinya memang perkara usaha dalam mendapatkannya memang harus dilakukan sepanjang waktu. Atau minimal, sampai tahu dan paham konsep kaya dalam pengertian pribadi.
Menjadi orang kaya memang enak. Lagian, siapa yang tidak mau? Sekali lagi, permasalahannya, mau atau tidak dalam mengusahakannya? Dalam melakukannya, bisa saja tidak punya waktu untuk berkumpul dengan rekan-sejawat yang masih betah berstatus pengangguran lantaran sibuk meningkatkan perekonomian. Lalu mengantarkan hidup menjadi lebih nyaman dan tentram. Asalkan tahu peran dan mampu memberikan sumbangan agar perekonomian keluarga menjadi lebih baik. Buat saya, ini pengertian kaya menurut pribadi.
Memang, cara tetangga di samping rumah dalam menegur agak kasar juga, sih. Akhirnya yang ditegur jadi merasa jagoan. Barangkali saya juga patut disalahkan karena tidak pernah menegur. Apalagi, posisi rumah orang tua saya hanya dibatasi tembok basecamp mereka daripada yang menegur.
Akhirnya, keesokan harinya setelah bekerja, saya antarkan sebungkus martabak keju khas Pecenongan untuk mereka. Makanan memang cara termudah menentramkan orang-orang macam mereka. Saya katakan, “Boleh ngumpul, tapi kalo udah malem, suaranya dikecilin, ya. Nggak enak sama yang lain.”
Mereka tertawa. Apalagi salah satunya mengatakan, “Wah, rupanya kita lagi disogok.” Membuat saya ikutan tertawa. Kemudian sambil menatap salah satu tetangga di rumah keluarga lama, yang telah disulap menjadi kontrakan petak, saya katakan, “Apalagi, kamu. Keluarga kita sudah saling mengenal lama. Jadi, saling perhatian aja, ya. Nggak perlu saya harus menegur dengan cara yang digunakan oleh itu,” dengan menunjuk rumah tetangga sebelah.
Dia membalas, “Iya, Om.”
Begitulah akhirnya. Bermodalkan “saling pengertian” karena membawa status sudah bertetangga sejak lama, pelan-pelan berubah. Mereka memang masih sering nongkrong tetapi semakin tidak bising. Bahkan, kadang-kadang sudah cabut sebelum jam sepuluh malam. Paling tidak saat ini, mereka bisa mengerti bagaimana berhubungan sosial dengan baik dan benar di lingkungan tempat tinggal. Kita ini makhluk sosial. Saling pengertian tanpa menyalahkan merupakan salah satu kemampuan yang penting. Dalam batin, saya merapal harapan, semoga di masa mendatang mereka mampu menjadi kaya dalam artian masing-masing. Semoga.
Angga PrasetyoKontributor ini masih malu-malu untuk menceritakan dirinya. Dapat ditemui di Instagram @anggaprass

Posting Komentar