Tidak Semuanya Bisa Dikategorikan Sebagai Badut

Sachin Bharti on Pexels

Cangkeman.net - Sejak adanya sosial media, kalangan anak muda akhir-akhir ini sangat produktif dalam menghasilkan istilah-istilah baru. Tidak lain tujuan dari dihasilkannya istilah-istilah baru itu adalah untuk memperindah lifestyle mereka dalam berbahasa maupun berkomunikasi.

Salah satu dari banyaknya istilah yang mereka hasilkan adalah istilah “badut”.

Dilansir dari Wikipedia, badut adalah orang yang berpenampilan aneh, mulai dari polesan wajah dengan bedak tebal, sampai pakaiannya yang maruk dan absurd. Dalam sejarah. badut adalah sebuah profesi untuk seseorang yang tujuannya menghibur orang yang sedang stress. Konon, badut ini sudah sedari dulu muncul di zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno.

Sementara istilah badut yang kebanyakan dipakai anak muda sekarang itu sudah berbeda konsep dengan istilah badut yang saya paparkan di atas. Dalam konteks percintaan, istilah badut yang sekarang menurut anak-anak muda adalah seseorang yang rela meluangkan waktunya untuk menanggapi keluh kesah, permintaan tolong, dan rela berjuang demi seorang yang dicintainya, meskipun yang dicintai tidak mencintainya balik.

Tidak hanya dalam konteks percintaan. Dalam segala konteks ekosistem sosial pun istilah badut kerap dimunculkan oleh mereka. Seperti misalnya dalam pekerjaan dan pertemanan. Pada intinya konsep badut adalah deskripsi untuk seseorang yang rela berbuat baik tanpa menerima timbal balik.

Sejak munculnya konsep baru pada istilah “badut”, saya memiliki keresahan tersendiri atas apa yang sudah terjadi sekarang. Dengan masifnya istilah badut saat ini, saya rasa secara tidak langsung malah membuat ekosistem sosial jadi berkurang sifat kemanusiaannya. Orang-orang atau anak muda jadi takut dikira badut kalau mau berbuat baik ataupun berbuat sesuatu yang sifatnya kemanusiaan, terutama kepada lawan jenisnya.

Saya sendiri sempat mengalaminya. Ketika saya membantu seorang teman untuk mengerjakan tugas kuliah, atau membantu permasalahan hidupnya, sering kali saya dicap badut oleh mereka yang hobi ngatain badut. Padahal, tidak ada hubungannya antara saya membantu dengan timbal balik dari seseorang tersebut. Apalagi hubungannya dengan percintaan. Tidak ada sama sekali. Saya membantu, ya, karena saya senang, bahagia, diberi kesempatan untuk membagi kapasitas saya dalam menyelesaikan permasalahan seseorang.

Pikir saya, konsep yang ditempelkan pada istilah “badut” sekarang itu sifatnya negatif. Bukan seperti dulu, yang mana konsep badut sifatnya positif, lantaran dapat membuat orang bersatu karena terhibur. Tapi, yang sekarang rasa-rasanya tidak ada makna hibur dalam konsep badut. Malahan, bisa saya katakan menjadi makna cibiran.

Saya sangat mafhum apabila istilah badut yang sekarang itu dapat dijadikan sebagai pengingat bahwa jadi orang itu jangan rendah diri; tidak tahu diri; tidak sayang diri. Logika itu yang kemudian membuat orang lain melihatnya merasa terhibur, karena betapa lucunya orang itu rela membantu orang lain, sedangkan orang yang dibantu tidak menimbalinya balik. Sederhananya begitu konsep logikanya.

Akan tetapi, konsep tersebut seperti yang saya katakana di atas tadi, secara tidak langsung itu membuat asimilasi terhadap budaya kemanusiaan. Orang-orang jadi takut dikira rendah diri ketika mengimplementasikan budaya gotong-royong, saling membantu, atau apapun yang sifatnya perikemanusiaan kepada lawan jenis. Yang lebih saya takutkan lagi, bisa-bisa kita nantinya akan terjun dalam budaya dehumanisasi. Begitu ironi kalau dibayangkan.

Nah, setalah saya lakukan riset, konsep “badut” yang sekarang ini mulanya muncul dalam konteks percintaan anak muda. Sejauh ini, memang kita masih minim edukasi tentang hubungan percintaan. Tapi, bukan berarti dengan kekurangan kita tentang pemahaman hubungan percintaaan, lantas kita generalisasikan dengan perilaku kemanusiaan, dong. Bagi saya, perihal hubungan cinta dengan hubungan kemanusiaan itu sangatlah berbeda.

Dalam hubungan percintaan, kita tahu, bahwa dalam praktiknya itu pasti dilandasi dengan yang namanya perasaan ingin memiliki. Tak usah terlalu naif, meskipun ada yang mengatakan, “Aku melakukan ini semata-mata hanya karena cinta dan sayang.” Kalimat itu bagi saya adalah sebuah formalitas. Padahal, semua perlakuan itu semata-masa agar bisa menaklukan hati si gebetan, lalu bisa dimiliki dengan bungkus “pacaran”. Iya, kan?

Berbeda dengan konteks hubungan kemanusiaan. Dalam praktiknya tidak ada landasan perasaan ingin memiliki. Kalau sedikit nyerempet pada falsafah humanisme, “Kemanusiaan itu hadir dengan perasaan upaya mengenali diri sendiri.” Keberedaan manusia tidak serta-merta berdiri sendiri. Mereka harus ada manusia lain untuk bisa menjadi. Oleh sebab itu, eksistensi kemanusiaan bukan soal mengharap adanya timbal balik, tapi soal bagaimana menyadari bahwa dirinya sudah sepatutnya memberi balik.

Dari sini, saya pikir sudah cukup gamblang, ya, bahwa tidak serta-merta ketika ada laki-laki atau perempuan bersikap baik tanpa menerima timbal balik, lantas dicitrakan sebagi badut. Lalu, apakah istilah badut yang sekarang tidak boleh digunakan? Tentu masih boleh. Tapi kalau dalam konteks hubungan percintaan.

Dalam hubungan percintaan kita harus paham dulu konsepnya. Tapi sebelum itu, saya juga perlu menggaris bawahi, bahwa cinta dan hubungan percintaan adalah dua hal yang berbeda. Di artikel sebelumnya tentang PDKT sudah pernah saya dederkan. Sederhananya begini: Cinta itu masih bisa berdiri, meskipun tanpa ada hubungan percintaan. Tapi, kalau hubungan percintaan, harus ada cinta dulu, sebelum akhirnya bisa berdiri. Gimana, agree, ya?

Nah, untuk bisa terjadi hubungan percintaan, berarti kedua belah pihak harus mengalami rasa yang sama, yakni rasa cinta. Ketika ada laki-laki yang memang ingin menjalin hubungan percintaan dengan seorang perempuan dan si laki-laki masih terus menggebu-nggebu mengejar meskipun tidak kunjung menerima timbal balik perasaan. Maka di situlah waktu yang tepat untuk menggunakan istilah badut. Karena ngapain menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran hanya untuk seseorang yang tidak mau menjalin hubungan percintaan. Mending cari yang lain, yang sama-sama saling mempunyai rasa cinta. Iya, bukan?

Jadi, jangan seenaknya sendiri kita menggunakan istilah badut pada semua bentuk hubungan sosial. Tidak bisa kita memandang hubungan sosial orang lain hanya dengan parameter kita tentang hubungan percintaan. Sebaiknya kita harus tahu dulu, apakah orang tersebut sedang ingin menuju hubungan percintaan atau tidak? Kalau tidak, ya, jangan. Tapi kalau iya, maka boleh dilanjutkan.

Melihat fenomena yang sudah saya paparkan di atas, harapan saya cuma satu, yakni jangan sampai kita menggunakan konsep-konsep yang kita kira lumrah, tapi ternyata malah jadi berbahaya bagi kehidupan sosial kita. Tidak ada salahnya menciptakan konsep baru, tapi juga pahami dulu dengan betul, agar ketika menempatkan pada suatu konteks itu bisa secara proporsional.


Achmad Fauzan Syaikhoni

Mahasiswa komunikasi yang mengaku introvert. Tapi pengin jadi filsuf. Hehehe. Bisa ditemui secara virtual lewat IG: zann_sy