Mengais Makna dari Monolog Bruce Wayne dalam Film The Batman

BBC

Cangkeman.net - “Kota ini penuh amarah, terluka, sepertiku. Luka kita bisa merusak, bahkan setelah luka fisiknya sembuh. Namun jika kita bertahan, luka tersebut bisa mengubah kita. Bisa memberi kita kekuatan untuk bertahan. Dan kekuatan untuk berjuang.”

Satu hal yang saya suka dari libur panjang adalah kesempatan untuk menonton film dengan jenak -hal yang sulit saya nikmati di hari kerja-. Untuk libur Lebaran kali ini saya menikmati film The Batman yang baru rilis di bulan Maret kemarin.

Awalnya saya sedikit kecewa terhadap adegan laga yang ndak super-super amat. Tadinya saya berharap bisa mendapatkan tontonan aksi pahlawan super dengan kemampuan gelut dan peralatan tempur yang serba wow. Yah minimal semacam serial Avenger lah. Nyatanya film ini menampilkan sosok Batman yang lebih manusiawi, dengan keahlian kelahi yang hampir setara dengan para penjahatnya.

Namun menjelang berakhirnya film, saya mendapatkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang bisa memantik serotonin di otak saya. Ya monolog si Bruce Wayne pasca mengalahkan simpatisan Riddler di Gotham Square. Monolog lirih yang saya tuliskan di atas, yang diucapkan secara apik oleh Robert Pattinson dengan iringan lagu Something in The Way dari Nirvana. Kalau kata orang Jawa Timur: benar-benar cocok iwak endog, pas dan klop.

Warga Gotham City yang Ngalah, Ngalih dan Ngamuk
Apa yang digumamkan Bruce Wayne menjelang akhir film tersebut benar-benar mengena di benak. Saya merasa apa yang dipikirkan Batman mengenai Gotham City kok ndak asing dengan situasi di Negara Nusacanda. Ya tentang korupsinya, ya tentang hipokrisi politisinya, juga tentang jejaring mafianya. Singkat kata, tentang kebobrokannya. Oke, perkara ini memang debatable sih ya.

Bagi saya poin utamanya adalah sikap yang dipilih Wayne muda dalam menghadapi kebobrokan tersebut. Dia tahu bahwa situasi kotanya yang bobrok, penuh luka dan amarah tersebut akan sulit sekali untuk diperbaiki. Namun dia tetap berusaha agar dapat memberi impact positif bagi kota yang dia cintai, sekecil apapun itu.

Jika Gotham City diibaratkan bahtera, maka ia sedang menderita banyak lubang kebocoran di lambungnya. Pilihan Bruce Wayne tampak jelas dan tegas, berusaha menambal lubang tersebut semampunya. Tak peduli banyak warga yang skeptis terhadapnya.

Pilihan yang berbeda diambil oleh Selina, si Catwoman. Dia juga memiliki kemampuan untuk melawan dan membuat perubahan, namun lebih memilih untuk pergi. Mungkin karena sudah terlalu muak dan putus asa. Menurut pandangan orang Jawa, apa yang dilakukan Selina ini adalah ngalih (pindah) setelah dia lelah untuk ngalah (mengalah).

Bobroknya kota Gotham memang menumbuhkan beragam sikap dari warganya. Ada yang masih percaya pada perbaikan seperti Bruce Wayne, dia ngamuk (mengamuk) untuk membawa perbaikan. Namun banyak juga yang skeptis seperti Selina.

Ada juga kelompok anarkis yang dipandegani oleh Riddler, yang sudah tidak percaya terhadap segala omong kosong perubahan dan perbaikan yang dijanjikan oleh para politisi. Mereka memilih untuk mempercepat keruntuhan kota dengan ngamuk (mengamuk) dalam konteks negatif.

Coba bandingkan dengan situasi di Negara Nusacanda. Gak jauh beda, kan? Lalu adakah yang mau mengambil peran serupa Bruce Wayne?

Monolog Batman sebagai Cermin dalam Lingkungan Kerja
Jika situasi Gotham City tersebut kita seret ke lingkup yang lebih sempit, lingkungan kerja di kantor misalnya, tampaknya akan serupa juga. Yah kira-kira sebelas dua belas lah. Sebab selama masa pandemi beberapa tahun belakangan ini banyak kantor yang mengalami kesulitan. Terluka dan koyak di berbagai bagiannya.

Dalam situasi kantor yang serba sulit tersebut, sikap karyawannya ya tidak jauh-jauh amat dari gambaran kota Gotham tadi. Ada golongan karyawan sejenis Bruce Wayne yang berusaha memberi impact positif sampai titik keringat terakhir. Yang semacam ini tentu golongan terbaik, karyawan yang penuh integritas.

Ada pula golongan karyawan semacam Selina. Mereka cenderung skeptis terhadap masa depan kantornya. Secara psikis mereka telah ngalih (pindah), meski secara fisik masih terlihat bekerja. Golongan ini tidak pantas dipersalahkan, sih. Mungkin kondisi mereka memang tidak memungkinkan untuk pushing their limit. Meskipun tidak bisa memperbaiki, minimal mereka tidak memperburuk keadaan.

Golongan ketiga yakni jenisnya si Riddler yang naudzubillah brengseknya. Sudah skeptis, anarkis pula. Ketika perahu (pengibaratan dari kantor) bocor, mereka malah antusias memperbesar lubang, alih-alih berupaya menambalnya. Cara mereka memperbesar lubang juga super-duper kreatif, macam si Riddler itulah. Mulai dari sekadar provokasi hingga tindakan sabotase.

Nah andai kantor saya mengalami situasi serupa Gotham City, peran apa yang akan saya pilih? Ya rahasia lah Paklik, ora kabeh-kabeh kudu tak jlentrehke.


Rois Pakne Sekar

Seorang part time teacher dan full time parent. Mengajar -sekaligus belajar- Mapel Bahasa Jawa di SD Mafaza Integrated Smart School. Juga seorang atlit badminton amatir yang tidak akan takut menghadapi 'minions' ataupun 'the daddys'