Setiap Kita adalah Sesat
![]() |
Rumman Amin on Unsplash |
Cangkeman.net - Di umur saya yang baru atau sudah -entah kata mana yang tepat antara baru atau sudah- seperempat abad ini, saya baru atau sudah beberpa kali mengalami gonjang-ganjing dalam beragama. Mulai dari mempertanyakan fungsi-fungsi keberagamaan hingga puncaknya mungkin mempertanyakan keeksisan Tuhan sebagai komponen utama dalam beragama.
Dalam banyak hal, saya termasuk orang yang cukup keras kepala. Termasuk dalam beragama. Saya seperti umat beragama yang lain akan selalu mengatakan bahwa apa yang saya anut dan percayai adalah suatu hal yang benar. Tentang apa yang orang anut, aku berlepas dari padanya. Tapi aku dapat pastikan jika saya akan membela hal-hal yang saya yakini.
Hal-hal yang saya yakini di atas bukan hanya terbatas pada apa agama saya, tetapi hingga apa madzhab yang saya anut, syariat yang saya jalankan hingga ke-tetek bengek lainnya. Makanya sejak lama misalkan ada orang bertanya tentang suatu perkara syariat, maka saya akan menyebutkan apa yang saya anut dengan memberikan penegasan-penegasa bahwa yang saya yakini tersebut adalah kebenaran.
Tapi waktu berjalan. Pertanyaan-pertanyaan dalam hidup saya masih terus berjalan. Hingga kadang saya bertanya, "Apakah dalam beragama saya sudah ideal? Bahkan untuk membenarkan pendepat-pendapat saya, apakah saya melakukan pembenaran dengan baik?"
Saya bisa dengan mudah menjawab pertanyaan teman-teman di luar Islam kenapa ada perbedaan jumlah rakaat taraweh, penentuan awal bulan Ramadan hingga hal-hal kilafiyah lainnya. Dengan berbagai macam cara, saya akan menjelaskan kepada mereka bahwa sesungguhnya Islam itu satu, hal-hal yang membangun Islam yang satu itu berasal dari banyak tafsir itu adalah yang wajar. Tapi sebaliknya, saya kerap kali terlalu keras terhadap sesama muslim jika saya membela hal-hal yang saya yakini dan akan selalu mencari pembenaran bahwa yang saya yakini lebih benar daripada yang diyakini teman-teman muslim lainnya yang berbeda. Ironis memang setelah saya pikir-pikir.
Apakah tujuan beragama adalah seperti itu? Membela mati-matian agamanya, lalu saling serang antar madhzabnya? Antar tarekat-tarekatnya?
Saya teringat suatu ayat yang sering dibaca saat kita tertimpa musibah, "Inna lillahi wa inna ilaih rajiuun," yang memuat arti bahwa apa yang dari Allah akan kembali kepada Allah.
Lantas, jika segala hal yang saya yakini dan imami adalah hasil proses berpikir yang semuanya adalah berasal dari Allah, apakah sudah saya pergunakan dan jalankan hingga outputnya untuk Allah? Atau jangan-jangan saya selama ini mempergunakan yang dari Allah hanya untuk ego saya semata?
Lagipula setelah saya pikir-pikir kembali, kita semua termasuk saya belum tentu menjalankan kebeneran-kebeneran yang hakiki. Karena pada dasarnya, tak ada dari kita yang benar-benar memiliki jalan yang lurus. Setiap dari kita pasti mengalami lika-liku hidupnya masing-masing termasuk lika-liku dalam berpikir dan beragama. Maka Allah selalu mengingatkan kita minimal sehari 17 kali melalu salat untuk selalu membaca Al-Fatihah yang di mana ayat ke-enamnya mengajak kita untuk tahu diri bahwa kita orang yang berada dalam jalan yang berliku, kita adalah kesesatan hingga harus selalu meminta siratal mustaqim, jalan yang lurus.
Segala perbedaan-perbedaan dari kita adalah sunnatullah. Karena pada hakikatnya tak ada manusia yang benar-benar sama. Tak ada yang pernah mengalami suatu hal secara sama dalam ruang dan waktu yang sama. Kita semua berliku, kita semua sesat dalam kesesatannya masing-masing. Jika kita tak pernah tiba pada siratal mustaqim yang selalu kita minta setiap harinya, setidaknya kita menyadari kesesatan kita sebelum menunjuk yang lain sesat.

Posting Komentar