Membangun Model Dunia dengan Ilmu yang Didapat Saat Puasa
![]() |
Sylwia Bartyzel on Unsplash |
Cangkeman.net - Kalau boleh pilah-pilih ibadah, saya akan memilih puasa menjadi ibadah favorit saya. Bukan tanpa sebab, ini ada kaitanya dengan berbagai pengalaman yang pernah saya alami. Tapi bukan pengalaman-pengalaman itu yang ingin saya ceritakan di sini. Saya ingin menyampaikan bahwa keputusan-keputusan seseorang dalam bertindak, memilih, dan melakukan apapun erat kaitanya dengan pengalaman yang dimiliki. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang dengan tambahan variabel lainya, bisa dikelola menjadi ilmu.
Ilmu pada dasarnya adalah sekumpulan informasi yang diperoleh lalu diproses menjadi suatu model dunia kita untuk memahami dunia.
Nah, lantas apakah di tengah masifnya arus informasi saat ini, dapat disimpulkan juga bahwa berkembang juga ilmu itu sendiri?
Sayangnya, jawaban dari pertanyaan di atas, adalah tidak. Masifnya informasi berkat kemudahan mendapatkan informasi hanya menjadikan kita sebagi gudang informasi. Gudang informasi yang tanpa ada pemrosesan data di dalamnya, maka selamanya akan menjadi tumpukan-tumpukan informasi yang sama sekali tidak dapat membangun model dunia pada diri kita.
Contoh gampangnya begini, Cuk. Setiap orang memiliki informasi bahwa suatu sungai itu alirannya deras. Ada yang memang mengalami langsung njebur ke dalam sungai tersebut, ada pula yang memperoleh informasi berdasarkan pengalaman orang lain.
Nah, dari informasi tersebut, ada yang mengolah informasi menjadi ilmu ada yang tidak. Bagi yang mengolah informasi menjadi ilmu, dia akan memiliki suatu model dunia bagaimana menyikapi sungai yang alirannya deras itu.
Dalam memproses informasi tersebut, ada banyak hal juga yang mempengaruhi seseorang seberapa dapat ia memproses informasi. Jika informasi didapat dari rangkaian peristiwa-peristiwa yang dialami serta peristiwa yang diamati, maka cara memproses informasi tersebut akan sangat tergantung dengan pemahaman terhadap diri sendiri.
Bagaimana cara memahami diri sendiri?
Mungkin ini terkesan filosofis dan terlalu bertele-tele. Tapi jawaban dari pertanyaan di atas adalah dengan cara melihat diri kita. Namanya melihat diri kita, kita butuh menjadi sesuatu yang lain selain diri kita. Tapi yang aku maksud di sini bukan menjadi orang lain. Kita tetap menjadi diri kita, namun harus melihat diri kita "yang lain".
Misal begini dah. Ketika kita diputus cinta. Ada sesuatu pada diri kita yang merasa sakit. Tapi coba rasakan baik-baik bahwa ada diri kita yang mengetahui bahwa diri kita itu sedang merasakan sakit. Nah yang mengetahui diri kita sedang merasa sakit ini, tidaklah merasa sakit.
Untuk mengetahui lapisan-lapisan dari diri kita dan bahkan menkomandoi seluruh lapisan dari diri kita, salah satu jalannya adalah dengan menahan diri. Salah satu cara menanhan diri yang terbaik adalah puasa. Karena hakikat dari puasa sendiri adalah menahan diri.
Ketika kita menahan diri dari segala dorongan-dorongan sesuatu yang dalam bahasa agama disebut napsu. Di situlah kita dapat memisahkan lapisan-lapisan dalam diri kita. Seperti saat kita berada di jalan raya. Kita akan kesulitan menghituing ada berapa banyak jumlah motor dan berapa banyak jumlah mobil jika kita masih terus berjalan di jalan tersebut. Akan lebih mudah jika kita berhenti sejenak, lalu melihatnya dari pinggir jalan, kita akan lebih mudah memilah antara motor dan mobil bahkan memilah mobil berdasarkan mereknya.
Dengan menahan diri sejenak, bukan hanya membantu kita memproses informasi menjadi ilmu. Kita juga akan lebih memahami bahwa setiap orang memiliki input informasi yang berbeda dengan cara proses yang berbeda hingga sangat mungkin sekali menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Sehingga ketika kita menahan diri, kita akan memiliki model dunia yang tidak kagetan.
Maka saya selalu menganggap puasa bukan sekadar ibadah yang balasannya pahala dan surga. Puasa adalah salah satu lelaku bagaimana mengetahui diri. Dengan mengetahui diri, kita dapat memproses informasi yang diperoleh diri menjadi ilmu. Ilmu dapat membentuk model dunia untuk mengenal dunia. Semakin banyak kita ketahui tentang dunia, semakin banyak kita ketahui tentang Tuhan. Maka benarlah ungkapan, "Man arahu nafsahu faqad arafa rabbahu"--"Barang siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya."

Posting Komentar