Bukan Rakyat yang Harus Beradaptasi, Mafianya yang Kudu Diberesi


Cangkeman.net - Urusan langkanya minyak goreng di Indonesia ini sebenarnya tidak sampai membuat saya pusing, bukan karena saya tidak peka terhadap kaum emak-emak, tetapi lebih karena kebutuhan kuliner saya tentang gorengan tidak begitu banyak. Jadi, tingkat ketergantungan saya terhadap minyak goreng tidaklah begitu tinggi. Hanya mie goreng saja yang sering saya konsumsi, itu pun cara memasaknya sama sekali tidak digoreng.

Tetapi, langkanya minyak goreng ini telah berhasil membuat sebuah partai besar rela mengadakan sebuah kegiatan demo memasak tanpa minyak goreng, dengan maksud dan tujuan ingin mengedukasi masyarakat agar tidak selalu tergantung terhadap minyak goreng sehingga tidak harus pusing dengan ketiadaannya di pasaran.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), salah satu partai politik yang berhasil mengusung kadernya, pak Jokowi, menjadi pemimpin negeri yang berlimpahan sumber daya alamnya ini (salah satunya tentu saja kelapa sawit bahan baku minyak goreng), mengadakan kegiatan demo memasak tanpa minyak goreng.

Kegiatan ini dilaksanakan pada hari senin, 28 Maret 2022. Saya menduga kegiatan ini diadakan tidak hanya untuk mengedukasi masyarakat agar bisa memasak dengan tidak hanya mengandalkan benda cair-licin yang selalu menjadi andalan para ibu-ibu di dapur tersebut.

Kegiatan ini lebih berupa respon lanjutan untuk sebuah pembuktian yang berkaitan dengan video pernyataan bu Megawati, sang ketua umum partai berlambang kepala banteng tersebut. Beliau, dalam video tersebut menyatakan sangat prihatin dengan warga yang rela mengantri Panjang berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan dua liter minyak goreng.

Dalam video tersebut, bu Mega juga bertanya-tanya apakah rakyat Indonesia hanya sibuk menggoreng saja? Bukankah ada cara lain selain digoreng? Direbus, dikukus, dibakar, dan bisa juga dirujak. Video ini sontak langsung menjadi adonan isu yang siap untuk direbus (maaf, berhubung minyak goreng langka dan mahal istilah “menggoreng isu” kita ganti dulu) oleh para warganet maupun media-media yang ada. Hingga akhirnya dibuatlah acara demo masak tanpa minyak.

Mengadakan kegiatan demo masak tanpa minyak goreng, seperti menunjukan betapa kokohnya bu Mega dalam mempertahankan pendapatnya, bahwa metode masak-memasak tidak selalu harus menggunakan minyak goreng. Tidak salah memang. Tapi tidak sepenuhnya juga bisa dibenarkan. Bagaimana nasib mereka yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi penjual yang serba digoreng? Pedagang es krim goreng, misalnya.

Yang seharusnya menjadi sorotan bukanlah bagaimana respon masyarakat yang tengah terkena dampak dari kelangkaan, melainkan pemerintah yang seharusnya berhasil memberantas mafia-mafia perdagangan yang ingin memperkaya diri melalui koridor yang tidak benar.

Selama mafia-mafia ini masih bebas berkeliaran, maka segala hal yang berpotensi menjadi sumber keuntungan bagi mereka tidak akan pernah aman. Para mafia ini akan mempersulit segala sesuatu yang tadinya mudah. Maka, siklus mata rantai ini akan akan terus berulang karena tak ada pemutusnya.

Masih ingatkah dengan jengkol? (tidak usah diperdebatkan jengkol termasuk kategori sayur atau buah), salah satu kuliner favorit penduduk Indonesia yang pernah mencapai harga Rp. 130.000.-/kg. Semua itu akibat adanya mafia jengkol dalam urusan perjengkolan kala itu.

Mendengar kata mafia jengkol mungkin tidak semengerikan mendengar kata mafia narkoba yang sering saling bunuh untuk urusan narkoba, tetapi dampak yang diberikan oleh para mafia jengkol sama saja, selalu ada pihak-pihak lain yang dirugikan. Beruntung, Ketika itu tak ada mafia jengkol yang saling bunuh karena urusan jengkol layaknya mafia narkoba.

Lantas, bagaimana jadinya jika kita semua mengikuti saran dari Megawati? beralih dari memakai minyak goreng berubah jadi memakai air untuk merebus serta mengukus dan menggunakan kayu bakar untuk memanggang. Mungkin saja para mafia yang tidak diberantas itu kembali melihat peluang ini untuk mengeruk keuntungan secara zalim.

Misalnya dengan merebut remot AC langit dari Rara Istiati Wulandari, sosok pawang hujan sirkuit Mandalika yang mengklaim pemegang remot tersebut, dan para mafia itu terus meng-off-kan tombol remotnya agar hujan tak turun sehingga air menjadi langka. Bagaimana jika para mafia membuat kayu bakar hilang dari bumi Indonesia ini? harganya bisa menjadi berkali-kali lipat dari semula yang mudah didapat oleh para ibu-ibu di pedesaan secara gratis.

Mungkin yang saya sampaikan agak sedikit mengada-ada. Tetapi, inti yang ingin saya sampaikan sebagai warga negara Indonesia adalah, solusi dari masalah kelangkaan suatu barang tidak hanya dengan menuntut adaptasi dari masyarakat sebagai konsumennya, melainkan hal utamanya ada pada pelaku bisnis dari barang yang dibuat hilang tersebut. 

Tentu saja hal tersebut merupakan tugas pemerintah yang telah mumpuni dan sesuai dengan kapasitasnya. Sebagai orang politik yang memiliki akses kuat terhadap pemerintahan, sepertinya solusi tersebut sangatlah mudah bagi tokoh negara sekelas Ibu Megawati untuk ‘menganjurkan’ solusi tersebut kepada pemerintahan.


Latatu Nandemar
Anak baik yang tidak suka keramaian