Beragama dengan Cinta

Ishan on Unsplash

Cangkeman.net - Islam, agama yang saya anut yang awalnya karena keturunan ini telah melewati banyak cerita dan banyak peradaban. Dari mulanya seorang pembaharu dari Suku Quraisy dari Bani Hasyim, kini agama ini telah menyebar ke seluruh dunia dengan segala corak dan budayannya.

Tapi belakangan, nama baik agama ini sedikit terkoyak dengan berbagai aksi-aksi yang dilakukan oleh para penganutnya sendiri. Meski saya tidak bisa memungkiri, terkadang memang ada hal-hal yang bias yang seringkali dituduhkan kepada penganut Islam. Tapi bukan berarti itu semua membuat kita tidak membenarkan adanya hal-hal intoleransi dan rasa ekslusivitas pada Islam.

Saya cukup kaget ketika mendengar penuturan adik saya yang masih duduk di kelas 2 SD. Dia bercerita bahwa ada temennya di sekolah yang tidak diajak main oleh teman-teman lainnya hanya karena agama dia bukan Islam, dalam kasus ini agamanya Kristen.

"Dia kan kristen..."

Begitu kata adik saya menirukan teman-temannya ketika adikku bertanya kenapa salah satu temannya itu tidak diajak bermain.

Aku enggak tau pola pikir anak kecil seperti itu berasal dari keluarga yang seperti apa, lingkungan yang bagaimana. Kok yah bisa anak-anak kecil berpikir seperti itu?

Eh tapi setelah aku ingat-ingat masa kecil saya, ternyata yah enggak jauh beda juga, malah bukan antar agama, namun antara organisasi. Sewaktu saya kecil, saya hidup di lingkungan Nahdliyyin yang tentu saja fanatik banget sama NU. Ketika ada orang yang ikut Muhammadiyah langsung dirasani meskipun saya pribadi tidak sampai pada level tidak mengajaknya bermain, tetap saja saya kecil tetap ngerasani itu teman saya.

Waktu itu saya dan teman-teman sekampung saya merasa kalau Muhammadiyah itu aneh -mungkin kalau waktu itu saya sudah mengenal kata sesat, bisa-bisa saya sesatkan juga-. Yah walaupun sebenarnya waktu itu bukan ke arah Muhammidiyahnya sih, tapi lebih ke arah selain NU itu aneh, salah, dan menyimpang. Yah karena memang kami sudah dididik pada lingkungan yang NU banget sejak kami lahir.

Mungkin kita juga seperti itu dalam beragama. Sejak kecil kita diajari kita Islam, menyebut Tuhan dengan Nama Allah, nabinya Bernama Muhammad SAW, lalu kita diajarkan salat, puasa, zakat serta hal-hal lainnya. Namun kita tidak pernah diajarkan sama sekali tentang esensi dalam bergama, tentang mengapa kanjeng Rasul Muhammad SAW diutus.

Kita sering diceritakan tentang keperkasaan kekaisaran-kekaisaran Islam di masa lalu, lalu membuat kita berpikir jika itulah yang harus diraih di masa depan. Padahal bukankah Islam hadir bukan untuk kekuasaan, tapi untuk cinta seperti pada Al-Anbiya 107, "Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."

Anggapan tentang Islam sebagai kekuatan komunal untuk kekuasaan sebenarnya bukan hal baru. Hal ini sudah terjadi sejak masa kenabian. Setelah perang Badr selesai dengan kemenangan gemilang umat Islam, banyak orang berbondong-bondong masuk Islam karena melihat kekuatan Islam. Akibatnya motivasi orang-orang ini tentu saja berbeda dengan orang-orang yang masuk Islam di awal-awal yang semata-mata percaya kepada kanjeng Rasul Muhammad dan mencintainnya.

Kondisi ini sempat diisyaraktan Nabi dalam sabdanya, "Betapa beruntungnya orang-orang yang percaya kepadaku sedangkan mereka tidak bertemu (fisik) denganku." (HR Abu Sa'id Al-Khudri). Sabda Nabi ini merujuk pada orang yang percaya sepenuhnya pada Nabi tanpa memandang keperkasaan-keperkasaan dalam kekuasaan Islam.

Bahkan ketika menjelang Nabi Wafat, Sayyidina Ali enggan menanyakan tentang siapa pemimpin selanjutnya sepeninggalan Nabi. Hal ini karena Sayyidina Ali paham bahwa Islam bukan tentang itu, bukan tentang suatu kekuasaan dipegang siapa melakukan apa. Islam adalah cinta, Islam adalah kasih.

Namun bisakah kita bergama dengan cinta? Bergama tanpa embel-embel apapun. Dengan demikian kita tidak mudah mengklaim menjadi yang paling benar, mengklaim menjadi yang paling terselamatkan, pemegang kuasa surga. Mau minoritas atau mayoritas itu bukanlah suatu hal, karena menganggap agama bukan unjuk banyak-banyakan atau kuat-kuatan, tapi beragama sebagai jalan menuju cinta.

Bukankah Allah juga menciptakan dunia itu karena Cintanya kepada Nur Muhammad?