Perihal Pawang Hujan, Beginilah Serba-serbinya

Dream.co.id

Cangkeman.net - “Kalau hanya urusan menolak hujan saya juga bisa. Hujan dari utara saya kembalikan ke utara, dari barat saya kembalikan ke barat, dari selatan dan timur saya kirim balik ke selatan dan timur. Hanya satu yang saya gak bisa, kalau hujannya dari atas.”

Saya tiba-tiba teringat guyonan Jawa Timuran tersebut ketika membaca berita tentang pawang hujan di gelaran MotoGP Mandalika 2022. Gara-gara event balap motor internasional tersebut, profesi pawang hujan sempat menjadi trending topic nasional. Tokoh utamanya adalah Rara Isti Wulandari yang diminta pihak penyelenggara MotoGP untuk nyiwer hujan.

Tak kurang dari Dede Yusuf Macan, Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang ikut memberikan atensinya. “Kalau saya melihatnya bahwa cuaca adalah hal yang memang harus dihadapi dalam sebuah event. Dan banyak cara untuk merekayasa cuaca, teknologi sudah banyak yang lakukan itu. Cuma mungkin karena panitia MotoGP Indonesia tidak mau gagal acaranya, local wisdom pun digunakan. Seperti kalau ada hajatan.” ujarnya pada Sabtu (19/03/2022)

Lalu apa dan bagaimana sebenarnya aktivitas pawang hujan dalam kebudayaan Jawa? Pawang hujan sendiri dalam bahasa jawa dikenal dengan sebutan tukang siwer. Beberapa daerah di Jawa Timur menyebutnya dengan tukang sarang. Artinya sama, yaitu orang yang mempunyai keahlian istimewa dalam menahan hujan (harap diingat, yang bisa ditahan adalah hujan air dari langit, bukan hujan air mata). sedangkan aktivitasnya disebut nyiwer atau nyarang hujan.

Secara definitif, nyiwer atau nyarang bisa diartikan sebagai aktivitas menahan cuaca agar tidak hujan (dengan memindahkan ke arah tertentu) yang dilakukan oleh seorang ahli, yaitu pawang hujan. Aktivitas menahan hujan tersebut dilakukan dengan cara-cara tradisional menurut kearifan lokal masing-masing daerah.

Cara nyiwer atau nyarang hujan
Pawang hujan tradisional tersebut dalam aktivitasnya menahan atau memindahkan hujan menggunakan berbagai cara. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

    1. Menggunakan bawang dan cabai yang ditusuk lidi kemudian ditancapkan di tanah, disertai mantra.
    2. Dengan membakar kemenyan, disertai dengan mantra.
    3. Dengan menggunakan sesaji (sesaji ini bisa saja berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya), disertai mantra.
    4. Yang paling fenomenal adalah dengan cara melempar celana dalam (iya, celana dalam yang dipakai oleh tukang siwernya; bukan celana dalam berenda dengan merk Victoria's Secret). Cara ini biasanya ditempuh sebagi jalan pamungkas apabila pada hari H hujan tetap turun meskipun sang pawang telah menggunakan cara-cara sebelumnya. Dengan demikian, secara nalar tukang siwer harus selalu menjaga penampilan celana dalamnya dong. Jangan sampai memakai celana dalam yang sudah bulukan dan berlobang disana-sini. Jadi kalau sewaktu-waktu harus dilempar di tengah hujan tidak akan malu-maluin.

Jika kita perhatikan, cara-cara di atas selalu menggunakan mantra. Adapun mantra yang lumrah digunakan adalah “Bismillahirrohmannirrohim waiyya nasta’in wujudku byak, byak, byak alam taro kaifafa alarobbika byas, byas, byas krana Allah”. Mantra ini harus dibaca 999 kali selama 3 hari sebelum hari H. Selama 3 hari tersebut harus dibarengi dengan patrap atau lelaku. Lelakunya cukup berat, yakni apabila sang pawang dalam waktu 3 hari tersebut menjumpai hujan di manapun, dia dilarang berteduh.

Ada pula pawang hujan yang lebih sreg menggunakan mantra yang berasal dari ajaran Jawa seperti: “Nuwun sewu, sewu anyuwun ngawruhi dulur papat lima pancer. Sun mateg aji mantra dirga. Raga mulya rasa jati ingsun.Padha seba marang dumadi. Suradirajayaningrat lebur dening pangastuti. Hayu hayu hayu rahayu, kersaning Gusti Kang Maha Suci”, dengan patrap yang sama seperti saya sebutkan di atas.

SOP pawang hujan
Dalam melakukan pekerjaannya, tukang siwer tradisional juga mempunyai SOP (standar operasional dan prosedur). SOP tersebut adalah:

1.Melakukan survei lokasi. Hal ini penting agar jangan sampai pada saat hari-H yang punya acara di desa A, tapi yang disiwer malah desa sebelahnya. Survei lokasi ini juga digunakan untuk memantau apakah pada hari H tersebut ada hajat lain di desa sekitar. Jika ini yang terjadi maka diperlukan semacam gentlemen agreement antar pawang dalam menentukan lokasi pemindahan hujan.

2.Melakukan ritual sederhana di lokasi atau di punden terdekat. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk permohonan ijin dari sang pawang kepada danyangan lokal yang mbaureksa wilayah yang akan disiwer.

3.Memutuskan wilayah terdekat sebagai tempat pengalihan hujan. Biasanya wilayah favorit bagi tukang siwer untuk mengalihkan hujan adalah Laut, Hutan, Gunung, dan Lembah. Lalu bagaimana jika lokasi acara jauh dari laut, hutan, gunung, dan lembah? Gampang, pindahkan saja hujannya ke hatimu dik...

4.Menunggui kegiatan/acara sampai selesai. Bagi sang pawang, SOP terakhir ini bisa jadi adalah yang terpenting. Terutama jika pembayaran jasa belum dilakukan di awal. Jangan sampai acara telah usai dengan sukses tanpa terpaan hujan, tapi si empunya hajat hanya berucap matur nuwun kepada sang pawang. Yang penting amplopannya, Lik.

Suka duka menjadi pawang hujan
Dalam menjalani profesinya, pawang hujan tentu saja mengalami suka maupun duka ketika bertugas. Selalu ada untung-ruginya. Keuntungan sebagai seorang pawang hujan adalah bisa bertemu dan berkenalan dengan orang-orang terkenal, kaya-raya, dan orang-orang penting di pemerintahan yang membutuhkan jasa siwer. Ya seperti Jeng Rara Isti Wulandari tadi.

Sedangkan duka yang sering dihadapi adalah apabila sedang musim hajatan. Ketika peak season hajatan akan ada banyak pawang hujan yang bekerja di hari yang sama, dengan lokasi yang berbeda. Akibatnya bisa terjadi adu kuat dalam memindahkan hujan. Semisal hujan yang dari selatan digeser ke utara oleh pawang dari selatan, sedangkan di utara juga ada pawang yang sedang berusaha menggeser hujan ke arah selatan. Yang terjadi berikutnya adalah runyam.

Ada sebuah sharing pengalaman dari seorang rekan dalang di Kota malang, Ki Ardi Purbacarita. Dia menceritakan bahwa seringkali si shohibul hajat yang nanggap wayang beranggapan bahwa setiap dalang pasti juga mempunyai kemampuan untuk nyiwer. Padahal belum tentu begitu.

Suatu ketika, dalam acara wayangan Glintung Go Green di wilayah Malang terjadi hujan yang sangat lebat. Padahal ketika itu Walikota baru akan tiba, dan panitia tidak menyiapkan tenda. Panitia yang kelabakan beranggapan bahwa sebagai dalang, Ki Ardi pasti juga punya kemampuan nyiwer.

Singkat cerita Ki Ardi menggunakan jurus kepepet. Dia mengheningkan cipta, kemudian ngidung Purwajati, dan nyambat kepada para leluhur: “Mbah... kula nyuwun jangkungan panjenengan, iki mengko yen ora nganti terang, ora ketang wong Jawa mesti kisinan, dianggit ora bisa nyiwer.” Eh ndilalah-nya setelah itu, cuaca menjadi cerah seketika. Believe it or not.


Rois Pakne Sekar

Seorang part time teacher dan full time parent. Mengajar -sekaligus belajar- Mapel Bahasa Jawa di SD Mafaza Integrated Smart School. Juga seorang atlit badminton amatir yang tidak akan takut menghadapi 'minions' ataupun 'the daddys'