Lebih Baik Ada Transportasi Publik yang Andal daripada Harus Nangis di Mercy

Antonio Janeski on Unsplash


Cangkeman.net - "Lebih baik nangis di mercy daripada nangis di motor/angkot/bus/kereta/bla bla bla."

Merasa tidak asing dengan pernyataan tadi? Pernyataan tersebut seringkali dilontarkan oleh orang-orang yang memberikan motivasi dan kiat-kiat sukses, sehingga saking suksesnya, mereka bisa punya mercy dan menaikinya ke mana-mana. Bahkan ketika terpaksa harus menangis pun mereka dapat menangis di dalam mobil mewah.

Apakah ada yang merasa tersudutkan karena pernyataan tadi lalu tiba-tiba merasa insecure? Apakah ada yang langsung overthinking karena merasa diri belum sukses sebab belum mampu menunggangi mercy?

Entah kalimat tadi layak digolongkan ke dalam kalimat motivasi atau tidak, saya juga selalu merasa terganggu dengan pernyataan tersebut. Bukan karena merasa tersinggung. Sama sekali bukan. Memang, saya belum punya mercy untuk ditunggangi sehari-hari dan untuk dijadikan tempat menangis yang mewah, tapi bukan itu masalahnya. Saya lebih merasa terganggu karena saya pikir kalau dibiarkan lama-lama, pernyataan tadi akan menjadi... toxic.

Jadi begini..

Pertama, “Negara maju bukanlah tempat di mana orang miskin punya mobil, melainkan tempat di mana orang kaya menggunakan transportasi publik.” Sebuah quote yang amat terkenal dari Enrique Peñalosa. Tolok ukur kesejahteraan bukan dilihat dari kepemilikan kendaraan pribadi, apalagi tolok ukur kemajuan suatu negara. Maka dari itu, kita-kita yang belum kesampaian menunggangi mercy sebaiknya jangan langsung overthinking. Kita-kita bukan cerminan orang yang tidak sukses ataupun populasi yang menyebabkan negara dikatakan belum maju. Sebab bisa saja orang yang tidak terlalu kaya mati-matian mencoba segala cara untuk ‘memiliki’ mobil karena terhasut ingin punya tempat menangis yang nyaman, dan bisa jadi di luar sana ada orang yang benar-benar kaya tujuh turunan tapi lebih memilih untuk naik transportasi publik demi tidak membuat jalanan bertambah macet.

Kedua, secara psikologis, menangis itu tidak apa-apa dan bukan berarti lemah. Menangis justru merupakan satu bentuk katarsis, dan dengan menunjukkan sisi rentan kita justru memperlihatkan bahwa kita adalah orang yang kuat. Jadi, apa perlunya menyembunyikan tangisan di dalam mercy?

Yang dikhawatirkan adalah, pernyataan toxic tadi akan membikin orang-orang, ketika merasa sudah punya 'cukup' uang, berlomba-lomba untuk membeli mobil.

Padahal jalanan sudah sesak.

"Tapi penyebab macet kan pejalan kaki, PKL, pengendara motor, dan orang-orang miskin lainnya yg nggak mampu beli mobil!"

Mungkin begitulah sangkalan yang akan dilontarkan oleh penganut car culture. Baik, tanpa beradu gengsi, kita pakai aritmatika sederhana saja: Schrödinger's Road Space: Taking away space from cars while giving them more space at the same time. Kurang lebih begini, jika menginginkan jalanan yang tidak macet, maka yang harus dikurangi adalah jumlah mobilnya, bukan dengan menambah lebar atau jumlah jalan, sebab kita harus menggunakan ruang publik yang (sudah) langka dengan lebih bijak, jangan hanya dihabiskan untuk mobil, mobil, dan mobil.

Lah, gendeng! Lalu bagaimana mobilitas masif bisa terjadi kalau mobilnya dikurangi? Simple, setidaknya itu kata yang digunakan dalam konsep Schrödinger's Road Space, dan memang sederhana: alihkan manusianya ke transportasi publik yang kapasitasnya besar (mass transit) atau ke moda transportasi yang tidak ‘makan tempat’, misalnya sepeda.

Mobil pribadi, apalagi jika hanya diisi satu orang, adalah moda transportasi yang ‘makan tempat.’ Adam Something (entah nama belakangnya nama sebenarnya atau bukan, tapi sepertinya bukan), seorang YouTuber yang sering membahas isu urban planning dan city building, pernah berujar dalam salah satu videonya, “Cars are the worst kind of transportation you can have—even electric cars—, and that’s because the biggest problem is geometry.” Geometri apa yang dimaksud? Sudah jelas: besaran ruang yang dihabiskan per kepala.

Sudahlah, jangan membunuh upaya pembangunan dan pengembangan transportasi publik yang susahnya minta ampun itu dengan kalimat motivasi sesat macam yang sudah disebutkan tadi. Bagaimana jumlah pemakaian mobil bisa berkurang kalau kita terbiasa dijejali dengan kalimat sesat tadi? Bagaimana transportasi publik bisa mencapai tingkat efisiensi tertingginya kalau setiap orang inginnya naik mercy? Sampai kapan kita mau bermacet-macetan di jalan? Di dalam mercy pun kalau macet tetap saja macet.

“Tapi kan masih lebih baik terjebak macet di mercy daripada di...” Cukup! Alam sudah malas mendengarnya, alam sudah lelah menanggung polusinya. Kerugian ekonomi tidak akan menunggu sampai grid lock benar-benar terjadi.

Harapan saya sih, semoga ketika saya sukses nanti tidak terpancing untuk menghabiskan uang demi membeli mobil mewah, mungkin sebuah city car cukup, tidak perlu yang mahal-mahal, syukur-syukur bisa dibeli secara kontan, supaya tidak dikejar-kejar utang cicilan yang tentunya berpotensi menjadi alasan tambahan untuk menangis. Ya hitung-hitung untuk membawa keluarga berjalan-jalan di akhir pekan atau sesekali waktu, bukan untuk dipakai sehari-hari. Dan yang kedua, semoga kondisi transportasi publik di negeri ini terus membaik. Aman, nyaman, tepat waktu, dan jumlahnya memadai, sehingga bisa diandalkan untuk bepergian sehari-hari, seperti di negara-negara maju.

Lebih baik ada transportasi publik yang andal daripada harus nangis di mercy, deh.


Muhammad Zulyadri
Penulis dan pemusik jadi-jadian. Menulis kalau sedang ingin saja, bermusik kalau ada waktu senggang saja. Jangkau saya di Instagram @mhmmdzulyadri