Lakukanlah Hal Ini Untuk Menjadi Orang Toxic!

Ehimetalor Akhere Unuabona on Unsplash


Cangkeman.net - 
Budaya toxic atau perlakuan yang menyebabkan rasa sakit ke orang lain maupun diri sendiri makin banyak dijumpai. Beberapa di antaranya berdalih bahwa perlakuan yang mereka berikan bertujuan untuk mengkritik, hanya bercanda atau saran. Padahal tidak semua hal bisa dikomentari, terlebih jika belum melihat latar belakang orang yang akan dikomentari. Hal itu bisa menyebabkan timbulnya rasa sakit hati pada orang tersebut atas perkataan atau perbuatan yang mereka terima, bisa karena trauma di masa lalu, atau yang paling realistis adalah perilaku yang ditujukan terlalu melampaui batas dan berujung tindakan toxic. Tak terkecuali diri kita masing-masing, bisa saja kita masuk golongan orang-orang yang toxic jika melakukan beberapa hal semacam berikut.

1. Menjadi Kaum Mendang Mending
Pertama adalah saat menjadi kaum mendang mending. Sejujurnya ini adalah tipikal manusia yang paling menyebalkan di antara perlakuan toxic lainnya. Bayangkan saja, saat ada yang dengan putus asanya datang ke kita untuk menceritakan hal berat yang mereka alami, tapi kita justru merespon dengan perkataan "Lu masih mending, nah gue blablabla." Mendadak berlagak seolah menjadi manusia paling menderita sedunia.

Alangkah baiknya apabila belum bisa memberikan saran dan masukan atas masalah yang mereka alami, kita sebagai orang yang dipercaya mereka berbagi ceritanya menjadi pendengar yang baik. Cukup lah mendengarkan apa saja kesusahan jika ada orang yang datang berkeluh-kesah, momen membandingkan dengan kata 'mending' itu hampir sangat tidak berguna.

2. Terus-menerus Menguliti Kekurangan Orang
Ini yang sekarang menjadi ironi, dengan berkedok supaya orang tersebut bisa mencapai standar kesempurnaan di masyarakat, tanpa sadar kita bisa menjadi orang toxic dengan mengomentari hal yang menurut kita tidak cocok dengan standar. Contohnya seperti mengomentari penampilan fisik seseorang padahal tidak dimintai pendapat, berpendapat secara terang-terangan di depan orangnya bahwa cantik itu harus yang seperti ini, ganteng itu mestinya yang seperti itu. Sungguh itu sangat memuakkan. Karena setiap manusia pasti mempunyai standar ke-good-looking-an versi mereka sendiri, apa yang menurut kita tidak mencapai standar yang kita yakini, tidak serta-merta harus pula menuntut orang lain untuk memiliki penampilan seperti standar versi kita.

3. Meluapkan Kemarahan dengan Cara yang Kurang Tepat
Poin ini muncul saat saya teringat salah satu scene di Drama Korea Start Up, terkait permasalahan antara Han Ji Pyeong dengan mantan peserta Sand Box yang ia komentari. Terkadang saat emosi sedang memuncak, kita akan berubah menjadi orang yang suka gebrak sana gebrak sini, menyalahkan apa saja yang menurut kita pantas disalahkan. Bahkan perilaku itu tak jarang diekspresikan pada momen dan tempat yang sangat tidak tepat. Seperti ketika ada salah satu rekan yang membuat kesalahan, ya kita memang pantas untuk marah, ditambah jika kesalahannya juga merugikan tim, namun bukan berarti perilaku kita juga bisa serampangan sampai kehilangan yang namanya tata krama. Boleh marah, tapi marahlah atau kritik kesalahannya saat suasana sudah sedikit adem, disampaikan saat hanya dengan orang yang bersangkutan, bukan langsung memarahinya di depan umum. Balik lagi, kita tidak tahu apakah mereka itu tipikal orang yang santai saja saat dimarahin di depan umum, atau justru pribadi yang cukup sensitif dan akan memikirkan kejadian itu secara berlarut-larut.

Perumpamaannya seperti dalam sebuah tim sepak bola. Saat suatu tim menuai kekalahan, sudah menjadi tugas pelatih untuk melindungi mental para pemainnya, terlepas dari betapa buruknya penampilan mereka di lapangan. Pelatih yang bijak akan merespon segala wawancara di depan media tanpa menyudutkan individu si pemain. Sebagai gantinya ia akan menggembleng habis-habisan pemain tersebut di ruang ganti, tanpa kamera, tanpa wartawan.

4. Beranggapan Bisa Mengubah Semua Hal
Ini masih ada kaitannya dengan budaya kepo yang dipadukan keinginan untuk mencampuri segala urusan orang lain. Seringkali kacamata kita melihat bahwa apa yang menurut kita menjadi masalah, otomatis hal itu juga dianggap masalah bagi orang lain. Padahal tidak semuanya begitu. Contoh paling nyatanya adalah saat mengetahui bahwa seorang teman mempunyai gaji 5 juta dan saat itu mereka tidak mempermasalahkannya, mungkin kita akan merasa kekurangan dengan hanya digaji sebesar itu saat di sisi lain kita sudah ada di angka gaji dua digit meski masih seumuran dengan mereka. Lantas kita akan meyuruh mereka untuk menuntut kenaikan gaji pada atasannya, di mana hal itu ternyata berujung pada pemecatan si teman. Jika sudah begitu tentu yang paling dirugikan adalah orang yang kita beri saran. Tujuan awalnya mungkin baik, ingin teman kita mendapatkan gaji yang besar, namun tindakan kita yang mengusik ketentraman hidupnya dengan menyuruh ini dan itu termasuk tindakan yang toxic. Tidak semua hal bisa berada dalam kuasa kita untuk diperbaiki, orang yang menjalaninya lah yang sesungguhnya paham atas tindakan apa yang seharusnya mereka lakukan.

5. Meremehkan Kemampuan Orang Lain
Kita boleh saja ada di level yang sedikit lebih tinggi dari orang lain, akan tetapi bukan berarti bisa merendahkan kemampuan dan usaha yang sedang mereka rintis. Terlalu sering mengkritik tanpa memberikan masukan yang bermanfaat adalah tindakan yang sungguh jauh dari kata baik. Segala bentuk ucapan yang mematahkan semangat merupakan tindakan toxic yang paling nyata. Boleh memberi saran kepada orang yang kemampuannya masih di bawah kita, tapi tidak untuk mematahkan semangatnya. Perkataan seperti "Udah, ngapain nyoba bisnis, pasti gagal," "Nulis tuh nggak guna, cuannya dikit, mending daftar PNS aja kerjanya jelas," dan sebagainya, itu hal yang tidak bijak. Alternatifnya bisa dengan menjabarkan peluang berhasil, gagal, resiko dan umpan balik yang bisa mereka terima apabila melihat mereka berusaha pada suatu hal. Lebih baiknya lagi saran itu disampaikan setelah dimintai langsung oleh orangnya atau mendapat persetujuan untuk memberikan saran.


Yunita Devika Damayanti

Pelajar paruh waktu yang mencintai sepak bola