Bagi Saya, Kaset Pita Selalu Memiliki Tempat Sendiri di Hati

Esther Wechsler on Unsplash


Cangkeman.net - “Emang masih jaman muter kaset?”, atau “Emang masih ada yang jual kaset?”. Itulah beberapa pertanyaan yang paling sering saya terima dari orang-orang terdekat ketika saya kedapatan membeli kaset. Kaset yang dimaksud di sini adalah kaset pita, media penyimpanan musik yang mengalami puncak kejayaannya di era 90-an sebelum keberadaannya tergeser oleh cakram padat (CD) di awal 2000-an.

Generasi sekarang mungkin memang kurang familier dengan kotak kecil berisi gulungan pita magnetik ini. Ya, kecil. Sesuai namanya yang diambil dari Bahasa Perancis cassette yang artinya literally kotak kecil. Ukurannya tidak lebih besar dari smartphone yang selalu kita genggam ke mana-mana.

Salah satu yang menyebabkan kurang populernya kaset di zaman sekarang adalah—selain karena sempat dikalahkan oleh CD—tentu saja salah satu penemuan terbesar dari peradaban manusia, internet. Dewasa ini, musik dinikmati dengan cara yang sungguh tidak terpikirkan oleh manusia setidaknya 20 tahun ke belakang. Berbagai pelantar musik digital memungkinkan kita untuk memutar lagu dari mana saja tanpa perlu repot-repot membeli album dalam bentuk fisik.

Saya memang bukan seorang avid collector kaset pita, Hanya ada sekian puluh kaset pita yang berderet di sebuah rak buku di kamar saya, ditemani belasan keping CD dan sedikit piringan hitam—yang jumlahnya dapat dihitung jari. Meski begitu, kiranya inilah alasan saya kenapa kaset masih mempunyai tempat tersendiri di hati saya.

1. Harganya Relatif Murah
Dibandingkan dengan CD dan piringan hitam, harga kaset pita relatif murah. Jika kita tekun mencari, sebenarnya cukup banyak toko—online maupun offline—yang masih menjual kaset pita, baik baru maupun bekas. Harga kaset pita bekas termurah yang pernah saya temukan ada di angka Rp10.000. Dengan catatan, album tersebut bukan album langka.

Berburu kaset murah menuntut kita jangan malas memilih-milih. Saya pernah mendapati kaset pita bekas yang salah satu muka (side)-nya sudah tidak menghasilkan suara sama sekali. Tapi di sinilah bagian menariknya, bagian pilih-memilih. Ada rasa puas ketika bisa mendapatkan kaset tua, yang harganya murah, dan masih bersuara bagus.

2. Nuansa ‘Kembali ke Masa Lalu’ 
Sebagian besar pencinta musik mungkin akan tidak suka mendengar ini, tapi jujur, saya menyukai suara white noise dari kaset pita yang diputar. White noise atau hiss seakan menegaskan jati diri kaset pita sebagai sebuah medium analog. Memang, berkat perkembangan teknologi, kaset-kaset yang diproduksi kian hari kian ‘bersih’ dari white noise, tapi masih ada suara yang membersamai ketika kaset pita diputar, yaitu suara putaran tape motor. Suara-suara inilah yang seketika bisa membawa saya serasa melakukan perjalanan waktu ke masa lalu sejauh 1970-an meski tidak terlahir dan tidak pernah merasakan hidup di dekade tersebut.

3. Sarana Literasi 
Rekaman fisik, apapun bentuknya baik itu kaset pita, CD, maupun piringan hitam tidak pernah datang telanjang bulat begitu saja, pasti ada yang membungkusnya, bisa itu berupa booklet, poster, atau cover biasa. Di dalamnya tidak hanya berisi lirik-lirik dari lagu-lagu yang dialbumkan, biasanya akan terdapat credit dan linear notes dari artis/musisi terkait. Tidak jarang juga berisi foto-foto saat penggarapan album.

Membacai dan memperhatikan hal-hal di atas bisa memberikan pandangan tentang perjalanan suatu artis/musisi dari masa ke masa, dari satu album ke album berikutnya. Kita juga berkesempatan untuk mengetahui studio mana yang digunakan untuk rekaman dan mengetahui siapa saja yang terlibat dalam produksi album­—siapa produsernya, siapa engineer-nya, siapa yang merancang sampul albumnya, hingga siapa musisi tamu yang terlibat (jika ada), dan lain-lain. Deretan kaset yang tersusun bagaikan bibliotek pribadi yang berisi sejarah perjalanan artis/musisi terkait.

Sekarang ini pelantar musik digital memang kian lengkap dengan fitur-fiturnya, salah satu fitur yang baru-baru ini muncul adalah tersedianya lirik lagu. Tapi saya belum menemukan pelantar digital yang selengkap rilisan fisik. 
 
4. Streaming Tidak Sama dengan Memiliki 
Streaming album secara daring tidak sama dengan memiliki album dari artis/musisi favorit, kita hanya memutar lagu-lagunya—tentu saja secara legal—tanpa memilikinya. Tentu pelantar digital pun bagus karena telah efektif menyingkirkan musik bajakan, namun bagi saya, agar secara sah dinyatakan memiliki sebuah album maka kepingan albumnya harus ada di tangan terlebih dahulu.

5. Keinginan Artis/Musisi untuk Merilis dalam Format Fisik Masih Tinggi

Belakangan ini cukup ramai artis/musisi yang merilis ulang album terdahulunya ke dalam format fisik. Fenomena ini boleh dikatakan sebagai resurgensi. Memang format yang menjadi pilihan utama tentu saja piringan hitam, yang pada tahun 2020 di Amerika penjualannya melampaui penjualan CD, sebuah fenomena yang terakhir kali terjadi sekitar 30 tahun lalu. Namun tidak sedikit juga yang merilisnya justru dalam format kaset pita alih-alih CD. Mungkin memang benar kalau sebagian musisi lebih senang menyimpan karyanya dalam bentuk yang se-nostalgic mungkin.

Fenomena ini juga cukup terasa di dalam negeri, terlebih lagi saat ini Lokananta, label rekaman musik milik negara, kembali aktif memproduksi kaset pita. Lokananta sendiri pernah menuturkan bahwa permintaan produksi kaset pita belakangan ini memang meningkat, terutama dari musisi-musisi indie tanah air. 

Itulah 5 alasan kenapa saya masih menyukai kaset pita. Memang kaset pita tidak se-nostalgic piringan hitam, resurgensinya pun tidak sebesar piringan hitam, namun kaset pita masih memiliki tempat terbesar di hati saya untuk masalah rilisan fisik. Semoga kaset pita bisa terus bertahan dan tidak dikalahkan (lagi) oleh zaman.


Muhammad Zulyadri

Penulis dan pemusik jadi-jadian. Menulis kalau sedang ingin saja, bermusik kalau ada waktu senggang saja. Jangkau saya di Instagram @mhmmdzulyadri