Bagaimana Logo Dapat Menimbulkan Konflik Sosial?

Tempo.co


Cangkeman.net - Logo merupakan salah satu contoh dari penerapan komunikasi dalam bentuk visual. Logo dapat digunakan untuk menyampaikan pesan, atau mewakili sesuatu; entah individu, kelompok, atau sebuah produk. Hanya saja, karena menggunakan simbol, hasil interpretasi dari suatu logo dapat berbeda antara seseorang dengan orang lain. Sehingga, bukan tidak mungkin melahirkan keributan. Seperti yang terjadi saat ini; berubahnya logo halal.

Netizen pada awalnya mengomentari perubahan logo halal yang baru seperti gunungan (wayang). Kata “seperti” menimbulkan polemik. Hingga kemudian lahirlah sindiran mengandung SARA yang dialamatkan kepada suku Jawa. Kata; “Jawa-sentris”, “Jawanisasi”, berebutan muncul di jagad maya. Di lain pihak, ada juga yang membawa isu agama. Misal; “Kali ini, si adik bungsu ribut hanya karena logo.” Adik bungsu yang dimaksud tentu saja agama Islam. Karena perkara logo halal ini memang dikhususkan untuk umat Islam.

Keributan yang terjadi membuat saya tertarik. Setelah melihat logo halal terbaru, saya sepakat dengan komentar netizen yang menyatakan logo halal terbaru mirip gunungan wayang. Namun, setelah diamati lebih lama, muncul hasil interpretasi lain, seperti; mirip kubah masjid, dan mirip dengan lambang sekop dalam kartu remi. Pertanyaannya, mengapa dalam memandang suatu objek mampu melahirkan interpretasi yang beragam?

Dalam psikologi ada yang disebut dengan mazhab Gestalt. Mazhab ini berfokus pada proses seseorang dalam mendeskripsikan sebuah objek, yang informasinya didapatkan dari panca indera, sebelum mengartikannya. Hasilnya nanti sangat tergantung dari berbagai aspek yang dimiliki seseorang, misal; proses belajar, pengalaman, ingatan, dan lain sebagainya.

Maka, tidak heran, apabila beberapa beberapa orang memandang objek yang sama, hasil interpretasinya bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain. Seperti kasus logo halal terbaru; ada yang menyatakan seperti gunungan wayang, ada pula mengartikan yang lain. Inilah hasil sederhana dari persepsi.

Dalam artian singkat, persepsi merupakan proses berpikir yang melibatkan seseorang untuk memilih, mengkodefikasi, lalu mengartikan sebuah informasi dengan segera. Sekadar catatan, persepsi tidak selalu menghasilkan dampak buruk. Dengan persepsi, seseorang mampu berpikir dan bertindak cepat untuk merespon suatu hal. Hanya saja, memang, persepsi mampu menimbulkan bias. Sehingga, seseorang bisa saja salah tanggap.

Jika dihubungkan dengan Gestalt, seseorang yang mempersepsikan logo halal terbaru seperti gunungan wayang, memiliki beberapa tipe sperti yang dijelaskan oleh empat hukum yang mengatur proses persepsi.

Dengan Hukum Proksimitas atau kedekatan, seseorang bisa mengartikan bahwa logo halal terbaru seperti gunungan wayang. Mungkin orang lain juga mengartikan; “Loh, ini bukan sekadar “seperti”, namun sama dengan gunungan wayang.” Seseorang yang memandang demikian dapat dijelaskan dengan Hukum Similaritas atau kesamaan. Di lain pihak, bisa saja ada yang menyatakan; “Memang tidak utuh bentuknya, karena terdapat garis putus-putus, namun logo halal seperti gunungan.” Seseorang yakin dengan artian tersebut disebabkan oleh Hukum Arah Terbuka. Yang lain mungkin ada yang berpendapat; “Logo Halal terbaru merupakan versi sederhana dari gunungan wayang”, merupakan penerapan Hukum Simplisitas.

Apapun hasil persepsinya, hukum tersebut dapat berlaku hanya satu saja, kombinasi di antaranya, atau keempatnya. Di luar dari kasus ini, berbagai hukum yang mengatur proses persepsi juga mempengaruhi seseorang dalam memandang sebuah objek ataupun fenomena. Dalam lingkup sosial, akan terjadi yang namannya persepsi sosial.

Persepsi sosial memiliki proses yang sama. Fungsinya agar seseorang memiliki sebuah kesan yang dialamatkan kepada objek pengamatan dalam konteks sosial. Dalam kasus ini jadi alurnya seperti ini, gunungan wayang merupakan salah satu benda yang digunakan untuk menyajikan cerita pewayangan. Wayang dianggap sebagai produk dari budaya Jawa. Logo halal terbaru yang dipersepsikan berbentuk gunungan wayang ini memicu pemikiran tentang adanya proses Jawanisasi, lalu menimbulkan polemik.

Dalam dampak yang buruk akan terjadi bias persepsi yang kemudian melahirkan stereotype; merupakan sebuah cara mengkategorikan seseorang berdasarkan anggota kelompok, ciri khas, atau label sosial yang tertempel dalam dirinya. Kelompok tertentu memiliki ciri tertentu. Bahkan, tidak jarang hasil stereotype sangat ekstrim juga. Misal, orang Jawa yang munafik, umat Islam yang “bersumbu pendek”, etnis Tionghoa yang licik, dan berbagai contoh lain. 

Dalam konteks peradaban pun juga bisa terkena stereotype. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pulau Jawa, bahkan suku Jawa menjadi anak emas di Indonesia, dan ini sudah berlangsung lama. Tidak hanya dalam pembangunan infrastruktur, tetapi juga pendidikan; secara spesifik; peradaban Jawa lebih banyak masuk dalam pelajaran sejarah. Hal ini seolah-olah adanya pengabaian kelompok lain, entah berdasarkan suku atau masyarakat yang tinggal di pulau lain. Apalagi ditambah dengan adanya kejadian perubahan logo Halal yang terkesan njawani, semakin memperkeruh suasana akibat stereotype yang sudah ada kemudian berubah menjadi prasangka.

Menurut Prof. Dr. Sarlito Sarwono dalam bukunya yang berjudul; Psikologi Prasangka Orang Indonesia, prasangka (prejudice) merupakan praduga. Prasangka tidak melulu negatif. Kita mengenalnya sebagai praduga tak bersalah. Jadi, kalau prasangka negatif dapat diartikan sebagai evaluasi atau penilaian negatif yang dialamatkan kepada seseorang atau kelompok tertentu karena adanya perbedaan tertentu dari seseorang atau kelompok lain.  

Artinya, ketika seseorang mempersepsikan sesuatu secara negatif kemudian melahirkan stereotype negatif pula, lalu menjadi prasangka negatif. Salah satu contohnya, pernyataan bahwa Indonesia hanya pulau Jawa, sementara yang lain bukan (bagian dari Indonesia). Tidak hanya Jawanisasi, pandangan Jawasentris ikut terbawa. Prasangka negatif tersebut dapat mempengaruhi emosi seseorang, misalkan, rasa “sensi”.

Lalu ditambah lagi ada yang namanya prasangka buruk yang kemudian menjadi penyebab adanya jarak sosial antara seseorang atau kelompok dengan yang lain. Jarak sosial itu berasal dari adanya keyakinan eksklusivitas yang didapatkan seseorang atau kelompok tertentu sementara yang lain tidak. Jika ini terus berlanjut akan menimbulkan konflik sosial. Konflik sosial tersebut dapat terjadi dalam setiap lingkup sosial, seperti konflik antar-keluarga, konflik pertemanan, konflik antar-karyawan, hingga konflik besar seperti konflik antar-suku, peperangan, dan lain sebagainya.

Isu Jawanisasi dan Jawa-sentris sebetulnya terjadi sejak masa Orde Lama, namun semakin menguat terutama dalam aspek ekonomi ketika Orde Baru. Masa kemudian berganti menjadi era reformasi. Pada masa itu, lahirlah Undang-Undang Otonomi Daerah. Dikeluarkannya UU OTODA bisa dikatakan sebagai upaya pemerintah dalam meredam kedua isu tersebut. Utamanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di setiap daerah. 

Namun, usaha itu tidak memberikan dampak yang signifikan. Pada tahun 2015, misalkan, Badan Pusat Statistik mencatat, Pulau Jawa tetap memberikan Produk Domestik Bruto sebesar 58,29 persen. Lalu diikuti oleh Pulau Sumatera sebanyak 22,21 persen, dan Pulau Kalimantan 8,15 persen. Data ini tidak berubah secara signifikan pada tahun 2021; Pulau Jawa tetap memberikan sumbangsih terbesar; 57,89 persen. Tentu saja, apabila membicarakan PDP, populasi sangat berpengaruh. Pulau Jawa merupakan wilayah yang memiliki penduduk terbanyak di Indonesia.

Kemudian jika kita telaah lagi, aspek Jawanisasi sebetulnya sudah ada sejak era klasik peradaban Jawa. Orang Jawa Kuno melakukan Jawanisasi terhadap budaya dan kepercayaan dari luar. Hindu masuk, terjadi Jawanisasi menjadi Hindu-Jawa. Kemudian Budha masuk. Sama seperti Hindu, budaya dan kepercayaan Budha kemudian menjadi Siwa-Budha. Tak terkecuali kepercayaan dan budaya asing lainnya pun terkena proses Jawanisasi

Sebagai seseorang yang kebetulan terlahir sebagai suku Jawa, saya menganggap bahwa proses Jawanisasi dilakukan untuk menengahkan antara sesuatu yang asing masuk ke tanah Jawa dengan budaya dan kepercayaan kuno yang sudah berlangsung lama dan mengakar kuat. Alasan utamanya, tentu saja, agar yang baru dan local-genius sama-sama diterima.

Kemudian, cara ini sebetulnya juga dilakukan untuk menyebarkan pengaruh Islam dengan cara yang tidak terlalu ekstrim. Misalkan, membuat tempat ibadah yang disesuaikan dengan struktur bangunan setempat, menyebarkan ajaran Islam melalui wayang, dan seterusnya. Meskipun tidak tahu secara pasti, saya yakin, cara semacam ini pun dilakukan di tempat lain. Budaya dan kepercayaan asing dikombinasikan dengan local-genius setempat.

Sebagai seseorang yang beragama Islam, saya ingin sedikit curhat. Belakangan ini umat Islam cukup sering disorot karena berbagai pemberitaan negatif. Dari sekadar sikap intoleran sampai tindak kriminal. Berbagai hal inilah yang kemudian menimbulkan prasangka negatif yang ditujukan kepada umat Islam. Jangan sampai kita umat Islam menanggapi isu perubahan logo halal dengan tidak bijak. Memberikan kritik dan saran terhadap isu ini sah-sah saja dilakukan. Hanya saja, dalam menanggapinya jangan sampai berpotensi memperkeruh suasana.

Sebuah logo mampu memberikan respon beragam. Hal ini terjadi bagaimana seseorang memproses informasi dan memaknainya dipengaruhi oleh beberapa sebab, yang kemudian menjadi persepsi. Jika yang terjadi adalah persepsi negatif akan melahirkan rangkaian konsekuensi yang negatif pula, salah satunya potensi konflik. Masalah ini tidak bisa diabaikan begitu saja karena mempengaruhi persatuan bangsa. Kalau mau hidup damai, sepertinya sudah dimulai sejak kuta memproses informasi.


Angga Prasetyo
Kontributor ini masih malu-malu untuk menceritakan dirinya. Dapat ditemui di Instagram @anggaprass