 |
Nik Shuliahin on Unsplash |
Cangkeman.net - Orang masa kini lebih menyadari bagaimana hidup tidak hanya sehat secara fisik tetapi juga sehat secara mental. Hal ini mungkin karena dipengaruhi oleh derasnya aliran informasi dan mudahnya mengakses berbagai literatur yang berkaitan dengan kesehatan mental. Tidak jarang industri hiburan mengangkat isu ini sehingga membuat orang semakin tumbuh kesadaran dan kepedulian tidak hanya ditujukan kepada diri sendiri, tetapi juga kondisi mental orang lain. Hanya saja, menurut saya, ada sekelompok orang yang cukup “lebay” dalam menanggapi maraknya isu kesehatan mental.
Untuk memudahkan pemahaman, saya berikan ilustrasi sederhana. Di era pandemi sangat mungkin pikiran paranoid muncul. Misalkan, tiba-tiba terkena batuk atau pilek, langsung berpikir;
“Jangan-jangan terkena Covid-19, nih.” Pun demikian dengan kesehatan mental. Stres sedikit langsung berpikir terkena depresi. Terkena cemas berkesimpulan mengalami serangan panik. Atau yang parah, akibat terlalu banyak membaca berbagai gangguan mental yang biasanya sulit disembuhkan, timbul keinginan menghabisi nyawa sendiri; malu merasa mengalami gangguan mental yang sulit disembuhkan.
Makanya di masa kini, ada anggapan orang-orang zaman sekarang terlalu banyak mengeluh, mudah menyerah, dan fokusnya pada kondisi yang tidak enak bukannya mencari solusi. Tak jarang juga ada yang menggunakan kondisi mentalnya sebagai senjata untuk mencari perhatian. Dampaknya, tidak sedikit orang-orang menjadi apatis dengan kondisi orang lain. Tentu yang dirugikan adalah mereka yang betul-betul mengalami gangguan mental.
Orang yang benar-benar mengalami gangguan mental, yang mereka alami tidak hanya berdasarkan hasil diagnosis oleh kaum profesional di bidang kejiwaan saja, tetapi juga sudah diberikan berbagai macam terapi. Mereka lah yang sebetulnya harus memiliki
support system yang baik. Tentunya juga bantuan dari sosial-masyarakat secara luas. Lah, kalau banyak yang apatis, bagaimana nasib mereka? Sudah banyak studi literatur yang menyatakan; mereka yang mengalami gangguan mental dan tidak punya support system yang baik, tidak diterima oleh masyarakat, yang terjadi, gangguan mental mereka sering kumat pasca rehabilitasi. Akhirnya yang kondisi mereka semakin memburuk.
Karena tidak semua orang betul-betul paham akan kesehatan mental berikut berbagai macam gangguan jiwa yang ada. Membaca saja belumlah cukup. Malah dari sekedar membaca, ada saja yang menyimpulkan aneh-aneh menyangkut kondisi mental sendiri maupun orang lain. Atau yang parah melakukan
self diagnosis yang hasilnya adalah gangguan jiwa berat. Pertanyaannya, apakah betul mengalami itu? Atau berharap ingin mengalaminya? Atau
self diagnosis dijadikan pembenaran demi tujuan tertentu?
Padahal, butuh pemahaman, berlatih, dan praktik langsung yang terkait dengan suatu gangguan mental. Proses ini bisa membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Apalagi sampai betul-betul menguasai bagaimana melakukan diagnosis hingga
treatment untuk seluruh gangguan mental yang ada. Silakan tanyakan kepada mereka yang verkecimpung di dunia kejiwaan. Perjuangan mereka tidaklah mudah, sama seperti orang lain yang ingin ahli di bidangnya masing-masing.
Saya tidak mengatakn jika terindikasi mental terganggu harus langsung mencari bantuan dari pihak profesional, seperti; Psikiater, Psikolog, Psikoterapis, Konselor, atau yang lainnya. Sama seperti penyakit biologis, gangguan mental memiliki bobotnya masing-masing; dari ringan hingga berat. Sama seperti penyakit biologis, jika sekadar terkena flu, bisa sembuh dengan obat warung ditambah istirahat. Pastinya treatment nya akan berbeda jika mengalami Covid-19, misalkan. Pun demikian dengan gangguan mental. Jika mengalami gangguan yang ringan, bisa kembali waras dengan
treatment sederhana. Pastinya semakin berat gangguannya,
treatment yang diberikan akan lebih kompleks.
Anehnya, ada saja orang-orang yang mengaku mengalami gangguan mental namun apabila ditanya lebih lanjut, jawaban yang diberikan tidak terlalu kuat. Entah hanya berdasarkan hasil
self diagnosis yang padahal tidak memiliki latar belakang pendidikan kejiwaan, atau malah hanya berdasarkan dari apa yang mereka pernah baca. Jangan tanya soal
treatment. Besar kemungkinan tidak ada. Kemudian kalau disarankan agar mereka segera menolong diri mereka sendiri atau disarankan untuk meminta pertolongan dengan kaum profesional di bidang kejiwaan, selalu ada saja alasannya untuk tidak dilakukan.
“Lah, sebetulnya mau sembuh atau tidak? Atau jangan-jangan…”
Namanya menjalani hidup, pasti ada pasang-surutnya. Kadang mudah, kadang susah, yang semua itu dialami oleh orang lain juga. Hanya saja bentuknya berbeda namun intinya tetap sama; tentang mudah dan sulitnya hidup. Jangan sampai apabila dalam kondisi yang tersulit lalu membaca berbagai macam gangguan mental, lantas menyatakan mengalami suatu gangguan mental. Lalu mengatakannya kepada orang lain. Buat saya, ini semacam perilaku mengasihani diri sendiri, yang nantinya digunakan sebagai senjata untuk mencari simpati kepada orang lain.
Terkadang malah ada yang sebetulnya tidak mengalami gangguan mental, namun mengatakan sebaliknya kepada orang lain. Mereka melakukan hal itu demi tujuan tertentu. Kesadaran akan kesehatan mental bisa dikatakan sebuah fenomena yang sedang populer. Artinya, ketika seseorang membicarakan hal ini, atau mengaku bahwa dirinya mengalami gangguan mental, tentunya akan mendapatkan perhatian. Mereka ingin diperhatikan. Bagaimana pun caranya. Kalau merasa kurang diperhatikan, mbok ya gunakan cara yang benar, gitu loh.
Belum lagi ada yang memaksakan agar orang lain mengerti akan kondisi dirinya terlepas yang bersangkutan terkena gangguan mental atau tidak. Misalkan, mengharapkan orang lain agar mendapat perlakuan yang mereka inginkan. Tapi terkadang mereka tidak mendapatkannya. Sehingga akan berkata;
“Ah, elu, sih, nggak tau apa yang gw rasakan!” Atau barangkali respon yang didapatkan dianggap buruk, dan akhirnya mengatakan
“Elu tau nggak, yang elu perbuat itu ngebuat mental gw breakdown!”
Lha, memang betul. Orang lain mana tahu yang sebenar-benarnya tentang diri kita. Toh, pada kenyataannya, orang lain bukanlah kita. Orang lain tidak punya masalah yang kita punya, orang lain tidak punya bagaimana cara kita berpikir, merasa dan bertindak. Kita sendiri yang punya akan hal itu. Hanya diri kita yang betul-betul tahu kondisi yang sedang dialami, bukan orang lain. Sedih, kecewa, putus asa, marah, dan berbagai emosi negatif lainnya boleh-boleh saja dirasakan. Malah, itu sebagai pertanda bahwa kita masih punya perasaan. Hanya saja, tidak perlu merasa begitu sedang mengalami gangguan mental berdasarkan asumsi.
Setiap orang punya orang-orang yang peduli dengannya, meskipun pengetahuan kesehatan mentalnya terbatas. Apa yang mereka bantu barangkali tidak sesuai dengan ekspektasi, seperti sekedar berucap; “yang sabar, ya”, “yang tabah, ya”, dan berbagai jawaban normatif lainnya. Jika mereka memberikan respon tersebut jangan lantas dilabeli toxic positivity. Lagipula, mana ada hal positif mengandung racun. Jika ada yang berpikir demikian, berarti ada yang salah dalam proses berpikir. Salah satunya, memandang buruk dari hal baik. Ini yang kadang membuat saya bingung; hal baik bisa terlihat buruk, yang buruk bisa terlihat baik.
Terdapat sebuah solusi yang lumayan simpel untuk orang yang betul-betul mengalami gangguan mental. Jika orang-orang sekitarnya tidak mampu menolong dan yang bersangkutan sadar bahwa dirinya membutuhkan pertolongan; karena tidak mampu menanganinya seorang diri, segera verifikasi gangguan mental yang mungkin dialami kepada pihak profesional. Karena semakin cepat ditangani dengan benar, semakin cepat pula untuk segera waras. Harapannya, jika sudah ditangani pihak profesional, orang-orang di sekitar bisa lebih baik lagi dalam bersikap kepada yang bersangkutan. Karena di zaman sekarang, orang semakin sulit percaya tanpa adanya bukti. Pun demikian bila kita mengetahui terdapat orang yang mengalami gangguan mental, dan kita tidak mampu untuk menolongnya, sarankan kepada yang bersangkutan untuk meminta pertolongan kepada pihak yang lebih profesional.
Dari derasnya informasi isu fenomena kesehatan mental memiliki dua dampak; pertama, orang-orang menjadi sadar akan pentingnya sehat tidak hanya secara biologis tetapi juga sehat secara mental. Kedua, ada orang-orang yang lebay dalam menanggapi isu ini. Respon lebay tersebut bisa melahirkan dampak buruk lainnya, yaitu; orang menjadi apatis tentang kesehatan mental dan berbagai macam gangguannya. Kalau sudah begini, yang terjadi bukan semakin banyak orang yang sehat mentalnya, tetapi orang yang tidak waras kian bertambah.
Angga Prasetyo
Kontributor ini masih malu-malu untuk menceritakan dirinya. Dapat ditemui di Instagram @anggaprass
Posting Komentar