Merekonstruksi Mitos Suluten Untuk Lingkungan yang Lebih Baik

Kseniya Safronova on Unsplash

Cangkeman.net - Antara bulan Desember-Januari, sebagian besar wilayah Indonesia sedang mengalami puncak musim hujan. Berita mengenai banjir menjadi hal yang lumrah di berbagai daerah. Warta tentang sungai meluap menjadi kabar yang wajar di kota-kota besar. Selalu begitu sejak jaman Batman masih pampersan.

Untuk kota besar semacam Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang notabene daerah dataran rendah sih wajar jika sungai meluap di musim hujan. Apalagi kota-kota tersebut terletak di pesisir pantai. Aliran sungai akan melambat ketika mendekati muara.

Bagaimana dengan kota-kota dataran tinggi seperti Kota Batu dan Kota Malang? Ternyata seperti Sasa dengan Miwon, sami mawon, sama saja. Kalau enggak percaya silakan googling saja. Hal itu terjadi karena berbegai faktor, salah satu faktor adalah popok bayi. Yups, popok bayi yang yang imut itu, yang dibuang sembarangan ke sungai.

Saya sering melihat dengan mata kepala tetangga, eh sendiri ding, pengendara sepeda motor yang melemparkan bungkusan sampah dari atas jembatan. Biasanya mereka melakukan itu mruput, sekira jam 5an pagi. Saya sering memergoki mereka karena jam segitu saya sudah OTW menuju tempat kerja. Kadang saya betul-betul selo untuk berhenti dan melihat sampah apa yang dibuang. Siapa tau saja yang dibuang itu segepok uang atau mungkin sebungkus kenangan, ups..

Dari pengamatan yang saya lakukan, yang mereka buang itu kebanyakan adalah sampah popok sekali pakai. Hal ini senada dengan yang diungkap oleh relawan Brigade Evakuasi Popok (BEP) dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) bahwa 37% sampah yang ada di sungai adalah popok.

Pertanyaannya, kenapa masih banyak orang yang membuang sampah popok ke sungai? Padahal popok terbuat dari bahan yang mustahil terurai oleh air. Berdasarkan pengalaman pribadi, jawabannya adalah karena faktor tradisi dan kepercayaan. Saya mengalaminya sendiri ketika memiliki anak bayi. Orang tua melarang saya membuang popok ke tempat sampah. Mereka menyuruh saya membuangnya ke sungai. Katanya ora ilok atau pamali membuang popok ke tempat sampah. Bisa menyebabkan suluten atau ruam-ruam merah pada pantat dan selangkangan bayi.

Apakah kepercayaan tersebut masuk akal? Saya sendiri tidak mempercayai itu. Saya telah membuktikan sendiri pada 2 anak saya (Sekar dan Bhre). Sampah popok mereka selalu saya buang ke tempat sampah, dan nyatanya mereka tidak pernah mengalami suluten.

Untuk mendukung kepercayaan rasional tersebut, saya sengaja bertanya kepada pemuka paguyuban budaya di Kota Malang dan Kota Batu. Jawabanya senada dengan logika saya. Popok bayi yang kita gunakan saat ini tidak termasuk pamali untuk dibuang ke tempat sampah.

Nalarnya begini, orang tua kita jaman dahulu belum mengenal popok diapers seperti sekarang. Pada masa kuda gigit besi itu, popok bayi umumnya terbuat dari kain. Karena harga kain ketika itu tidaklah murah, maka wajar jika membuang popok ke tempat sampah dianggap ora ilok atau tidak pantas. Popok bayi harus dicuci supaya bisa digunakan berulang kali.

Bahkan dalam beberapa kasus, orang kaya pada masa itu membuat popok dari kain tapih. Kain tapih adalah kain batik yang harganya relatif mahal yang sering digunakan sebagai alas dari persalinan. Dengan begitu, ada air ketuban beserta darah seorang ibu yang ikut menempel di kain tersebut. Maka ia memiliki nilai historis dan personal bagi si orang tua. Wajar jika menjadi pamali jika dibuang di juglangan atau tempat sampah.

Sungguh jauh berbeda dengan popok instan yang kita kenal sekarang. Mayoritas popok bayi yang kita beli adalah popok sekali pakai. Tidak ada nilai-nilai personal yang menempel di popok jenis ini. Kalaupun ada yang menempel, itu pasti tai si bayi. Membuangnya di tong sampah adalah sah, tidak termasuk pamali.

Saya kira papah-papah dan mamah-mamah muda jaman sekarang lebih rasional. Lebih bisa diyakinkan untuk urusan perpopokan ini. Masalahnya, ketika mereka tinggalnya masih menumpang, beranikah mereka menyuarakan pemahaman ini kepada orang tua? Lebih-lebih kepada mertua? I am not sure about it..

Rois Pakne Sekar

Seorang part time teacher dan full time parent. Mengajar -sekaligus belajar- Mapel Bahasa Jawa. Juga seorang atlit badminton amatir yang tidak akan takut menghadapi 'minions' ataupun 'the daddys'