Puisi-Puisi Arlindo Fahik

Casey Horner on Unsplash

CINTA DAN BENCI

Aku membencimu dengan cinta patahan rusuk. Terlalu sakit untuk dikenang namun menolak untuk disembunyikan.

Aku mencintaimu dengan sajak-sajak paling miskin. Ingin berkata-kata namun lupa kalau kata-kata bukan penyair.

Sekarang benci adalah perkenalan paling biadab, ketika patahan sayap itu kau kecup penuh lirih. Aku ingin mencintaimu dengan benci setengah dandan. Dan malam seperti musik tanpa birama atau lagu tanpa notasi.

Kini cinta adalah bahasa roh untuk musim ini.

Jakarta, Maret 2021


RINDU

Mengapa bulan harus bersinar
sementara bola matamu kau kunci
dan rindu terlalu lugu untuk disingkap?

Ini bukan persoalan sepele, sayang.
Sejauh kita masih menyimpan doa-doa rindu
dan tangan doa-doa masih sebatas celengan pada kota amal,
maka kita adalah angin penuh lirih pada sudut kota yang hilang.

Ini bukan bulan, sayang.
sebab kita masih bermimpi tentang petuah
tetapi hati terlalu cemas memikirkan kata.

"Akh, kebijaksanaan!"

Aku tak ingin nyanyian air
Aku tak ingin ada api pada puisi
Aku, aku ingin hanya menulis rindu tanpa spasi dan bertele-tele.

Semenjak, itu…
yang kita butuhkan hanya pena untuk menulis lebih banyak sabda atau waktu
sebab rindu yang tulus selalu lebih nikmat daripada cinta yang manis.

Tangerang, Agustus 2021


BIARKAN IA TAMPAK

Ada kala musik lebih cerdik daripada siulan dan dedaunan tidak lagi gemerincing oleh angin.

Apabila cinta adalah kepastian maka biarkanlah ia menampakkan diri apa adanya,

tidak perlu mengajarkan membaca, berpuisi atau mengerti mengapa matahari harus bersinar di pagi hari sementara tidak sedikit orang memandang tanpa keraguan apakah sinar itu datang karena matahari atau ia bersinar karena memang ia adalah matahari?

Biarkanlah ia tampak tanpa umpama-umpama atau telanjang tanpa busana-busana, karena sampai kapanpun kita tidak akan pernah mencintainya dengan paham.

Tangerang, Desember 2021

PASIR

Orang lebih mudah menulis rindu di atas pasir dan duduk pada buih-buih ombak ketika nafas dalam dadamu kau impitkan pada bibir dan dirimu seperti biduan di atas panggung. Menari tak henti, menangis tak henti, atau menulis lagu sesudah bait-bait puisi kau tuangkan begitu saja.

Entah siapa saksinya!

Setiap lorong yang kita jumpai tidak lebih dari kesaksian-kesaksian orang-orang dulu yang pada masanya menuduh ombak sebagai pemusnah rindu di atas pasir atau ramalan sakral milik orang-orang suci.

Menulis namamu tak seindah malam memeluk pagi atau matahari menghitung dahan-dahan mawar sebelum angin menghempaskan aromanya.

Sebuah kisah bermakna atau sejati, tidak cukup sehari atau sebulan atau setahun atau sebatas ujung kaki sampai ujung rambut, karena yang terhitung jumlahnya tidak menyisakan makna selain sibuk menghitung-hitung; kapan umur angin dari dulu sampai sekarang? Atau kapan ombak benci pada pasir dan air laut menolak senja yang terlalu lugu?

Kotabumi, Januari 2022

Arlindo Fahik

Lahir di Besikama, 22 Januari 1994. Pendidikan S1 diselesaikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta pada tahun 2018. Selain membaca dan menulis puisi di malam hari, ia adalah penyuka kopi tanpa gula. Saat ini berdomisili di Tangerang, Kotabumi.