Harusnya, Kita Tak Boleh Menganggap Wajar Kemacetan

Randy Lisciarelli

Cangkeman.net - Di balik berbagai macam profesi orang-orang yang hidup di kota besar, ternyata ada suatu keahlian yang hampir dimiliki semua orang, apapun profesinya. Keahlian tersebut terus diasah setiap hari, namun keahlian tersebut tidak memiliki nama khusus, tidak ada pula kosakata yang mampu menggambarkannya. Tapi jika anda berpikir keahlian tersebut bisa mendatangkan penghasilan tambahan di luar pekerjaan utama anda, maka anda salah. Karena keahlian tersebut adalah, "Terjebak di Kemacetan dan Menganggapnya Wajar."

Akibat dari menguasai keahlian tersebut, warga kota terbelah menjadi berbagai macam golongan. Golongan yang pertama adalah golongan yang setengah pasrah, biasanya mereka aka bilang, "Wajar lah macet, namanya juga di kota, sabar aja." 

Hingga ada golongan yang sampai mengatur  hidup orang lain dengan berkata, "Lu kalo ga mau kena macet, diem aja di rumah! Namanya juga jam pulang kantor, ya wajar macet!"

Serta berbagai golongan-golongan lain yang memang sudah pasrah, bingung lagi mau gimana, hingga jadinya yaudahlah yah gitu, jadi wajar aja.

Padahal seharusnya, kita berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan terbebas dari kemacetan. Kita juga tidak tau akan berjodoh dengan siapa. Bagaimana kalau ternyata rumah mertua kita tinggal berada di daerah yang rawan macet? Kan repot.

Lagian masa sih karena kita memprotes masalah kemecetan eh kita yang malah disuruh enggak keluar rumah? 

Nih, ada tiga masalah utama di perkotaan nih yah. Yaitu kemiskinan, permukiman, dan transportasi. Nah kemacetan ini adalah bentuk kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah transportasi. Pemerintah gagal menggembangkan jaringan transportasi massal, baik bus kota, kereta api, atau jenis angkutan massal lainnya.

Masalahnya, kemacetan juga menimbulkan eksternalitas negatif, yakni pemborosan bahan bakar, pemborosan uang, dan pemborosan waktu karena perjalanan lebih lambat. Tidak berhenti di situ, kenyamanan pihak lain untuk berjalan kaki pun terampas karena asap kendaraan.

Negara maju bukanlah tempat di mana orang miskin mempunyai mobil, melainkan tempat di mana orang kaya menggunakan transportasi umum. Begitulah yang dikatakan Enrique Penalosa, Walikota Bogota, Kolombia periode 1998 - 2001. Dengan kata lain, kemacetan bukanlah indikator kemajuan sebuah kota atau negara. Kota-kota di negara maju tidak sewajarnya mempunyai masalah kemacetan.

Jika pemerintah belum menyediakan jaringan tranportasi massal yang mumpuni, maka seharusnya kita tidak menganggap wajar kemacetan, tapi bersuaralah agar pemerintah mau menyediakan. Bisa saja pemerintah belum bergerak karena kita kurang bersuara? Kita yang terlalu permisif? Emangnya sampai kapan kita masih mau mewajari emisi karbon besar-besaran ini?

Apakah kita tidak ingin jika nanti tidak ada lagi yang menjemput rezeki dengan mengorbankan paru-paru? Apakah kita akan terus-terusan mengunjungi mertua sambil menghambur-hamburkan bahan bakar dan waktu? 

Untuk Bapak-Ibu yang duduk sambil diskusi, jangan hanya menyuruh kami bersabar dalam menghadapi kemacetan, apalagi menanamkan pemikiran bahwa kemacetan merupakan tanda negara maju. Buatlah kami bisa menggunakan transportasi massal. Jangan tambah pekerjaan kami untuk menganggap wajar kemacetan. Kalau ada transportasi publik andal, kita akan pakai, Kok.


Muhammad Zulyadri

Penulis dan pemusik jadi-jadian. Menulis kalau sedang ingin saja, bermusik kalau ada waktu senggang saja. Jangkau saya di Instagram @mhmmdzulyadri