Apakah Feodalisme Hilang? Hmm Tunggu Dulu...

pixabay.com

Cangkeman.net - Saya kadang berpikir, untuk menjadi orang yang didengar, orang tersebut harus lebih tinggi derajatnya daripada para pendengar itu sendiri. Entah kalian setuju atau tidak, pun kalau kalian tidak setuju, berarti derajat kalian lebih tinggi dari saya, buktinya ucapan saya ini tidak didengar.

Banyak tempat, organisasi, instansi, perusahaan, maupun kehidupan sosial lainnya, hal-hal yang disebutkan di atas sering terjadi. Seseorang dapat didengar jika lawan bicaranya memiliki pengetahuan yang lebih rendah, tingkat pendidikannya lebih rendah, posisi jabatannya lebih rendah, kekayaannya lebih rendah. Saya rasa ini tentang kelas sosial yang terlalu berlebihan. Padahal, siapapun lawan bicara kita toh kita masih sama-sama manusia juga. Kita menggunakan alat komunikasi yang sama yang berupa kata-kata. Tapi terkadang orang terkadang dengan sepihak merendahkan lawan bicaranya melalui tutur katanya.

Melihat hal itu, saya kira feodalisme itu masih ada. Sebab banyak sekali manusia yang menginginkan kehormatan sebagai bentuk keagungan pribadi. Mungkin pengkastaan seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra sudah tidak populer lagi. Tapi ketika kita bertemu seseorang, kita bisa mengelompokan mereka sebagai ahli agama, politikus, pengusaha, buruh, atau apapun yang secara tidak langsung kita masih menerapkan sekat-sekat sosial.

Pengagungan terhadap diri sendiri mungkin niatnya baik, namun kita kadang lupa bahwa hal itu dapat merendahkan orang lain. Meski kita juga tau bahwa hal itu tidak bisa hilang begitu saja. Saya malah berpikir jika kita membicarakan kelas sosial, justru anak-anak jalanan, petani, orang di desa-desa justru kelas sosialnya lebih tinggi. Hal ini dapat terlihat pada tempat-tempat tongkrongan dan tempat ngopi yang bisa dikatakan sebagai tempat "berkelas", justru manusia-manusianya tidak saling hormat menghormati. Mereka sibuk dengan smartphonenya masing-masing. Begitu pula pada area-area tempat tinggal yang dinilai "berkelas" juga jika kita perhatikan, penghuninya akan selalu sibuk akan pekerjaan demi sesuatu yang bernama uang. Sehingga lupa dengan lingkungannya yang akhirnya membuat lingkunganya mati. Berbeda dengan kehidupan warga desa yang masih menerapkan sikap gotong royong yang kuat. Kita masih dapat melihat tetangga yang sakit lalu dijenguk, guyup rukun membangun desa dll yang menurut saya jutru ini yang dinamakan kelas sosial yang baik.

Kenapa di kota-kota besar lebih terasa sekat-sekat kelas sosialnya yang padahal tingkat pendidikannya lebih tinggi? Selain demi pengakuan dan uang, saya belum menemukan alasan lainnya. Tapi bagi saya, cara bersosial yang paling baik adalah membuat orang senang dan jangan saling menyakiti perasaan.

Suko Widya Margi Putra Awalu

Dapat ditemui di Instagram @suko_widya