Kenapa Anak Desa Lebih Memilih Kuliah di Kota Daripada Kuliah di Daerah Sendiri?

Jasmine Coro on Unsplash

Cangkeman.net - Ketika lagi asyik mencari video di beranda Youtube, guna mengisi waktu luangku. Tiba-tiba aku menemukan salah satu konten dari channel Youtube dosen aku sendiri. Karena menurutku judulnya cukup menarik, akhirnya aku kepo dan membuka konten tersebut. 

Konten tersebut merupakan potongan dari webinar yang pernah diselenggarakan oleh dosenku. Lebih tepatnya sih kaya semacam potongan argumen dari salah satu mahasiswanya yang memberi tanggapan atas fenomena maraknya anak desa yang kuliah di kota.

Menurut mahasiswa tersebut, faktor yang menyebabkan maraknya anak desa kuliah di kota adalah terkait masalah infrastruktur. Dengan nada tinggi cem aktivis, dia menyebutkan bahwa di negeri kita tercinta ini, pembangunan -khususnya dalam bidang pendidikan- belum merata. Pembangunan pendidikan masih berpusat pada kota-kota besar, oleh karenanya banyak anak desa yang berkuliah di kota.

Bagiku, argumen dari mahasiswa tersebut tidaklah salah. Hanya saja, dalam batinku setelah menonton konten tersebut, aku berpikir sepertinya nih mahasiswa terkena efek Jokowi, yang apa-apa dikaitkan dengan infrastruktur dan pembangunan. Jadi menganggap semua mahasiswa yang berasal dari desa dan kuliah di kota itu penyebabnya hanya masalah infrastruktur atau pembangunan yang kurang memadai. Padahal, menurutku tidak demikian.

Toh kalau dilihat-dilihat, jangankan mahasiswa, dosen juga banyak lebih banyak yang memilih mengajar di kota dibandingkan kampus di daerah asalnya, meskipun fasilitasnya sama-sama memadai. Contohnya malah dosenku pemiliki channel Youtube yang aku tonton tadi, ia berasal dari Madura, namun lebih memilih menjadi dosen sosiologi di kampus Surabaya. Padahal, di Madura sendiri terdapat kampus yang membuka program studi yang sama.

Dan aku sendiri lebih memilih kuliah di kota karena memang di daerahku tidak ada kampus yang membuka program studi sosial seperti yang aku inginkan. Kabanyakan kampus di daerahku membuka program studi pendidikan, teknik, kesehatan dan bahasa. Tapi bukan berarti ini ada kaitanya dengan masalah infrastruktur. Ada beberapa alasan kenapa kampus di daerahku tidak membuka program studi sosial.

Yang pertama itu masalah peminat. Kira-kira ada banyak enggak peminatnya. Kan enggak lucu kalau kampus membuka suatu program studi eh muridnya malah segelinding doang.

Lalu yang kedua adalah dari sisi pengajar atau dosen. Karena kebanyakan dosen di desa memilih mengajar di kampus kota, kampus-kampus di daerah juga tidak dapat serta merta membuka program studi jika tidak ada yang mau mengajar program studi tersebut.

Dan dosen-dosen yang lebih memilih mengajar di kota juga enggak bisa disalahkan. Karena ada banyak alasan yang menyertainnya. Seperti salah satu dosenku yang mengajar di kota dengan alasan karena istrinya tinggal di kota tersebut.

Faktor ketiga untuk membuka program studi baru, pihak kampus harus memperhatikan faktor sosial juga. Seperti di daerahku sendiri yang meruapak daerah industri maupun pesantren. Sehingga program studi yang ada cenderung pada bidang teknik dan pendidikan. terutama pada pendidikan agama.

Hal di atas jugalah yang menjadikan kampus di kota memiliki program studi yang lengkap dan beragam. Pasalnya, dari segi sosialnya sendiri, masyarakat kota memiliki corak yang multikultural, alias beragam.

Jadi, menurutku, maraknya anak desa yang kuliah di kota itu enggak hanya alasan infrastruktur saja. Ada banyak hal yang lebih fundamen seperti yang aku sebutkan di atas.

Mohammad Maulana Iqbal
Lulusan program studi Sosiologi di Universitas Negeri Surabaya. Seorang santri sekaligus penulis buku “Risalah Kaum Intelektual”.