Aku yang Tidak Dapat Menikmati Kekayaan dan Mencoba Merayakan Kemiskinan

Arsip Pribadi

Cangkeman.net - Terlahir dari keluarga yang sebenarnya tidak miskin-miskin amat, namun masih jauh untuk dibilang sebagai keluarga kaya, rasanya aku sudah sudah cukup terbiasa dengan hidup yang serba kekurangan.

Hingga aku berusia 8 tahun dan adik pertamaku lahir. Kita sekeluarga masih hidup dalam kos-kosan papan 3x2 di lantai dua. Waktu itu, aku kira kehidupan yang kita jalani adalah kehidupan normal dan dirasakan oleh semua orang. Pasalnya setiap hari aku melihat hal serupa di kanan kiri kamarku.

Bapak waktu itu hanya berjualan rokok kaki lima di atas got yang tentu saja rawan kegusur satpol pp. Dengan menghidupi 2 anak, aku kira penghasilan sebagai pedagang rokok dapat mencukupi kehidupan kita sekeluarga.

Ternyata tidak. Bapak bergontai-ganti pekerjaan demi mendapat penghasilan yang lebih baik. Dari menjadi kenek bus, hingga menjadi tukang mainan, bapakku pernah coba.

Tapi itu masa lalu. Ketika kami masih miskin dan aku tidak pernah menyadari kemiskinan kita. Sedangkan sekarang? Sama saja. Kita masih miskin, tapiu bedanya aku mulai menyadari dan mulai ikut jatuh dan terluka dalam kemiskinan.

Aku baru menyadari, ternyata menjadi miskin itu menyakitkan. Aku yang selalu juara kelas dan selalu menjadi andalan untuk mewakili sekolah dalam berbagai ajang perlombaan akademik dan non akademik harus putus sekolah ketika lulus SMP. Sebabnya? Ekonomi.

Aku sadar, segala kepintaran dan prestasi-prestasi yang aku raih tak akan bisa menyelamatkanku ketika aku tak punya uang. Aku mengalami depresi parah, menyalahkan dunia, menyesali kelebihan-kelebihan yang dimiliki ketika kelebihan itu semuanya tidak ada yang berguna.

Tapi aku terus berjalan. Selangkah demi selangkah terus melangkah meski penuh dengan luka. Hingga hampir seperempat abad usiaku, kini hasilnya? Sama masih miskin juga. Bahkan efek-efek dari kemiskinan bukan hanya tentang tidak dapat melanjutkan pendidikan dan tentang makanan. Omongan-omongan tetangga serta rentetan capaian sosial mulai menghantui satu persatu.

Tapi aku tidak sendiri. Seperti aku kecil, orang-orang miskin selalu dekat dengan orang-orang miskin. Teman-temanku banyak yang nasibnya tidak jauh beda dariku. Mereka sama perihnya, sama pedihnya.

Pernah suatu ketika ada suatu kejadian yang akan selalu aku kenang sebagai kenangan yang pahit antara aku dan temanku yang miskin juga.

Ceritanya begini, waktu itu uangku habis seperti akhir bulan lainnya. Gajian baru turun sekitar satu atau dua hari lagi. Dan karena sudah mulai jam makan siang, aku ikut keluar bersama teman-teman kerjaan lainnya menuju warung. Tapi karena uangku abis, aku hanya memesan kopi dan rokok sebatang. Pedih memang, tapi itu bukan pertama kali aku lakukan. Entah itu kali ke berapa aku makan siang dengan kopi dan rokok sebatang.

Lalu tiba-tiba temanku menghubungiku lewat pesan Whatsapp. Dia ingin meminjam uang, karena hari itu dia enggak pegang uang sama sekali dan dia mau beli makan untuk makan siang. Sambil mengirimkan photo segelas kopi dan rokok sebatang, temanku tadi bilang, "Cuk, ada gocap ga? Uang gue abis. Hari ini gue cuma ngopi sama rokok sebatang. Ga enak kalo diem di kantor nanti ketauan ga punya uang."

Langsung cepat aku balas dengan gambar yang tidak jauh berbeda, "Sama cuk, hari ini juga ngopi sama ngerokok doang."

Tak lama temanku tadi nelpon lalu kita menertawakan kemiskinan kita. Kita berhahahehe sambil menghabiskan waktu jam istirahat. 

Sebenarnya ada banyak hal-hal cerita miris tentang kemiskinanku dan orang-orang sekitarku. Memang sedih, tapi kalau dibahas ulang, diobrolin lagi, kadang itu menjadi lelucon sendiri untuk kita.

Kini aku -dan mungkin orang-orang yang hidupnya terus dalam kemiskinan lainnya- sudah tidak lagi terlalu mengharap untuk menikmati kekayaan. Sudah banyak kecewa yang kita rasakan, sudah banyak sedih yang kita alami. Tapi setidaknya, kami masih punya harapan untuk merayakan kemiskinan. Sehormat-hormatnya!