Wejangan Sunan Drajat yang Mengingatkan Kebar-Baran Kucing Kita

Gambar : Wafi Muzakki


Cangkeman.net - Sebagai jamaah Sarkub ( Sarjana Kuburan ), ziarah ke makam walisongo adalah rutinitas yang hampir kulakukan tiap tahun. Meskipun setiap lokasinya berkesan. Ada satu yang kadang teringat kembali saat aku melihat galeri yang lampau. Di makan Sunan Drajat tepatnya. 

Kalau kamu pernah ziarah ke sana, kamu bakal menemukan sebuah wejangan yang menarik untuk kita khayati bersama. Masyarakat di sana mengistilahkannya dengan "Catur Piwulang" atau empat ajaran. Keempatnya terpahat di sebuah ukiran kayu yang berbunyi :

Wehono teken marang kang wuto
Wehono pangan marang kang keluwen
Wehono payung kang kaudanan
Wehono sandang marang kang kawudan."

Artinya kurang lebih begini :

Berilah tongkat untuk orang yang buta
Berilah makan mereka yang kelaparan
Berilah pakaian mereka yang telanjang
Berilah payung mereka yang kehujanan.

Catur piwulang bisa dikatakan sebagai sebuah ajakan kepada semuanya untuk memberi kontribusi lebih sesuai dengan posisi, kapasitas dan kekuatan masing-masing.

"Beragama adalah memberi."

Begitulah yang diteladankan oleh Sunan Drajat. Beliau sangat dikenal sebagai pribadi yang lembut, ramah dan dermawan. Sebagai pendakwah ia datang dengan membawa harapan dan kegembiraan, tidak dengan menakuti dan mengancam para pendosa. Pun sebagai orang yang dituakan, beliau memberi pengayoman yang dibutuhkan masyarakat. Beliau memberi contoh jalan yang dipilihnya, sekaligus membuat pedoman bagi generasi penerusnya. Karena itulah namanya selalu hidup dan nasihatnya terus dipelihara, bahkan setelah wafat berabad-abad silam.

Aku jadi teringat sosok Kiai pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat, Kiai Ghofur. Beliau berusaha istiqomah mengikuti jalan pendahulunya, Sunan Drajat. Sebagai pimpinan tertinggi, ia tetap membawakan pribadi yang ramah, santun, dan pengayom. Beliau pernah menekankan tentang pentingnya berbuat baik terhadap tetangga. Bahkan mengisahkan bagaimana Nabi SAW yang sering diingatkan Jibril tentang berbuat baik pada tetangga, sampai-sampai Nabi mengira bahwa tetangga juga akan menjadi ahli waris. 

"Kamu juga punya binatang piaraan di rumahmu? Merawat binatang itu tidak gampang. Tanggung jawabnya berat loh. Tugasmu bukan hanya memberi makan dan kebutuhannya tapi juga memastikan bahwa binatangmu itu tidak menjadi masalah bagi orang lain."

Kurang lebih redaksinya seperti itu, lalu kemudian mengalir cerita tentang kebiasaan di kampung yang meliarkan binatang ternaknya, entah kambing, kerbau, ayam atau lainnya. 

"Makanya, kalau memang kamu ingin memiliki peliharaan jangan sampai tidak menyiapkan kandangnya. Binatang-binatang itu sering memberikannya gangguan kepada tetangga. Mungkin merusak tanaman, mengobrak-abrik gabah yang dijemur atau sekadar mengotori teras rumah dengan tahinya."

"Ibadah kita itu kan tidak banyak dan belum tentu juga diterima, tapi kita masih saja membiarkan binatang-binatang peliharaan kita malah menambahi dosa kita melalui tanggung jawab kita terhadap binatang itu."

Aku sedikit terkejut dengan pemaparan itu, betapa aku yang sedari kecil gemar memelihara kucing, dan kucingnya nggak ada yang anteng pula. Belum lagi peliharaanku yang lain seperti kelinci, marmut, dan bajing. Jadi teringat betapa bar-bar kucingku sampai ditotok pakai centong oleh Ibuku.