15 Agustus 1945 : Bung Karno yang Kharismatik vs 'Anak Tongkrongan' yang Progresif
Cangkeman.net - Setelah mendapatkan berita kekalahan Jepang, 'anak-anak tongkrongan' yang biasa nongkrong di kawasan Menteng, Cikini, dan Senen mulai melakukan berbagai macam gerakan.
Pagi sekali, para pemuda itu melakukan kongkow bareng di Prapatan 10, salah satu tempat nongkrong mereka di daerah Senen. Mereka melakukan obrolan sana-sini tentang menyerahnya Jepang kepada sekutu.
Setelah ngobrol sana-sini sambil ngopi-ngopi dan rokokan tentunya. Akhirnya beberapa pemuda memutuskan untuk mendatangi rumah Sjahrir, salah satu anak tongkrongan yang cukup dekat dengan kaum bapak-bapak.
Ternyata di rumah Sjahrir sudah ada kaum bapak-bapak, yakni Hatta. Mereka ternyata juga sedang ngobrolin tentang menyerahnya Jepang. Hatta yang baru saja melakukan pertemuan dengan pihak Jepang bersama Bung Karno dan Ahmad Subarjo, tentu saja enggak mau terburu-buru untuk membenarkan tentang kekalahan Jepang.
Karena dilihatnya bapak-bapak ini terlalu bertele-tele, anak-anak muda tadi akhirnya kembali nongkrong sore harinya. Kali ini tempatnya di Pegangsaan 15. Ada beberapa anak muda yang datang dari berbagai tongkrongan, seperti Soebadio, Aidit, Soebianto, Lukman, Adam Malik, Djohan Noer, Sukarni, Wikana, Armansyah, Eri Soedewo, Syarif Wahidin Nasution, Nasrun, Syatif Thayeb, Karimoedin, dan Darwis.
Setelah panjang lebar diskusi, akhirnya pemuda-pemuda tadi bertekad untuk mendesak para bapak-bapak untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dikirimlah Wikana, seorang anak tongkrongan dari kalangan angkatan laut yang ditemani Darwis dan Soebadio untuk menemui Bung Karno dan Bung Hatta, mereka adalah bapak-bapak yang cukup berpengaruh. Sementara yang lainnya menyebarkan kabar ke basis mereka masing-masing untuk persiapan kemerdekaan.
Ada sesuatu perdebatan yang cukup bersejarah antara anak-anak tongkrongan ini dengan Bung Karno, saat Bung Karno didesak untuk segera memproklamirkan diri.
Di dalam benakku, kira-kira beginilah tektok antara Bung Karno dan para pemuda.
Sukarni salah satu pemuda yang cukup disegani mungkin berkata begini, "Sudahlah Bung, enggak usah nungguin Jpeang. Mereka itu udah kalah, ngapain ditunggu keputusannya."
Lalu seperti biasa, Bung Karno yang sudah banyak makan asam garam dunia perpolitikan akan menjawab dengan kharismanya, "Begini Sukarni, aku itu udah tau bakal mau ngapain. Semua itu ada prosesnya, kita harus pikirkan setelah merdeka itu bagaimana, setelah proklmasi itu bagaimana. Kita harus menyatukan emosi kita terlebih dahulu, agar setelah proklmasi, maka terbentuklah ledekan emosi ke arah revolusi yang kita inginkan."
"Hmm bilang aja Bung takut kan sama Jepang?" Wikana yang berasal dari angkatan laut mencoba mengejek Bung besar itu, ia tau, Bung Karno orang yang sangat tidak suka diejek, maksudnya ingin memancing agar si Bung mau bergerak.
Kemudian Wikana melanjutkan, "Yasudah, kalau Bung enggak mau, berarti Revolusi ada di tangan kami, lalu..."
"Lalu apa?" Ternyata Bung Karno kesal juga diejek anak-anak tongkrongan ini.
"Mau ngancem aku ah? Ini, ini leherku, potong aja potong kalau kalian mau. Tapi aku enggak mau ada pertumpahan darah sia-sia hanya untuk menuruti kemauan kalian." BK mengeluarkan aura kharismatiknya, hingga membuat para anak muda tadi terdiam.
Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya para pemuda tadi pulang dengan tangan hampa. Tentu saja mereka tidak pulang ke rumah, mereka kembali kumpul di tempat tongkrongan. Dan dini harinya mereka akhirnya menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rangasdengklok.

Posting Komentar