PKB, CAK IMIN, GUS AMI, DAN GUS MUHAIMIN

Gambar : PKB.ID

Cangkeman.net - Saya amati di timeline Instagram @nahdlatululama, ada cukup banyak netizen yang ‘komplain’ di postingan ucapan ulang tahun PKB. Kenapa? Secara umum yang saya tangkap, ada kegelisahan dari mereka kok PKB (dari kalangan parpol) aja yang diberi ucapan? Bahkan PPP saat berulang tahun Januari sebelumnya juga tidak. Kalau mau ‘tawasuth’, @nahdlatululama mestinya memberikan juga ucapan kepada partai lain, khususnya PPP yang 'seduluran' ini. Kalau tidak, ya cukup ucapan ulang tahun kepada harlah banom NU saja seperti Muslimat NU, Fatayat NU, GP Ansor, dll. Atau ucapan ulang tahun kepada para kiai dan tokoh NU.


Menurut saya, komplain senada begitu bisa dimaklumi dan cukup berasalan. Tetapi, catatan saya di sini tidak membahas itu. Saya hanya ingin sedikit mengulas tentang PKB-nya, bukan NU nya. Eh, maksud saya, akun @nahdlatululama nya. Saya yakin akun ini dan adminnya juga tidak mewakili pandangan organisasi sama sekali. Sama sekali. Adminnya mungkin cah enom. Biasa lah cah enom.


Pertama, saya ingin mengucapkan ulang tahun kepada PKB. Selamat ya lur. Sekarang usia PKB sudah 23 tahun, sama seperti usia Kylian Mbappe! Ya tentu akan selalu sama usianya. Ulang tahun-ulang tahun berikutnya juga akan sama. Lha wong kelahirannya sama, 1998 juga.


Kedua, saya sangat berharap PKB bisa tumbuh lebih besar dan lebih keren di usia yang ke-23 ini. Dengan basis masa nadliyin yang konon ada puluhan juta, bahkan ada yang bilang lebih dari 100 juta, perolehan suaranya diharapkan jauh lebih besar daripada yang sudah diperoleh kemarin-kemarin. Selain itu, partai yang dideklarasikan para kiai NU ini diharapkan memiliki capres sendiri yang (maaf) ‘laku’ di bursa pemilihan langsung.


Di bawah komando Ketum saat ini (Cak Imin), konon PKB memang memperlihatkan tren perolehan suara yang positif. Selama menjabat sejak 2005, Ketum partai ini mendapatkan pujian dari dalam karena ia mendapatkan kursi DPR pusat yang selalu meningkat. Pada pemilu 2009, 2014, dan 2019, perolehan kursi berturut-turut adalah 4.95%; 9.04%; dan 9.96%.


Dari sisi tren pertumbuhan memang baik karena ia selalu naik. Tetapi, dilihat dari perolehan aktualnya, angka 9.96% itu masih dianggap tidak jauh berbeda dengan PKS. Pada pemilu 2009, 2014, dan 2019, ia memperoleh 7.88%; 6.79%; dan 8.21%. Ada yang berpendapat, ini sedikit membuktikan bahwa nahdliyin itu dewasa dalam menyalurkan aspirasi politik. Suara mereka menyebar ke banyak partai, sedangkan basis massa PKS cukup kompak.


Lalu, apa sebenarnya penyebab suara nahdliyin menyebar? Jawabannya, saya tidak tahu. Pasti banyak faktornya. Faktor yang cukup menentukan, menurut saya adalah profil kepemimpinan dan programnya. Faktor lain tentu banyak seperti logistik, dan lain-lain.


Dari sisi kepemimpinan, dalam perspektif saya profil Ketum cukup ‘diuntungkan’. Selain ia berasal dari trah keluarga pesantren besar di Jawa Timur, ia juga sudah memimpin partai hingga 4 periode. Sebagai gambaran, di PKB pernah ada 3 (tiga) Ketum Partai. Yang pertama dan kedua hanya masing-masing satu periode. Ketum setelahnya, Cak Imin, berhasil memimpin hingga sekarang di periode yang ke-empat! Ia mungkin ketum parpol terlama yang aktif sampai sekarang setelah Megawati Soekarnoputri di PDIP. Mohon koreksi jika salah.


Tetapi, saya cukup menyayangkan dalam periode yang lama itu, popularitas dan elektabilitasnya cukup rendah. Ia masih di bawah AHY dan bahkan masih di bawah Puan Maharani. Selain itu, ia juga kalah jauh dari Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, yang notabene bukan pimpinan parpol. Boro-boro pimpinan, anggota partai juga bukan. Mereka juga bukan 'orang penting' di ormas besar.


Apakah ia hanya “King Maker” seperti (misalnya) Surya Paloh? Ndak juga. Di waktu yang lalu, banyak baliho yang membuktikan bukan. Entah itu baliho JOIN (Jokowi-Imin) atau baliho yang sendirian itu.


Idealnya, dengan posisi sebagai Ketum partai selama itu, didukung posisi partai yang punya basis massa yang ‘jelas’ dan sangat besar, kesempatannya di era keterbukaan ini sangat terbuka lebar. Tapi bukannya sudah ‘panen’, ternyata ia masih sibuk ‘mencari identitas diri’ alias branding antara Cak Imin, Gus AMI, atau Gus Muhaimin. Sungguh disayangkan, bukan?


Selain itu, gagasan-gagasan besar yang runtut dan konsisten darinya juga seperti kurang populer. Sebagai nahdliyin, cukup aktif di sosmed, dan kebetulan masih cukup muda, saya heran kenapa saya tidak tersentuh gagasan dan pemikiran brilian-nya. Saya justru lebih banyak tersentuh oleh akses narasi-narasi canggih dari tokoh seperti Gus Dur yang terus hidup. Atau dari Gus Yahya Tsaquf yang dari kalangan 'kultural'. Gagasan beliau-beliau sangat mewarnai dan mempengaruhi pandangan saya dalam banyak hal. Selain canggih, ia sungguh konsisten. Pemikiran-pemikirannya berada di tempat yang tinggi melangit seperti bintang gemintang, tetapi juga sekaligus mudah dijumpai dan membumi seperti rerumputan.


Saya berhusnudhon, semoga saya-nya saja yang belum rezeki menjumpai gagasan dan pemikiran Gus Muhaimin. Memang saya lihat sih ada buku seperti ADEMPOL (Agama, Demokrasi, Politik) tahun 2019 lalu, tapi launching-nya saja menjelang Pemilu 2019. Jadi terkesan agak-agak gimana, ya.


Saya masih berharap, mudah-mudahan Ketum ini bisa memberikan pencerahan model berpikir ‘newmind’ terhadap pemikiran anak-anak muda, khususnya anak muda nahdliyin termasuk para santri. Apalagi ia juga punya branding sebagai Panglima Santri. Sehingga jagad nutizen muda ini diwarnai oleh gagasan besar 'newmind' ala Cak Imin. Masak kalah sama kampanye 'newmind' ala Bossman Mardigu?!


Anyway, saya menulis begini bukan karena saya PKB-sentris. Kalau zaman Gus Dur mungkin iya (tapi ndak juga ding karena masih kecil, ndak punya KTP). Partai lain juga tidak terlalu ‘sentris’. Dengan partai yang dianggap ‘lawan ideologi’ seperti P*KS juga biasa saja. Teman-teman saya yang simpatisan P*KS juga cukup banyak. Secara saya juga boleh dibilang ‘alumni’ Masjid Salman. Hehe. Saya yakin, semua partai pasti bertujuan baik. Bagi penonton seperti kita, ‘La Yudraku Kulluh, La Yutraku Kulluh’ saja lah.


Akhir kata, PKB sudah berusia 23 tahun seperti Kylian Mbappe. Sedangkan, Cak Imin seumuran Jurgen Klopp, 54 tahun. Perpaduan Kylian Mbappe dan Jurgen Klopp tentu sangat matang dan mengerikan. Kombinasi kecepatan dan gegenpressing pasti bisa membuat bek-bek lawan kewalahan, bukan? Yok bisa yok!
Semoga teman-teman di PKB ndak baper ya. Santai saja kayak 'Lord' Rangga.


Ahmad Haq
santri online. tumbuh di jawa tengah. sekolah di jawa barat. hidup di jawa timur, kadang di jakarta.