Jarang Orang Tahu! Ini Penjelasan Kejawen versi Cangkeman

Gambar : Hipwee

Cangkeman.net - Kata "kejawen" mungkin sudah sering kita dengar atau setidaknya pernah dengar, apalagi bagi kita yang mempunyai kenalan orang dari daerah Jawa. Dari namanya saja kita sudah bisa menebak kalau Kejawen itu memang berasal dari Jawa. Tapi apa sih Kejawen itu? Apakah seperti ritual-ritual dukun? Atau penyembahan seperti di film-film?
Yuk kita buka tipis-tipis.

Kejawen bisa dikatakan sebuah kepercayaan dari golongan etnis yang berada di Pulau Jawa. Seperti halnya pedoman hidup yang dimiliki bangsa-bangsa besar yang lain, kejawen didasari pada ajaran yang dianut oleh para filsuf Jawa. Nah walaupun Kejawen ini bisa dibilang sebuah kepercayaan, tapi sebenarnya Kejawen bukan sebuah agama lho!

Belajar dari naskah-naskah kuno yang berhasil ditemukan, banyak diceritakan bahwa Kejawen ini lebih berupa seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang Jawa. 
Kejawen mmenjadi pandangan hidup dan filsafat sepanjang peradaban orang Jawa yang kemudian menjadi pengetahuan kolektif bersama, ini dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. 

Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen juga tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut masyarakat pada suatu masa tertentu, karena filsafat Kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh Filsuf Jawa pada zamannya. Ajaran ini kemudian menjadi penduan atau pedoman hidup dalam laku tindak orang-orang Jawa. Itu semua pastinya tidak bisa kita lepaskan dari spiritualitas suku Jawa yang memang dikenal kental dan membumi.

Budaya Kejawen ini ibarat seperti bumbu. Ia memberi rasa lebih kepada aliran atau agama yang datang ke Jawa, dan bahkan pada budaya Jawa lainnya di Nusantara. 
Misal ketika agama-agama luar datang ke Nusantara, Kejawen ternyata memiliki banyak kesamaan dalam hal tuntunan kebudiluhuran, bahkan lebih rinci dan mendalam, terjadilah perpaduan yang mana budaya Kejawen lambat laun terserap ke dalam beberapa ritual keagamaan, dan ajaran agama terserap ke dalam budaya Kejawen. Hal ini menjadikan budaya dan agama menjadi sebuah simponi yang sangat indah yang justru tidak ditemukan di tempat asal agama itu sendiri.

Orang yang percaya dan menjalani laku Kejawen relatif lebih menerapkan ajaran agamanya ke dalam kehidupan sehari-hari. Karena tuntunan Kejawen dan tuntunan agama yang mereka anut sangat relate. Bahkan ketika ia hanya menjalani perintah pedoman Kejawen, ia otomatis sudah menjalani perintah agama juga, pun juga sebaliknya, walaupun tidak semuanya. 

Pada dasarnya, ajaran filsafat Kejawen memang mendorong manusia untuk tetap taat dengan Tuhannya, disertai tuntunan untuk menghormati manusia dan menjaga keseimbangan alam raya. Kalau di Islam, Hablum minallah, Hablum minannas dan Hablum minal'alam. 

Untuk urusan tauhid, atau mengesakan Tuhan, Kejawen sudah mempunyai filsafatnya sendiri sebelum agama itu datang ke Jawa. Inti dari ajaran tauhid dalam Kejawen dikenal dengan "Sangkan Paraning Dumadhi", atau kurang lebih kalau dijabarkan "sangkan" berarti asal muasal, "paran" berarti tujuan, dan "dumadhi" artinya menjadi. Jadi dapat dipahami bahwa itu tentang pengetahuan asal muasal dan tujuan hidup seorang manusia. Pemahaman ini juga menegaskan mengenai "Dari mana manusia berasal dan kemana ia akan kembali."

Karena banyaknya kesamaan antara filsafat Kejawen dan agama yang ada, aliran filsafat kejawen kemudian berkembang seiring dengan agama yang dianut pengikutnya.
Dari situlah muncul terminologi baru seperti Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Budha Kejawen, dan Kristen Kejawen. Di mana pengikut masing-masing aliran itu akan tetap melaksanakan adat dan budaya Kejawen yang  tidak bertentangan dengan agama yang dipeluknya. Bahkan saling mendukung.

Kembali ke ajaran Kejawen. Ia dalam penerapannya, ia lebih ke tuntuntan untuk membangun tata krama dalam berkehidupan yang baik dengan Tuhan, manusia dan alam. 

Kini ajaran leluhur asli Nusantara ini sudah banyak ditinggalkan, karena sebagian masyarakat menilainya sebagai representasi dari kekunoan atau bahkan hal yang berbau mistis. Sudah pasti, ini merupakan efek dari masifnya film-film yang menggambarkan Kejawen seenaknya sendiri.

Tapi di luar itu secara tidak sadar sebenarnya masih banyak budaya Kejawen yang masih dijalankan masyarakat. Misal ritual nyadran, mitoni, weton, dan masih banyak yang tidak aku hafal nama-namanya. Tradisi ini selain memang masih ada yang menjaga kelestariannya secara turun-temurun. Ada juga yang terkadang hanya karena sebagai identitas dan tuntutan simbolisme semata. 

Banyak yang kehilangan makna filosofis dari tradisi-tradisi Kejawen itu sendiri. Hanya untuk seremonial, selingan pengisi acara atau bahkan membajaknya untuk tujuan yang tidak baik. Hal ini selain mengikis tradisi itu sendiri tapi juga membuat generasi berikutnya semakin menjauhi budaya dan tradisi ini, dan tentunya akan berimplikasi pada tidak sampainya pedoman dan tuntunan hidup Kejawen kepada generasi muda.