Menguji Objektivitas dan Perkara Nama Besar
![]() |
Gambar Oleh The Humantra on Unsplash |
Cangkeman.net - Hari Minggu kemarin, dunia sastra tanah air digegerkan oleh sebuah status facebook yang ditulis oleh seorang sastrawan besar, AS Laksana atau biasa dipanggil Sulak. Beliau membuat pengakuan kalau cerpen yang ia kirimkan ke Jawa Pos yang baru saja tayang 4 jam sebelum status itu ditulis merupakan bukan tulisannya, melainkan tulisan dari seorang murid di kelas menulisnya, Afrilia. Tapi ini tidak bisa dibilang sebagai kasus plagiarisme, pasalnya sang penulis asli mengetahui kalau tulisannya dikirimkan bukan atas namannya. Mereka menyebut ini sebagai sarana bersenang-senang.
Dari status tersebut juga tersirat bahwa tujuan dari melakukan hal tersebut adalah untuk membuktikan bahwa redaktur media massa akan selalu menerima hasil karya dari orang yang sudah dikenal atau 'orang besar' bagaimanapun kualitasnya. Dan akan sangat sulit menerima karya bagus jika yang menulis adalah orang yang tidak cukup dikenal. Entah hasil 'bersenang-senang' bang Sulak dan muridnya itu membuktikan akan hal itu atau tidak, masih diperdebatkan. Toh Bang Sulak juga bilang kalau cerpen tersebut juga kualitasnya bagus. Jadi belum tentu juga kalau cerpen itu dikirim dengan atas nama muridnya, engga diterima oleh Jawa Pos.
Tapi sebenarnya aku enggak akan bahas tentang eksperimen yang dilakukan sastrawan besar itu. Yang ingin aku bahas itu tentang objektivitas. Seperti yang bung Sulak bilang di statusnya, "Jika cerpen kalian saya kirim ke koran dengan nama saya sebagai penulisnya, cerpen itu pasti dimuat," yang artinya semua itu dilihat dari 'siapa' bukan dari 'isinya' atau bisa dibilang lebih subjektiv ketimbang objektif.
Di luar hal keredakturan, sebenarnya kita semua tidak pernah benar-benar bisa sepenuhnya objektif. Kita semua punya memori-memori yang melekat yang mempengaruhi kita untuk bertindak. Dan memori-memori itulah yang kadang menjadi penentu dalam kita mengambil keputusan.
Kita bisa sangat kehilangan objektivitas itu terjadi bukan tanpa rentetan peristiwa yang panjang. Kita memiliki pengalaman dengan mengenal banyak orang, dari mengenal jadi menaruh percaya, lalu lama kelamaan timbul suatu hal yang dinamakan reputasi pada orang itu. Dan karena hal itu, apapun yang dilakukan oleh hal itu, akan sulit menyingkirkan perang 'orang itu' serta pengetahuan kita tentang orang itu.
Kepercayaan, Reputasi, dan apapun itu yang menjadikan seseorang menjadi 'orang besar' bukan hal yang serta merta terjadi begitu saja. Ada banyak proses panjang yang dilalui oleh orang itu, ada jalan terjal yang dilewati untuk mencapai 'diakui' atau minimal 'dikenal' dari yang dulunya tak dianggap ada. Jadi wajar saja, kita akan kesulitan untuk menghadapi 'orang besar' seperti itu. Objektivitas kita akan terganggu, toh kita menganggap dia lebih baik daripada kita. Kalau menurut kita apa yang ia hasilkan jelek, bisa jadi kitanya yang salah menilai, wong kita udah terlanjur menganggap dia lebig 'besar' dari kita kan?
Memisahkan 'apa yang dihasilkan' dengan 'yang menghasilkan' itu memang susah. Ia seolah-olah satu, padahal itu entitas yang berbeda. Tapi mau bagaimana lagi, menurutku siapapun kita, kita tak akan pernah benar-benar bisa objektif. Apalagi kepada 'orang besar' dan percayalah, setiap kita di dalam lubuk hatinya yang paling dalam selalu menganggap 'orang besar' yang paling besar adalah diri sendiri. Tandanya, kita akan sangat sulit bisa objektif dengan diri kita sendiri. Percayalah!!!

Posting Komentar